Cukup Hanya Mendengarkan dan Membaca

Muhammad Rizki Arif Suryo
INGAT 65
Published in
4 min readJan 12, 2017
Kota Palembang. Palembang salah satu kota pembunuhan massal 1965 terjadi. (Sumber: Flickr/Oyi Kresnamurti, CC BY 2.0)

Semasa saya kecil, saya selalu menonton film Pengkhianatan G30S/PKI setiap malam menjelang Hari Kesaktian Pancasila.

Banyak kekejaman dan kekejian yang ditampilkan dalam film tersebut yang seharusnya tidak layak ditonton oleh anak kecil seperti saya pada masa itu. Juga banyak hal yang tidak sesuai dengan fakta dan kenyataan di lapangan yang ditunjukkan dalam film tersebut. Saya menjumpai kejanggalan di film tersebut seperti misalnya tentang kemaluan para perwira yang disayat-sayat atau kekejian lain yang diklaim nyata adanya.

Para penyintas kekerasan 1965 telah lebih dari setengah abad bersuara agar negara mengakui kejahatan dan ketidakadilan yang terjadi pada mereka. Namun hingga saat ini pemerintah tetap bergeming. Sementara generasi muda Indonesia, bangsa yang melandaskan diri mereka pada sila kemanusiaan yang adil dan beradab, terus dicekoki dengan sejarah yang tidak berimbang mengenai peristiwa 1965. Pembantaian sekitar 700.000 (berdasarkan perhitungan paling konservatif) manusia yang baik komunis maupun tertuduh komunis misalnya, tidak disebutkan dalam buku sejarah, narasi resmi pemerintah mengenai Peristiwa 1965.

Tapi sebenarnya kisah-kisah mengenai kekerasan 1965 ada di sekitar kita. Kita hanya perlu meluangkan waktu untuk mendengarkan dan membaca.

Sebulan yang lalu, saya bertanya kepada sesepuh yang menjadi korban peristiwa 1965. Beliau seorang sejarahwan. Yang beliau ceritakan bukan sebuah kisah yang ia dapat dari ucapan mulut ke mulut, buku, atau lembar dokumentasi apapun. Beliau bercerita kepada saya mengenai kekejian yang dilakukan mereka yang mengaku berperikemanusiaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Di Palembang, Sumatera Selatan, beliau pernah menyaksikan beberapa orang menyiksa dan membunuh beberapa orang yang dituduh komunis. Cara yang mereka gunakan di luar imajinasi yang bisa saya bayangkan. Orang-orang yang disiksa agar mengaku komunis itu seolah-olah pasrah dengan apa yang mereka alami. Mereka disiksa dengan cara dipatahkan lengannya. Lengan yang seharusnya hanya bisa bergerak satu arah, para penuduh itu memaksa lengannya untuk bergerak berlainan arah hingga hancur.

Menurut beliau, pembunuhan-pembunuhan semacam itu tidak hanya terjadi pada mereka yang benar-benar komunis. Banyak orang-orang yang menggunakan kesempatan ini untuk kepentingan pribadi mereka. Bila kita mempunyai suatu hutang materi tidak sulit untuk menghapusnya di era pembantaian ini. Cukup dengan cara menuduh orang yang kita hutangi, lalu kita biarkan masyarakat yang dikuasai emosi membantainya atau kita sendiri yang membantainya. Tidak perlu khawatir masalah hukum mengenai pembunuhan itu karena pembantaian terhadap para komunis dan para tertuduh komunis dihalalkan adanya. Benar-benar sebuah cara yang mudah orang yang tidak beradab untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

Beliau juga menuturkan bahwa banyak pembantaian yang memang sengaja disembunyikan. Beliau pernah mendapatkan berita tentang ditemukannya sebuah kuburan masal ketika pembangunan jembatan di kota A.

Kemudian beliau mempertanyakan hal tersebut kepada walikota yang kebetulan teman baik beliau. Beliau kemudian bertanya kepada walikota tersebut adakah pembantaian yang dilakukan di lokasi tersebut. Walikota itu menjawab bahwa tidak pernah ada pembantaian dilakukan disana. Lalu beliau kembali bertanya mengenai adanya pembunuhan masal yang terjadi pada sekitar tahun 1965. Walikota tersebut menjawab bahwa pernah ada suatu pembantaian terhadap sekelompok pemuda tertuduh komunis dan lokasinya berada di pinggiran sungai yang tidak jauh dari tempat pembangunan jembatan tempat ditemukannya kuburan tersebut. Jawaban walikota tersebut membuat beliau yakin bahwa kuburan masal itu adalah tempat peristirahatan jasad-jasad para tertuduh komunis yang terseret arus sungai.

Semalam sebelum menulis catatan ini, saya bertanya kepada ibu saya mengenai peristiwa kelam yang terjadi di tahun 1965. Saya bertanya kepada dirinya apakah dia tahu tentang lagu genjer-genjer yang ada dalam film GIE yang kebetulan saya putar untuk beberapa kalinya. Kemudian ibu saya menjawab bahwa lagu itu merupakan lagunya PKI.

Dan ibu saya pun bercerita mengenai hari-hari beliau ketika di era tersebut. Pada malam hari, lagu genjer-genjer dinyanyikan di depan musholla yang sekarang ini menjadi sebuah masjid di pinggiran kota Surabaya dimana saya tinggal. Beliau berkata bahwa ia tidak tahu pasti apakah banyak yang mengetahui dan segala detail mengenai peristiwa tersebut karena beliau waktu itu masih anak kecil.

Setiap malam, beliau mendengar bunyi senjata-senjata penikam tajam diasah. Saat malam-malam seperti itu beliau bersembunyi di dalam kamar mandi rumah.

Sedikit banyak itulah situasi dan peristiwa yang bisa saya gambarkan berdasarkan cerita-cerita yang saya dapat meski kebenarannya masih harus dipastikan.

Peristiwa 1965 merupakan sejarah kelam bangsa Indonesia; bangsa yang melandaskan diri mereka pada sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Saya tidak ingin menuduh baik orang-orang komunis atau pemerintah dan orang-orang anti komunis yang biadab kala itu. Namun kebiadaban selalu ada dalam segala aspek, bahkan dalam diri kita pribadi, terlebih lagi dalam perpolitikan dan kekuasaan.

Saya memang tidak merasakan sendiri bagaimana kejadian itu berlangsung. Namun di zaman sekarang ini, kita bisa mengetahui apa yang terjadi dengan membaca dan mendengarkan kisah-kisah kelam 1965.

--

--