Belajar Kasmaran: Mencari Sejarah yang Terjarah

Ellena Ekarahendy
INGAT 65
Published in
9 min readOct 27, 2016

Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan. Ada undang-undang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak ada: keadilan. (Pramoedya Ananta Toer dalam ‘Larasati’)

“Mengapa kamu ingin mengingat 1965?” Pertanyaan itu mampir pada saya dari kawan segenerasi yang sama-sama lahir pada kisaran ‘90-an awal waktu di bangku kuliah. “Keluargamu korban? Keluargamu pelaku? Keluargamu saksi mata? Atau kamu mau jadi PKI, ya?” Saya menggeleng gundah.

Pertanyaan itu menghantui saya kemudian. Tak boleh ada percakapan politik di dalam rumah. Obrolan politik dalam pergaulan tak boleh ketahuan. Saya tak berani bertanya apa yang terjadi dengan keluarga saya pada 1965. Bagaimana jika di dalam tubuh saya memang tak ada potongan sejarah 1965? Masih perlukah saya mengingat 65? Bisakah saya mengingat 65 tanpa ingatan tentang 65?

Ellena Ekarahendy

Rich Chigga, Soeharto, dan Tan Malaka: Sebuah Mixtape

Saya lahir sebulan sebelum Uni Soviet bubar. Penyematan referensi ini baru bisa saya lakukan setelah usia saya melewati angka dua puluh. Siapa yang tahan belajar sejarah? Siapa yang boleh tumbuh dengan mengenali Komunisme — apapun wujudnya itu? Walau Orde Baru hanya punya waktu 7 tahun untuk ikut meracuni masa kanak saya, tahun-tahun di sekolah masih dipenuhi dengan sisa-sisa kepercayaan bahwa tak ada kata ganti lain bagi komunis selain setan janaham. Narasi 1965 dari pelajaran Sejarah di sekolah adalah narasi pembantaian kejam terhadap para jenderal. Saya telah terputus dari sejarah 1965.

Malah, saya terputus dari banyak potongan sejarah sosial-politik Indonesia. Tak ada percakapan politik dalam rumah. Tak ada obrolan — boro-boro haluan — politik di universitas (Apa itu studi Humaniora? Apa kita bisa jadi kaya raya jika jadi sarjananya?)

Jika sosok mahasiswa dalam ingatan kanak saya adalah sosok yang diwarnai oleh hiruk pikuk perlawanan terhadap pemerintah otoriter, masa-masa saya menjadi mahasiswa diisi dengan hiruk-pikuk badai media sosial dan segala resiko keremeh-temehannya.

Sialnya, badai itu yang harus diterjang. Jika hingga para penyintas telah wafat dan saksi mata tak lagi bernyawa serta para peneliti tak lagi punya sisa energi sementara 1965 tak kunjung dituntaskan, bagaimana kita bisa membicarakan 1965 pada generasi yang bahkan tak pernah beririsan sama sekali dengan Orde Baru? Bagaimana kita membicarakan (dan membuat mereka mendengar serta ikut membicarakan) 1965 pada para pengikut Awkarin dan Young Lex atau pada para penggemar Rich Chigga?

Gambar: Gumpnhell

Sejarah 1965 tak bisa hanya kita jawab dengan, “O aja ya kan?”
Generasi Millennial ini adalah sebuah mixtape yang kacau.

Belakangan, saya sadar: dari dalam tubuh saya, sejarah telah dijarah. Begitu pula dengan para Millennial lainnya. Bukankah tabiat generasi kami juga adalah cerminan dari didikan generasi di atas kami? Bagaimana jika segala keabaian, apolitisme, dan penolakan untuk bersikap kritis dan holistik adalah buah dari sistem penundukan yang menerus kita langgengkan?

Pelajaran Kewarganegaraan adalah pelajaran wajib di sekolah (bahkan di universitas), namun rata-rata kesadaran berkewarganegaraan — setidaknya di antara mereka yang bisa bersekolah — mentok di titik minimal. Menjadi warga negara hanya terjebak dalam dua pemahaman biner: menjadi nasionalis mutlak dengan mengabdi dan membela nama Indonesia, apapun harga yang harus dibayar; atau menjadi apatis total yang masa-bodo-amat-pemerintah-mau-ngapain-tapi-gue-mau-hidup-enak.

Dalam suatu percakapan di warung kopi dengan beberapa kawan, kami tiba pada satu kecurigaan: bagaimana jika pelajaran Kewarganegaraan dan Sejarah yang ada di sekolah memang dirancang supaya kita muak dengan konsep kewarganegaraan dan keingintahuan sejarah sehingga begitu lepas dari bangku sekolah, kedua pengetahuan itulah yang ingin kita lepas sama sekali?

Ketika ketakutan dan keabaian justru dilembagakan di institusi yang mestinya mengajarkan kita untuk bersikap kritis, apakah tunduk jadi pilihan? Bayangkanlah. Di kampus saya dulu, hanya ada satu buku yang dapat saya temukan terkait sejarah 1965: buku putih PKI keluaran Sekretariat Negara! Sebagai rezim, Orde Baru memang telah tumbang, tapi tidak sebagai pola pikir.

Merangkai Mei

“Jadi, seperti apa Soeharto itu menurutmu?”

Sore itu, sekolah sudah sepi. Hanya ada beberapa guru yang masih tinggal. Saya sendirian, berusaha meminta balik buku saya yang sudah berminggu-minggu “dipinjam” seorang guru. Suatu hari ia menemukan saya sedang membaca buku itu di sela jam istirahat. Ia bertanya sambil menunjuk-nunjuk buku kecil yang saya hendak minta kembali. Neraka Rezim Soeharto judulnya. Saya temukan di rak kasir sebuah pusat belanja di pinggiran Tangerang sewaktu masuk SMP. Karena kondisi ekonomi, ibu saya hampir selalu melarang beli ini-itu, namun tidak dengan buku. Ia tak rewel juga apa isinya. Saya minta dibelikan karena penasaran: kok rezim Bapak Pembangunan menyimpan neraka? Gambar Pakde Yayak di sampulnya begitu mengerikan.

Namun saya bilang, “Soeharto itu jahat.”

Apa kita punya kata lain untuk orang yang membiarkan orang lain disematkan penisnya di bawah kaki meja lalu orang lain menginjak-injak meja itu? Adakah kata lain selain “biadab”, “setan”, dan sejenisnya untuk orang yang menelanjangi para perempuan? Cerita-cerita di dalam buku itu membuat saya tak bisa tidur. Tapi, dia kan Bapak Pembangunan? Saya kebingungan. Guru saya tak menanggapi, hanya mengembalikan buku itu dan menyuruh saya pulang.

Kelas-kelas ia berikutnya (ia mengajar Bahasa Indonesia) adalah kehororan. Ia bicara tentang perempuan-perempuan Tionghoa yang diperkosa, atau disiksa dulu baru kemudian diperkosa. Tentang rumah-rumah yang dijarah. Tentang orang-orang yang diseret dan ditembak. Tentang gedung-gedung perbelanjaan yang dibakar bersama pengunjung di dalamnya. Mei 1998 adalah kengerian. Tapi, Soeharto kan Bapak Pembangunan?

Waktu itu saya masih SD dan sekolah saya yang ada di wilayah Pecinan itu diliburkan, tapi ibu tetap berangkat kerja ke Bekasi. Ini bukan tanggalan merah, tapi para tetangga berkemas bersiap pergi. “Apakah kita akan berangkat liburan?” namun mereka ketakutan. Ayah saya — seorang Muslim — menyampirkan sajadahnya di pagar lalu pergi menjemput ibu yang masih dalam perjalanan sendirian menuju rumah saya di Tangerang.

“Kenapa Mama harus dijemput?” saya keheranan. Televisi hanya mempertontonkan keributan di jalan-jalan besar di Jakarta. Apakah ibu saya terjebak di dalamnya?

Hingga pada akhirnya, di akhir masa kuliah saya belajar kembali menemui Mei, mencoba menyapanya tanpa kabur. Menjelang usia 25, saya berani bertanya pada ibu—itu pun via WhatsApp, “Adakah keluarga kita yang menjadi korban pada 1965?”

Jawaban ibu malah jadi perantara baru yang memperkenalkan saya dengan Mei, selain lewat televisi dan buku pelajaran Sejarah. Saya berkenalan ulang dengan Mei yang menyisakan gemetar di ibu saya sampai sekarang tiap harus melewati atau melihat gerombolan laki-laki dalam jumlah besar di ruang terbuka. Mei yang membuat ibu saya khawatir pada huru-hara. Mei yang membuat ibu saya mengunci anaknya dari percakapan apalagi aktivitas politik. Mei yang membuat saya mengerti mengapa ibu saya was-was berlebihan karena anaknya terlahir dan tumbuh sebagai perempuan.

Bukan karena ada Jawa di dalam tubuh saya, tapi karena di dalam tubuh saya juga ada Cina, dan Cina ini yang menjadi alasan dibakar-habisnya rumah salah seorang anggota keluarga Opa di Banten sewaktu 1965. Ibu saya mendengar ceritanya sewaktu kanak dan tak mengingat detailnya. “Kenapa? Karena keluarga Opa petani? Keluarga Opa anggota PKI?” Ibu saya membantah, “Karena keluarga Opa adalah Cina.”

Orde Baru memelihara stigma dan menjadikannya senjata, dari peristiwa ke peristiwa. Sampai kapan kita mau tunduk terhadapnya?

Belajar dari Cinta Pertama

Ketika anak-anak muda bisa merasa lebih bahagia dengan mengantri tiket DWP, joget di lantai dansa, mabuk-mabukan sambil sesekali mengisap ganja, atau berfoto dengan tagar #OOTD di akun Instagramnya, bagaimana kita bisa merecokinya dengan diskusi, panel, bacaan, atau obrolan tentang sejarah yang tak lagi mereka temukan relevansinya? Ataukah kita yang selalu abai terhadap kemasan, sehingga akhirnya percakapan kritis hanya mental di orang yang itu-itu saja? Kalau bukan aktivis, ya, peneliti. Padahal, urusan bernegara adalah hajat hidup yang paling dasar yang harus disadari semua orang. Saya suka pernyataan Bertolt Brecht:

“Kebutaan yang terburuk adalah buta politik. Ia tidak mendengar, bicara, atau bahkan berpartisipasi dalam peristiwa politik. Ia tak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, ikan, tepung, biaya sewa, harga sepatu, dan obat, semuanya bergantung pada keputusan politik. Orang-orang yang buta politik adalah orang begitu bodoh, yang dengan bangga membusungkan dadanya dan berkata kalau ia benci politik. Si dungu ini tidak tahu kalau kebodohan politiknya melahirkan pelacuran, anak-anak terlantar, pencuri paling buruk, politikus busuk, dan korporat nasional dan multinasional yang korup dan bobrok.”

Apa jadinya jika kebutaan politik justru malah dilembagakan? Menurun hingga ke anak-cucu dan jadi norma kehidupan?

Akhirnya, saya hanya bisa membayangkan jika anak-anak muda generasi Awkarin dan Rich Chigga bisa menemukan cara “seberuntung” saya untuk mengenal sejarah: lewat kasmaran cinta pertama.

Sebagaimana remaja putri perkotaan yang terus-menerus dipapar citraan media populer pada umumnya, pubertas saya di bangku SMP juga diawali dengan naksir berat sama laki-laki yang tak mungkin diraih. Ya, seperti waktu demam F4 atau Westlife waktu saya SD itu. Saya pertama kali menjumpainya di bioskop bersama orang tua dan adik saya. Itu ketiga kalinya saya ke bioskop bersama orangtua, setelah Bean dan Petualangan Sherina.

Waktu itu, saya kasmaran berat. Sialnya, ya tentu saja enggak mungkin kesampaian. Laki-laki yang saya taksir banget ini bahkan tak bisa ditemui, boro-boro mau diraih. Orangnya sudah keburu mati. Namanya Soe Hok Gie. Kami kenalan cuma lewat film yang disutradarai Riri Riza.

Gie. Cinta pertama saya. Ya, tentu saja, muka aslinya beda dari Nicholas Saputra! Foto: koleksi Herman Lantang.

Tumbuh sebagai remaja putri yang dididik untuk selalu taat aturan dengan ajaran Katolik super-ketat, sosok Gie jadi tampil begitu heroik. Pulang nonton, saya menulis di buku diari: “Jadi pemberontak itu bukan berarti salah. Contoh saja Gie.” Tentu diakhiri dengan “❤❤❤” (Hahaha). Cinta pertama inilah yang membawa saya pada “kencan” kedua dengan sejarah 1965. Dengan bekal internet yang masih menggunakan koneksi Telkomnet Instant, saya mencari-cari. Alasannya satu: kenapa sih, Gie, yang keren itu malah ngebelain PKI waktu pembantaian 1965 di Bali? Bukannya PKI itu jahat?

Satu pencarian dan penemuan membawa saya pada pencarian dan penemuan yang lain. Dari buku ke buku, topik ke topik, tahun ke tahun, sampai pubertas itu usai. Berawal dari Catatan Seorang Demonstran hingga berujung pada Dalih Pembunuhan Massal dan Jagal (oh, ya, sudah tak sambil kasmaran pada Gie lagi, tentunya). Cuma karena kasmaran. Cuma karena penasaran. Semakin banyak yang didengar, dilihat, dan ditemukan, saya jadi makin menggerutu. Sialan, ternyata ada kebohongan sejarah yang telah dicekoki dari generasi ke generasi, tapi kita anteng-anteng saja.

Sampai akhirnya saya melihat Pengadilan Rakyat 65 dicekal, BelokKiri.Fest berusaha dibubarkan, dan Soeharto mau diangkat jadi pahlawan, saya makin yakin: ada hantu yang menjegal kita. Tentu saja bukan hantu Komunis, tapi hantu Orba yang menghisap daya kritis dan humanis kita.

Ketika mengetik ini, ada Awkarin nongkrong di beranda Instagram saya. Iya, saya salah satu yang mengikutinya di Instagram. Gara-gara melihat dia, saya makin ingat bahwa ada tugas lain yang juga sama-sama penting terkait 1965 selain mendorong penyelesaian yudisial, yakni membicarakan 1965 lewat narasi-narasi yang populer, pendekatan sejarah-sejarah kecil, serta menghadirkan upaya untuk bicara benar dalam percakapan sehari-hari, menjadikannya sebuah ingatan kolektif.

Awal Oktober lalu, Irwan Ahmett dalam pertunjukan seninya, Autopsy of History, membuat saya memakan buah — mungkin labu, atau apapun itu — yang tak enak rasanya. Ternyata buah itu berasal dari kuburan massal pembantaian 1965. Sejak itu, di dalam tubuh saya ada potongan buah. Sejak itu, di dalam tubuh saya ada potongan sejarah 1965. Sayangnya, apakah buah yang tumbuh di seluruh kuburan massal cukup untuk dibagikan pada seluruh Milenial di negeri ini supaya juga ada potongan sejarah ’65 di tubuh mereka?

Ya, di dalam tubuh saya ada Indonesia. Di dalam tubuh saya ada Indonesia yang berdiri dan berlangsung di atas perkosaan, penistaan, perampasan, penindasan, penghilangan, penganiayaan, dan pembunuhan atas jutaan warga negaranya sendiri. Dengan demikian, saya yakini, menjadi netral bukan lagi pilihan. Jika pada 10–20 tahun mendatang para Milenial ini akan jadi pemimpin, bukankah kita sedang memelihara generasi kerdil, penakut, dan penindas jika kita membiarkan hantu Orde Baru terus mendominasi cara berpikir?

Penyiksaan, penghilangan, perampasan, dan pembunuhan terhadap warga oleh negaranya sendiri itu tak berhenti di 1965, melainkan langgeng hingga sekarang. Yang berubah hanya skala, perantara, dan istilah. Kekerasan 1965 adalah akarnya. Karenanya, perkara ’65 adalah perkara keberpihakan. Bukan lagi perkara keberpihakan pada Kiri atau Kanan, tapi keberpihakan pada akal sehat dan kemanusiaan.

Elie Wiesel, seorang penyintas Holocaust, pernah berkata,

“Kita harus selalu berpihak. Netralitas hanya membantu para penindas, bukan penyintas. Kebungkaman hanya menyemangati para penganiaya, bukan yang teraniaya.”

Karenanya, bisakah kita mengingat dan membicarakan ’65 seperti membicarakan gebetan? Bukankah sudah waktunya kita kembali kasmaran pada Kebenaran, pada Kemanusiaan? Kasmaran yang membuat kita memikirkannya sepanjang waktu dan mendorong kita untuk terus mencari tahu? Kasmaran yang—mudah-mudahan—bisa menularkan debar pada para Milenial hingga bisa berani berdiri dan mantap berkata, “Kami tak lagi mau berdiam diri. Kami tak lagi bisa dibohongi.”

Saya ingin kembali belajar kasmaran. Kasmaran yang turut melengkapi sejarah dalam tubuh saya. Kasmaran yang mendorong rasa ingin tahu. Karenanya, saya ingin ingat 65. Saya harap, kamu pun juga.

--

--

Ellena Ekarahendy
INGAT 65

Visual culture + political discourses. De omnibus dubitandum.