Dari Aku yang Kau Sebut Apatis

Jessica Widartha
INGAT 65
Published in
3 min readSep 7, 2017
Foto Ilustrasi. Kredit foto: psephizo

1945. 1965. 1998.

Dari puluhan peristiwa sejarah yang aku pelajari di sekolah, hanya tiga peristiwa yang kuingat dari tahun kejadiannya — dan hanya satu yang membahagiakan.

Aku bukan siswa yang mampu terjaga ketika mendengarkan guru sejarah bercerita di depan kelas, jadi sebagian besar sejarah yang aku ketahui datang dari tempat lain: buku sejarah yang kubaca sepintas dan orang-orang di sekitarku. Saat ini pun, aku adalah salah satu yang dielu-elukan oleh orang lain sebagai milenial apatis, dan hanya tiga peristiwa itulah yang aku cukup ketahui tentang sejarah: 17 Agustus 1945, 30 September 1965, 13 Mei 1998. Namun dari tiga tahun yang kusebutkan, tahun 1965 memunculkan paling banyak pertanyaan bagi diriku yang buta sejarah.

Sejak kecil, aku mendengar banyak tentang persitiwa 1965 — bahkan sebelum aku diajarkan tentang peristiwa tersebut. “PKI itu jahat,” kata Mama. “Jangan nyanyi lagu Genjer-Genjer,” kata Kakak. Tidak jarang aku mendengar omongan-omongan itu, tanpa penjelasan pula. Kenapa? Jawaban yang kudapat ada macam-macam. Karena PKI tidak beragama, katanya. Karena Genjer-Genjer lagu yang menyeramkan, katanya. Kurasa karena saat itu aku masih SD, mereka malas menjelaskan. Atau karena memang mereka tidak tahu jawabannya? Lalu buat apa mereka mengatakan hal itu padaku?

Kemudian aku mengikuti anjangkarya yang diadakan sekolah dan berkunjung ke Lubang Buaya sebanyak dua kali. Enam orang jenderal disiksa dan mayatnya dibuang ke dalam sumur, katanya. Aku disuruh melihat ke dalam sumurnya. Aku ingat merasa mual dan segera pergi dari sumur itu. Takut. Mengerikan.

Entah berapa kali film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI diputar di kelas sejarahku di sekolah. Aku ingat menahan nafas dan menutup mata ketika menonton. Takut. Jahat. Seram. Kata Mama, film tersebut ditayangkan di televisi dan semua orang wajib menonton saat beliau masih muda. Bagaimana bisa seseorang menonton film menyeramkan begitu berulang-ulang? Untuk apa?

Beberapa kali, guru sejarahku bercerita tentang pembunuhan pasca Gerakan 30 September. Beliau bercerita bahwa orang yang dituduh PKI akan langsung dibunuh. “Kalau misalnya saya tuduh kamu PKI waktu itu, kamu bisa langsung ditembak di tempat,” ujarnya. Ribuan orang dibunuh tanpa klarifikasi. Kejam.

Ke mana hak asasi manusia ketika itu? Aku juga sempat menonton Jagal, film dokumenter yang menceritakan pengalaman algojo-algojo yang membunuh terduga komunis pada tahun 1965 hingga 1966. Salah seorang algojo tersenyum dan terlihat bangga ketika memperagakan caranya membunuh orang dengan seuntai kawat supaya tidak meninggalkan bekas darah yang banyak. Apa ia merasa seperti pahlawan ketika membunuh?

Masuk kuliah, aku menemukan orang-orang dengan perspektif lain. “Propaganda,” katanya. “Konspirasi,” katanya. G30S adalah medium untuk perebutan kekuasaan politik. Ada pihak yang tidak menyukai PKI. Ada pihak yang ingin merenggut kekuasaan Soekarno. Ada campur tangan CIA. Tidak ada bekas siksaan pada jenazah-jenazah yang ada di Lubang Buaya. Semuanya sudah diatur, seperti pentas. Benarkah?

Jawabannya tidak ada dalam buku teks sejarahku dulu. Aku menemukan artikel dan film dokumenter tentang kesaksian pelaku pembantaian tahun 1965, tapi tidak tentang kenyataan dibalik peristiwa 30 September itu sendiri. Aku menemukan banyak artikel opini berisi hipotesis orang-orang. Lalu bagaimana aku tahu kalau mereka benar?

Banyak hal yang mengusik kenyataan yang kupercaya hingga aku berhenti memikirkannya. Semakin aku mencari tahu, aku semakin tidak tahu yang mana yang bisa kupercaya dan mana yang tidak. Perasaanku campur aduk; sejarah mengerikan yang dijejalkan padaku sejak kecil ternyata — mungkin — sebuah kebohongan. Takut, ngeri, kecewa, marah — di satu titik, aku berhenti mencari jawaban.

Jangan salah. Aku punya banyak pertanyaan, aku menginginkan jawaban. Kami berhak mendapatkan jawaban. Siapa yang harus menjawab? Siapa yang seharusnya bertanggung jawab; yang menolak untuk menebus dosanya? Negaraku, majulah. Ungkapkan kebenaran. Pemerintah, saksi, atau siapa lah, beritahu kami kebenarannya. Berikan klarifikasi. Mana yang benar, mana yang keliru; mengapa itu benar dan mengapa ini keliru. Jawablah atau pelan-pelan, tidak akan ada lagi yang percaya pada negara ini. Semua orang berhak untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Namun dalam situasi ini, aku yang tidak mau sok tahu dan memang tidak tahu, akankah masih kau sebut apatis?

--

--