Menyelesaikan kasus 1965: Belajar dari Tragedi Hillsborough yang dialami klub Liverpool 30 tahun lalu

Reza Pahlevi
INGAT 65
Published in
4 min readMar 27, 2019
Photo by Tevarak Phanduang on Unsplash

Selama bertahun-tahun, saya diajari kalau negara tahu apa yang terbaik buat warganya.

Aparat, baik kepolisian maupun militer, adalah alat negara untuk menjamin yang terbaik untuk warganya.

Pandangan ini berubah sesederhana ketika saya mulai aktif di Twitter saat SMA pada tahun 2014. Ketika itu, peringatan G30S diperingati dengan mengenang kejam dan lalainya negara. Bukan soal pembunuhan enam jenderal, tetapi pembantaian (yang mungkin) hingga jutaan nyawa.

Saya tidak percaya. Saat itu, tidak ada kemungkinan bahwa negara dan aparat bisa salah di mata saya.

Masuk kuliah, referensi saya soal peristiwa ’65 pun lebih banyak. Saya mulai membaca tulisan-tulisan Ben Anderson, lalu novel karya Laksmi Pamuntjak, Amba, dan Cantik itu Luka karangan Eka Kurniawan. Dan, yang paling menyesakkan, menonton Jagal karya Joshua Oppenheimer

Bacaan dan film tersebut mengubah pandangan saya sebelumnya— aparat bisa salah, negara bisa salah.

Kesalahan negara ini pun diperparah dengan enggannya mereka bertanggung jawab. Padahal kasus pelanggaran HAM masa lalu begitu banyak— beberapa di antaranya Talangsari, Trisakti, Papua, Munir. Tidak pernah sekali pun kita mendengar negara menyelesaikan kejahatan HAM masa lalu.

Sebagai seorang penggemar bola dan salah satu pendukung tim sepakbola Liverpol, saya melihat bahwa negara ini sebenarnya bisa belajar dari Tragedi Hillborough yang dialami oleh klub sepakbola Inggris ini tahun 1989.

Selama lebih dari dua dekade, seantero Inggris menunjuk Liverpool sebagai biang kerok dalam tragedi olahraga paling mengenaskan Inggris yang menelan korban jiwa 96 orang. Tragedi ini terjadi ketika para pendukung Liverpool dipaksa berdesakan saat memasuki stadium Hillsborough dalam pertandingan Liverpool melawan Nottingham Forest. Para pendukung Liverpool dipandang sebagai dalang dari tragedi ini — terlepas dari fakta bahwa seluruh korban adalah pendukung Liverpool.

Baru pada tahun 2016, kebenaran yang dicari-cari pun akhirnya terkuak — 96 korban Hillsborough terbunuh secara ilegal. Tragedi ini terjadi karena aparat kepolisian lalai dalam menjalankan tugasnya hingga menyebabkan tragedi olahraga terbesar yang pernah ada di Inggris. Fakta ini merupakan hasil penyelidikan selama dua tahun — penyelidikan terlama dalam sejarah Pengadilan Inggris

Kelalaian polisi saat itu meliputi banyak hal. Di hari kejadian itu, tidak ada instruksi khusus untuk mengatur penonton yang berada di luar pintu masuk juga tidak ada perintah untuk mengatur dan mengawasi tribun sekaligus siapa yang bertanggung jawab dalam pengawasan tribun.

Selain abai, mereka juga terlambat dalam mengantisipasi besarnya angka penonton yang datang. Mereka juga tidak menyiapkan rencana khusus apabila jumlah penonton membludak.

Setelah hasil penyelidikan diumumkan, pengadilan membebaskan pendukung Liverpool dari tuduhan-tuduhan tidak adil yang telah mereka terima selama 27 tahun.

Satu-satunya alasan kasus ini bisa terbuka walaupun sudah terjadi begitu lama adalah usaha kolektif kota Liverpool, termasuk para keluarga korban, untuk mencari jawaban.

***

Membandingkan Tragedi Hillsborough dengan tragedi 1965 memang tidak apple-to-apple. Dari jumlah korban dan kondisi politik, kedua hal ini sebenarnya tidak bisa dibandingkan — tragedi 1965 meninggalkan lebih banyak duka dan masih terus diseret-seret sampai sekarang. Namun, dari Tragedi Hillsborough setidaknya kita bisa belajar beberapa hal.

Pertama, negara bisa salah.

Perdana Menteri Inggris saat itu, Margaret Thatcher, turut menyalahkan pendukung Liverpool saat itu. Tuduhan itu tentu saja hanya berdasarkan laporan kepolisian setempat.

Kedua, tidak ada yang salah dengan negara yang meminta maaf.

Meski kesalahan terjadi di pemerintahan lawas, perdana menteri David Cameron tidak segan meminta maaf atas nama negara. Permintaan maaf Cameron didasari laporan Hillsborough Independent Report tahun 2012. Laporan tersebut diprakarsai oleh Pemerintah Inggris atas tuntutan para korban untuk mengusut kasus ini. Laporan inilah yang mendorong terjadinya investigasi menyeluruh tahun 2014.

Pemerintahan Jokowi berkilah menolak meminta maaf atas tragedi 1965 karena kesalahan bukan terjadi di pemerintahannya. Namun, belajar dari Cameron, tidak ada salahnya pemerintah Jokowi atas nama negara meminta maaf jika memang ingin memenuhi janjinya untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM di masa lalu, termasuk tragedi 1965.

Ketiga, aparat pun bisa salah.

Dan sebagai pihak yang bersalah, seharusnya mereka bertanggung jawab. Dalam kasus tragedi 1965, mungkin akan sulit meminta pertanggungjawaban karena personel-personel yang terlibat saat itu mungkin sudah tidak aktif. Walau begitu, mengakui kesalahan atas nama institusi bisa menjadi awal yang baik dalam penyelesaian tragedi.

Terakhir, dibutuhkan usaha kolektif dari seluruh warga negara dalam penyelesaian kasus seperti tragedi 1965.

Perlu ada kesadaran kolektif bahwa pengabaian kejahatan hak asasi manusia dapat terjadi pada kelompok mana pun dan bisa saja korban selanjutnya adalah kita. Membiarkan kasus HAM oleh negara tidak terselesaikan hanya akan memperbesar kemungkinan negara akan mengulanginya lagi.

Kita perlu, terlepas dari siapa kita atau berada di pihak mana kita, menganggap bahwa kejahatan HAM tetaplah kejahatan. Sebagaimana kejahatan lainnya, ia perlu dipertanggungjawabkan — walau pelakunya adalah negara sekalipun.

--

--