Berkah dari Buru

Ken Setiawan
INGAT 65
Published in
7 min readMar 31, 2016

--

Suatu saat di masa lalu, saya ditawari kesempatan menemani ayah saya ke Pulau Buru, masih termasuk Kepulauan Maluku. Buru punya makna penting bagi keluarga saya; di sana ayah saya, bersama lebih dari 12,000 lelaki lainnya, dipenjara sebagai tahanan politik dari 1971 hingga 1979. Beliau diasingkan ke Buru karena ia anggota organisasi kebudayaan Lekra. Beliau tidak pernah didakwa secara resmi, apalagi diadili atau dinyatakan bersalah untuk “kejahatan” ini.

Pengalaman ayah saya sebagai tapol tidak membuatnya bungkam. Sebaliknya, ia selalu berbicara terbuka dan menulis dengan detail tentang masa tahanannya. Saya tumbuh dewasa dengan cerita-cerita ini dan tidak terbayangkan masa kecil saya tanpa kisah-kisah itu. Tentu saja ada kisah tentang persahabatan dan keteguhan, tapi ada juga tentang kelaparan, penistaan, dan penyiksaan: sejak lama saya tahu telinga kiri ayah tidak bisa mendengar dengan baik karena seorang tentara menaruh jangkrik di dalam telinga ayah saya sebagai hukuman. Maka, bagi saya Buru adalah pulau penjara — tempat kesedihan dan nyeri.

Karena Buru terhubung begitu dalam dengan sejarah keluarga kami, pada titik tertentu saya selalu berkeinginan untuk mengunjungi tempat ini. Maka ketika beberapa bulan yang lalu ayah saya memberitahukan rencananya, saya bersemangat untuk turut serta. Tapi ketika ayah saya menelepon untuk memastikan tanggal perjalanan, saya ragu. Malah, saya butuh waktu cukup lama — dan percakapan yang dalam dengan ayah saya — untuk memesan tiket ke Indonesia.

Sejujurnya, saya sedikit takut dengan apa yang akan saya jumpai di sana: saya takut dihadapkan dengan perasaan saya sendiri.Tak bisa disangkal, perjalanan ini akan menghadirkan momen sedih dan sulit. Teman-teman saya mencoba menyemangati saya; dengan mengatakan perjalanan ini kesempatan yang unik dan kesempatan untuk menyembuhkan diri. Tapi kata-kata mereka tidak meyakinkan saya.

Sementara saya selalu bangga dengan keterbukaan ayah saya, cara saya menyikapi warisan Buru adalah menjaga jarak dengannya. Saya memperlakukan ‘Buru’ lebih seperti sesuatu yang dimiliki terutama oleh ayah saya, dan bukan milik saya. Lagi pula: saya bisa berkata apa soal Buru? Saya belum pernah ke sana dan saya dilahirkan sesudah ayah saya dibebaskan. Saya menjauhkan diri dari Buru, atau lebih tepatnya dari sejarah ayah saya, bukan karena saya tidak mau tahu. Sebaliknya: saya ingin tahu, sangat ingin. Tapi tumbuh dewasa dengan kisah-kisah apa yang militer lakukan kepada ayah saya sama sekali tidak gampang. Sesederhana karena saya adalah putrinya: penderitaannya adalah penderitaan diriku juga.

Saya katakan pada diri sendiri dengan mengetahui kisah-kisah ayah saya, saya sudah terpapar cukup banyak kesedihan. Pergi ke Buru berarti secara langsung berhadapan dengan sejarah ayah saya, dan berarti, perasaan saya sendiri. Dengan egois saya berpikir: “Saya bahagia… kenapa saya harus menempatkan diri dalam posisi yang sangat rapuh?”.

Jawaban pertanyaan itu datang ketika saya mengobrol di telepon dengan ayah saya. Satu Rabu sore, saya memutuskan untuk menelepon beliau untuk membahas perjalanan ke Buru, atau lebih tepatnya, ketakutan saya: bagaimana saya takut akan perasaan saya, dan bagaimana saya khawatir untuk meninggalkan rumah dan — paling penting — anak-anak saya yang tidak pernah saya tinggalkan sebelumnya. Ayah saya mendengarkan dengan sabar, seperti yang sudah ia lakukan sepanjang hidupnya, dan kemudian berkata singkat: “Ken, Papa paham. Papa tahu ini pasti sulit untukmu. Tapi kamu harus ikut”.

Berapa kali ayah saya meminta saya untuk melakukan sesuatu bisa dihitung dengan hanya sebelah tangan. Jadi ketika ia menggunakan kata “harus” saya tahu apa yang musti saya lakukan dan saya memesan tiket saat itu juga.

Namun, saya tetap gugup soal perjalanan ini, perasaan yang baru hilang ketika pesawat mendarat di Jakarta, kota kelahiran saya. Udara panas tropis yang terasa akrab menyelimuti tubuh saya, aroma rokok kretek samar-samar, dan terutama menemukan wajah sumringah ayah saya di gerbang kedatangan: saya sudah pulang dan merasa tenang untuk memenuhi keinginan ayah saya.

Keesokan hari kami berangkat ke Buru, yang mengharuskan kami menempuh tujuh jam perjalanan menggunakan feri dari Ambon. Ketika kami tiba di Namlea, ibu kota Buru, saat itu sudah pukul 4 pagi dan langit gelap gulita, jadi baru beberapa jam berikutnya saya bisa melihat wajah pulau ini untuk kali pertama. Dalam perjalanan dari Namlea ke desa Savanajaya, sekitar 20 kilometer dari sana, saya meresapi pemandangannya: pegunungan hijau, laut biru, rumput tinggi dan pohon sagu, di bawah terik matahari. Kalau dipikir-pikir, pemandangan yang saya lihat sebenarnya indah, tapi saya tidak bisa melihatnya seperti itu. Saya ingat kisah-kisah ayah saya dan saya membayangkan dia berjalan di antara rerumputan dan bagaimana itu melukai kakinya. Dalam bayangan saya, saya melihat tahanan menggarap lahan, hanya dengan tangan telanjang di hari-hari awal penahanan mereka. Ayah saya kemudian bercerita, di hari keduanya sebagai tapol di Buru, ia menggunakan singlet untuk membungkus tangan berdarahnya. Tetes air mata pertama dari begitu banyak tangis mengalir di pipi saya.

Di hari-hari selanjutnya, ayah saya menunjukkan tempat salah satu temannya, Munajid, ditemukan tewas di bawah kapal nelayan, kedua tangannya terikat. Munajid disiksa hingga tewas karena ia tertangkap basah membaca kliping koran: tahanan tidak diizinkan membaca. Di tempat lain, ayah saya menemukan kuburan teman lain, Heru, yang meninggal hanya beberapa bulan sebelum semua tahanan dibebaskan. Namanya hampir tak terbaca, dengan nisan yang begitu usang. Ayah saya mencabuti sebagian alang-alang di makamnya dan menaruh sedikit bunga yang ia petik dari semak-semak di batu nisan. Saya melihat ayah saya sangat terpengaruh dengan berada di tempat-tempat ini. Saya tidak tahu persis apa yang harus saya lakukan atau katakan, dan merasa tak berdaya karena ketidakmampuan saya untuk menenangkan beliau. Tanpa suara saya berharap keberadaan dan tangis saya menyampaikan hal yang tak mampu terucapkan.

Berdiri di pantai tempat para tahanan pertama tiba di Buru, saya melihat ke laut, mengisi paru-paru saya dengan udara, dan merasakan pasir di antara jemari saya. Ketika ayah saya menceritakan hari ketika ia berjalan tujuh kilometer ke barak, bertelanjang kaki (“bayangkan rasanya buat kita yang orang kota!”), memapah tahanan yang terlalu tua dan renta untuk berjalan, sekali lagi air mata mengalir dan saya bertanya-tanya bagaimana mungkin ayah saya bisa selamat dari cobaan itu.

Perasaan saya amat memengaruhi diri saya dan pada satu malam saya tidak bisa tidur, memutar ulang kisah-kisah hari itu di benak saya. Saya juga mencemaskan anak-anak saya dan sebenarnya saya hanya ingin pulang. Keesokan harinya sesudah makan siang di rumah Mbah Diro — juga mantan tahanan politik, yang memutuskan untuk tetap tinggal di pulau Buru sesudah dibebaskan — saya merasa sangat sedih. Mbah Diro memanggil saya. “Sini,” beliau berkata. “Ada apa Mbah?,” jawab saya dan berjalan ke arahnya. Ia memegang tangan saya, menaruh batu kecil cantik berwarna kuning dan merah. “Nih, ini buat kamu.” Ia kemudian berjalan ke arah ayah saya dan berkata, “Aku suka kalau anak muda datang berkunjung. Itu artinya mereka peduli.” Dalam hitungan detik, rasa letih dan sedih hilang, dan saya tersenyum kembali.

Saat tersebut ternyata sebuah titik balik. Tak disangka, di tempat yang dipenuhi dengan kesedihan, saya menemukan hal-hal positif. Contohnya, saya sadar bahwa Buru adalah tempat pertama di Indonesia di mana saya bisa terbuka sepenuhnya mengenai masa lalu ayah saya, dan dengan itu “status” saya sebagai anak mantan tahanan politik. Di tempat lain, saya selalu berhati-hati. Saya hanya memberi tahu orang ketika saya mengenal mereka cukup baik. Tapi di Buru, memiliki ayah tapol itu lumrah. Bukannya terkejut, takut atau kasihan (paling parah), yang rasanya sudah biasa untuk saya di Jawa, orang-orang di Buru antusias bertanya: “Unit berapa? Tahun berapa datangnya? Kapan dibebaskannya? Siapa namanya?”

Yang lebih penting, saya sadar bahwa bicara dengan ayah saya mengenai pengalamannya — dan mungkin terlebih lagi, perasaan saya — itu mudah. Ketika sebelumnya saya merasa pertanyaan yang saya ajukan terkesan sepele atau malah terlampau serius, di Buru saya saya bisa bertanya dengan wajar. Melihat ayah saya ditahan di tempat yang begitu penuh dengan kesengsaraan, tapi tetap tidak menyimpan kemarahan, kebanggaan saya akan diri ayah saya semakin dalam. Dan untuk kali pertama dalam hidup saya, rasanya mudah untuk saya mengungkapkan ini. Sebelumnya, sulit bagi saya untuk memilih waktu atau tempat untuk membicarakan masa lalu dan dampaknya pada saya, tapi di Buru perbincangan ini terjadi dengan mudah.

Di malam kami meninggalkan Buru menuju Ambon, kami masuk ke kabin feri ketika kami mengetahui Mbah Diro dan keluarganya menempuh perjalanan dari Savanajaya ke Namlea untuk mengucapkan selamat tinggal. Kami menemui mereka dan saya menyodorkan tangan saya pada Mbah Diro. Ia malah menarik saya ke dalam pelukan yang hangat. Sambil menepuk punggung saya, dia berkata: “Selamat jalan, anakku. Kembali lagi satu hari nanti. Kamu punya banyak saudara di sini.” Ketika feri meninggalkan pelabuhan dan bayangan Mbah Diro dan keluarganya menyatu dengan kegelapan, sekali lagi air mata mengalir. Tapi kali ini, air mata ini adalah tangis rasa syukur.

Sebelum saya pergi ke Buru, saya berpikir perjalanan ini untuk memenuhi keinginan ayah saya. Saya tidak mengharapkan apa pun dari perjalanan ini untuk diri sendiri, selain duka. Lagi pula: apa yang bisa ditemukan di pulau penjara?

Ternyata saya teramat keliru. Karena saya bisa terbuka sebagai anak seorang tapol, saya menemukan kebebasan. Dari ikatan yang terbangun dengan orang-orang di Savanajaya, saya menemukan keluarga baru. Dari perbincangan dengan ayah saya tentang pengalaman dan perasaan beliau, dan juga pengalaman dan perasaan saya sendiri, hubungan saya dengan ayah seperti baru lagi dan bertambah dalam.

Kata pulang, sinonim dengan balik, kembali, ke tempat kau mengakar: ke tempat di mana kau kerasan. Sekalipun bagian pertama makna pulang — kembali — tidak sepenuhnya cocok terkait perjalanan yang saya lakukan, bagian kedua — perkara merasa kerasan — amat terkait. Tak disangka, perjalanan ke Buru membuat saya menyadari sesuatu yang mungkin sudah saya ketahui sejak lama, tapi tidak pernah sepenuhnya saya akui: bahwa Buru bukan hanya bagian dari masa lalu ayah saya, tapi Buru merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas saya.

Perjalanan saya ke Buru, bertemu keluarga tapol, dan khususnya mendengarkan kisah ayah saya langsung di tempat kejadian — menegaskan bahwa menghadapi ketakutan saya memang tidak mudah. Tapi di saat bersamaan, perjalanan saya menunjukkan bahwa dengan mengizinkan diri saya menjadi rapuh, saya diberikan sesuatu yang berharga sebagai gantinya. Dengan membuka diri pada yang tidak saya ketahui, saya menemukan suatu tujuan dan rasa memiliki, bagian diri saya yang tidak saya sadari selama ini sudah menghilang, di rumah yang saya tidak ketahui ternyata saya miliki.

Menemukan kebaikan semacam itu di tempat yang penuh dengan kegelapan adalah berkah luar biasa, dan untuk pelajaran yang Buru berikan pada saya, selamanya saya mensyukurinya.

Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Prodita Sabarini dan Ariyantri Tarman.

Esai ini diterbitkan pertama kali di Pulang Art Project. Baca esai aslinya dalam Bahasa Inggris di sini.

--

--

Ken Setiawan
INGAT 65

Ken Setiawan lahir di Jakarta dan dibesarkan di Indonesia dan Belanda. Kini tinggal dan bekerja di Melbourne, Australia.