Bola Perubahan Ada Pada Kita

Alia An Nadhiva
INGAT 65
Published in
4 min readMay 25, 2017
Bola perubahan ada di tangan masyarakat, terutama generasi muda. (Ilustrasi dari devanocturno/pixabay.com, CC0 Public Domain)

Waktu saya kecil, ayah saya sangat mengagumi Soeharto. Ia sering mengatakan bahwa Soeharto itu pintar dan dijuluki “the smiling general”. Berkaca pada sikap ayah saya pada Soeharto, di mata saya saat itu ia pemimpin yang baik.

Saya memiliki memori menonton film Pengkhianatan G30S/PKI sewaktu SD (entah kelas 1 atau kelas 2). Di pikiran cilik saya, samar-samar saya tahu film itu menceritakan mengenai pembunuhan beberapa jenderal. Saya tidak menonton sampai selesai dan bagian yang penuh kesadisan tidak pernah saya lihat.

Ketika saya mengunjungi lubang buaya bersama sekolah saya teringat mengenai film tersebut. “Oh, ini sumur pembuangan mayat yang dimaksud di film tersebut,” saya berkata pada diri sendiri. Saya membayangkan jasad para jenderal yang dibuang dan merasa ketakutan.

Mungkin karena bayangan itu begitu menyeramkan saya menghindari untuk terlalu memikirkan mengenai peristiwa itu. Saya meyakinkan diri saya bawa presiden saat itu, Soeharto, telah menyelesaikan masalah itu dan sekarang itu menjadi bagian dari sejarah.

Tapi itu dulu. Saya tidak lagi berpikir seperti itu.

Era keterbukaan informasi dan hadirnya Internet membuka wawasan saya. Dari pencarian informasi lewat Internet saya menjadi tahu bahwa Soeharto bertanggung jawab bukan saja atas korupsi yang sangat besar, tapi juga atas kekerasan yang dahsyat dan ketidakadilan yang menurun dari generasi ke generasi terhadap mereka yang dianggap PKI atau simpatisannya dan keluarganya.

Ternyata ada perspektif lain dari narasi mengenai sejarah Indonesia periode 1965.

Saya menjadi tahu bahwa selama era Orde Baru semua informasi mengenai pembunuhan massal, penahanan tanpa pengadilan, penyiksaan dan pemerkosaan orang-orang yang dianggap kiri ditutup-tutupi oleh Soeharto.

Saya menjadi sadar akan kejamnya militer saat itu terhadap anggota PKI dan mereka yang dilabeli PKI.

Awalnya saya tidak terlalu percaya. Apa betul ada keterlibatan CIA yang takut pada kedekatan Sukarno dengan negara-negara komunis dunia di tengah perang dingin saat itu? Namun saya memastikan dengan melihat sumber-sumber yang dikutip oleh para penulis yang memang merupakan ahli di bidang sejarah Indonesia.

Keluarga saya sendiri tidak ada yang secara langsung menjadi korban kekerasan yang terjadi di 1965. Ayah saya yang kagum pada Soeharto dulu anggota salah satu organisasi Muslim di Indonesia. Kakek dari ibu saya seorang tentara.

Saya belum pernah bertanya mengenai ingatan dan pengalaman mereka mengenai masa itu.

Namun meskipun keluarga saya bukan korban langsung. Saya bersimpati pada korban dan keluarga korban.

Sejak mengetahui informasi dan perspektif lain yang ditutup-tutupi rezim Orde Baru sikap dan pandangan saya terhadap PKI berubah. Saya tidak lagi percaya pada narasi anti-PKI yang dicekokkan pada saya ketika kecil dengan film dan kunjungan ke museum lubang buaya.

Saya merasa setelah dokumen-dokumen dan penelitian tentang 1965 keluar, seharusnya buku-buku pelajaran sekolah dimodifikasi. Sampai sekarang sejarah yang diajarkan kepada generasi muda adalah sejarah versi Orde Baru.

Saat ini sering kita dengar seruan untuk waspada kebangkitan PKI atau komunisme gaya baru. Saya skeptis terhadap siapapun yang menyerukan itu. Apakah betul mereka sungguh-sungguh merasa di era dimana seluruh dunia melihat melemahnya paham komunisme dengan robohnya tembok Berlin dan komunisme citarasa kapitalis Cina, komunisme memiliki kesempatan di Indonesia?

Ataukah momok hantu komunisme adalah alat yang mudah digunakan untuk menyerang kelompok tertentu — biasanya mereka yang posisinya terus dilemahkan: kelompok buruh, agama minoritas, LGBT, perempuan, korban HAM masa lalu — agar kepentingan status quo terus menang?

Baru-baru ini saya berdiskusi dengan sahabat saya Prodita Sabarini, teman kuliah saya yang juga inisiator Ingat65, tentang sejarah 65 dan bagaimana saya mempelajari tentang perspektif korban.

Odit, saya memanggilnya, menceritakan tentang betapa terlambatnya ia menyadari mengenai apa yang terjadi terhadap korban 1965. Film Jagal tentang para algojo di Sumatra Utara yang di tahun 65 membantai orang-orang yang diduga PKI karya Joshua Oppenheimer-lah yang membukakan pikirannya.

Sesudah menonton film Jagal “it all makes sense,” ia berkata.

Penghancuran secara brutal terhadap kelompok kiri di Indonesia dan represi terhadap kebebasan berpolitik masyarakat Indonesia menjelaskan mengapa Indonesia seperti ini. Ia mengatakan bahwa represi politik membuat masyarakat terputus dari partisipasi politik selama berpuluh tahun. Itulah mengapa sistem politik kita dikuasai oleh para elit, mengapa begitu banyak kebijakan-kebijakan buruk yang menguntungkan pemilik kekuasaan dan modal dan menyebabkan Indonesia masih terjebak di middle income trap. Warisan 1965 menjelaskan mengapa banyak masyarakat apolitis dan merasa tidak berdaya untuk mendorong pemimpin yang mereka pilih untuk betul-betul bekerja bagi kepentingan publik.

Saya pikir ini ada benarnya. Soeharto membodohi negara ini berpuluh-puluh tahun lamanya. Efeknya akan panjang. Dan bisa jadi ini baru bisa terurai setelah saya tidak lagi ada di dunia ini.

Hubungan mengenai 1965 dan situasi negara Indonesia menurut saya merupakan sudut pandang yang penting. Selama ini perbincangan mengenai 1965 seringkali dibingkai dalam kacamata pelanggaran HAM terhadap korban 1965.

Tentu rehabilitasi dan keadilan bagi korban penting. Namun pandangan ini membatasi diskusi mengenai 1965 menjadi sebatas masalah antara pemerintah dan korban 1965. Masyarakat umum merasa tidak terimbas dan tidak terpengaruh.

Menurut saya bila masih banyak masyarakat yang merasa isu ini tidak penting dan tidak memengaruhi hidup mereka pemerintahan siapapun akan sulit untuk berpihak pada korban dan memutus rantai impunitas.

Pemimpin pemerintahan dimanapun bermain politik dan mereka melakukan sesuatu dengan pertimbangan pragmatis apakah menguntungkan baginya atau tidak secara politis.

Maka itu, bola ada di tangan masyarakat dan terutama generasi muda.

Mari kita buat pemerintah tahu bahwa bagi kita pembunuhan massal dan kekerasan lainnya di 1965 terhadap kelompok kiri adalah perbuatan yang salah dan perlu ada pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi yang menghargai harkat para korban.

--

--

Alia An Nadhiva
INGAT 65
Writer for

Penulis lepas yang aktif menulis tentang kesehatan dan parenting. Pernah menjadi wartawan lifestyle setelah lulus dari Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad.