Dari Klaten ke Jakarta

Santini
INGAT 65
Published in
6 min readFeb 14, 2018
Merapi. Kali di desa kami terhubung dengan Gunung Merapi. Air di sungai pernah berubah merah, lebih merah daripada ketika Merapi meletus dan mengeluarkan lahar. (Sumber foto Merapi: Herman G. Anugrah, CC BY-NC-ND 2.0).

Aku hidup di suatu desa di Klaten Utara yang damai dan tenang dengan gunung dan sawah yang kulihat setiap hari. Desaku persis seperti gambar anak-anak kecil: rumah berlatar belakang gunung, sawah, dan matahari; gambaran kanak-kanak yang menunjukkan kedamaian dan kehangatan.

Aku melalui masa kecil yang bahagia. Masih banyak tradisi dan cerita hantu yang hampir setiap hari kudengar dan alami. Aku tumbuh dengan cerita-cerita dari nenek dan budeku. Saat masih kecil, Bude kerap memboncengku dengan sepeda ontel berkeliling desa. Sepanjang perjalanan, Bude akan menceritakan kisah orang-orang atau tempat-tempat yang kami lewati.

Suatu ketika, kami melewati sebuah kali. Kali itu menghubungkan desa kami dengan Gunung Merapi. Ketika Merapi meletus, air sungai berubah merah kecokelatan, mengalirkan lahar dari Merapi. Bude bercerita pada suatu ketika di masa lalu air di sungai itu lebih merah dibandingkan ketika lahar dibawa arus dari Merapi. Air sungai itu merah karena darah yang mengalir dari kepala orang-orang yang dibantai di pinggir kali.

Sesampainya di rumah, Bude melanjutkan ceritanya. Saat peristiwa itu terjadi, Bude masih remaja, sedangkan ibuku belum lahir. Pada 1965, desa kami yang biasanya tenang menjadi rusuh. Pemerintah dan sekelompok orang tak dikenal masuk ke desa dan mencari anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Ya, dulu di desaku memang ada beberapa orang yang diduga anggota PKI.

Waktu itu muncul berbagai macam spekulasi di masyarakat. Para anggota dan simpatisan PKI ditangkap dan dipenjarakan, serta beredar kabar ada yang langsung dieksekusi di tempat. PKI menyiapkan diri atas kemungkinan ini. Mereka meminta semua orang yang tidak berhubungan dengan PKI untuk masuk rumah dan mengunci pintu rumah mereka rapat-rapat. Dari balik gedeg (anyaman bambu), Bude menyaksikan beberapa orang dibawa entah ke mana.

Beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah peristiwa 1965 itu, Bude mengatakan hantu-hantu mulai bermunculan. Hantu-hantu itu membuat suasana desa sangat mencekam dan menakutkan, apalagi ketika malam. Hantu-hantu itu terlihat seperti sedang memburu sesuatu. Hantu yang paling menyeramkan adalah hantu jaran mbeker dengan tubuh dan kepala manusia yang membawa pedang. Konon, ia akan menebas siapa pun yang ditemuinya di jalan. Saat hantu mulai datang dan suaranya terdengar di ujung desa, semua warga akan masuk rumah dan mengunci pintu dan jendela mereka rapat-rapat. Apakah hantu-hantu itu penjelmaan dari kebencian dan kesakitan dari peristiwa 1965, Bude tidak tahu.

Ketika cerita itu kudengar, hantu jaran mbeker sudah tidak ada lagi, dan konon digantikan oleh hantu seram lainnya, gundul pringis. Menurut cerita, ini adalah hantu kepala yang suka menyeringai. Konon katanya lagi, hantu ini adalah jelmaan orang-orang yang dieksekusi pada 1965. Belakangan aku dengar cerita hantu ini bergentayangan di pulau Jawa dan Sumatra. Bahkan setelah peristiwa mengerikan pada 1965 berlalu pun, warga desa tidak bisa tenang karena merasa dihantui oleh makhluk-makhluk itu.

***
Ketika dewasa, aku meninggalkan desa untuk belajar di ibu kota. Pandanganku tak lagi dipenuhi gunung dan sawah yang menenangkan, tapi berganti dengan gedung-gedung dan bangunan-bangunan yang saling berdesakan. Di sinilah aku bertemu dengan warisan kebencian dan permusuhan yang masih bercokol kuat di dalam hati manusia. Mereka masih saling membenci meskipun telah menua dan pengalamannya dimakan usia. Pada saat itu, aku tidak berpikir bahwa suatu saat nanti aku akan terlibat dengan segala macam wacana terkait peristiwa 1965.

Di tahun ketiga kuliah, aku magang di suatu LSM kemanusiaan di Jakarta. Pada saat memutuskan untuk memilih magang di LSM itu, aku bahkan tidak berpikir aku akan dipertemukan kembali dengan segala hal terkait peristiwa 1965. Saat itu, tujuanku adalah untuk mengabdikan diriku untuk ikut memperjuangkan hak-hak orang-orang yang telah dirampas haknya. Di kantor LSM itulah, jauh dari suara-suara keriuhan itu, kutemui segelintir orang yang hatinya lapang dan membuang jauh-jauh kesombongannya. Mereka adalah orang-orang renta, para penyintas yang kutemui di sebuah LSM yang mereka sebut rumah. Orang-orang renta ini setiap Kamis masih menghadapkan diri ke Istana Negara dengan segala keteguhannya. Mereka masih berdiri setelah delapan tahun lamanya, bersama tangan renta dari korban peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi setelah peristiwa 1965. Ada satu tuntutan yang selalu sama setiap Kamis: pengungkapan kebenaran atas peristiwa-peristiwa yang merenggut keluarga mereka. Bagi para penyintas 65, mereka ingin rekonsiliasi dapat diwujudkan dan segala prasangka dihapuskan sebelum ajal menjemput mereka.

***
Sementara itu, orang-orang desaku melanjutkan hidup dengan latar belakang masa lalu peristiwa 1965. Suatu hari, datang beberapa keluarga dari kota ke desaku. Mereka datang mengendarai beberapa mobil. Kedatangan rombongan itu dengan mobil mewah merekamenarik perhatian warga desa. Dari penuturan tetangga, mereka adalah keluarga korban peristiwa 1965. Mereka mencari makam orang-orang PKI yang tewas dalam peristiwa 1965.

Seorang tetangga kemudian memintaku memanggil Mbah Kakung. Ia mengatakan dulu Mbah Kakung ikut menguburkan orang-orang itu. Aku sendiri sudah sejak lama tahu ada tiga kuburan anggota PKI di desaku. Dari penuturan Bude, aku tahu bahwa satu kuburan dipakai untuk mengubur beberapa orang. Kuburan-kuburan itu diberi nisan yang tak bernama.

Aku memanggil Mbah Kakung. Mbah Kakung kemudian mengantarkan rombongan tersebut menuju makam desa. Tak lama, beliau kembali dari makam desa, membiarkan mereka untuk berziarah dengan tenang. Setelah itu, beberapa warga terlihat beramah-tamah dan mengobrol dengan mereka.

Setelahnya, setiap satu tahun sekali, mereka akan berziarah ke makam itu. Setahun sekali pula, semenjak aku kecil, selalu ada semacam pengajian di makam desa setiap menjelang bulan Ramadhan. Mereka tidak membeda-bedakan doanya untuk siapa dan mayat yang mana. Doa itu adalah untuk semua leluhur yang dikubur di bawah tanah yang sama di makam desa. Aku bersyukur mereka bukan orang yang menghentikan kebiasaan hanya karena ada yang berbeda.

***
Melalui pengalaman-pengalaman ini, aku melihat dan mendengar suara orang-orang yang hatinya lapang. Orang-orang yang tidak mendapatkan jatah mikrofon untuk berbicara. Pertemuan dengan merekalah yang mendorongku menulis karya ilmiah tentang rekonsiliasi yang memungkinkan berbagai pihak untuk saling berbicara membahas tragedi yang menciptakan luka dan berusaha untuk bersama-sama menyembuhkan diri. Rekonsiliasi adalah wadah yang mengharuskan kita untuk tidak egois dan untuk berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan.

Di kampus aku mendapatkan pemahaman bahwa hak asasi manusia wajib dibela. Buku-buku yang kupakai untuk menulis skripsi banyak membahas peristiwa 1965. Sebagian besar bercerita mengenai tragedi kemanusiaan di tahun tersebut; sebagian lagi berkisah mengenai upaya rekonsiliasi dan betapa sulitnya mewujudkannya. Aku juga menemukan artikel dan aliansi masyarakat yang secara membabi buta membela diri mereka dan masih memandang keluarga eks PKI menggunakan lensa 1965.

Sebagian referensi yang membahas peristiwa 1965 menyuarakan penderitaan eks tapol dan sebagian lainnya menjustifikasi gerakan ganyang PKI yang dilakukan pada masa itu. Ini bukan upaya menghakimi orang-orang yang terlibat di dalam peristiwa 1965. Sudah cukup banyak penghakiman yang dibuat di surat kabar, buku-buku, dan berbagai aksi serta seminar. Profesor yang menguji skripsiku menjelaskan bahwa situasi di masa itu (sebelum dan setelah 1965) sangat menakutkan bagi kedua belah pihak, yang dibantai maupun yang membantai. Keduanya menanggung beban, trauma, prasangka, dan stigma yang melekat bertahun-tahun.

Intinya bagiku adalah aku tidak ingin menjadi generasi yang menghakimi dan mewarisi kebencian. Aku mengerti kenapa Bude tidak pernah menyebutkan nama orang-orang PKI yang ditangkap atau pun yang menangkap mereka. Beliau tidak ingin aku tidak berprasangka atau memiliki pandangan yang berbeda akan keluarga orang-orang ini.

Aku mengerti betapa kompleks dan sulitnya untuk berdamai, baik bagi keluarga orang-orang yang terbunuh oleh PKI di tahun 1948, keluarga eks PKI yang terbunuh di tahun 1965, maupun bagi orang-orang yang merasa nilai-nilainya ternodai dengan kehadiran PKI. Namun, meskipun sulit, kupikir kebencian dan dendam itu harus disudahi. Beranjaklah dari tahun 1965 dan jernihkanlah pandangan dengan kacamata yang baru. Permintaanku, jangan wariskan dendam masa lalu ke generasi selanjutnya.

Terakhir, aku ingin menyampaikan pesan yang kudapat dua tahun yang lalu. Pesan dari seorang kakek penyintas yang telah jauh-jauh datang dari Kalimantan untuk membicarakan rekonsiliasi dalam sebuah acara di Salatiga. Namun, beliau tertahan di Jakarta dan tidak pernah sampai di kota tujuannya karena ada beberapa pihak yang menolak penyelanggaraan acara itu. Saat hendak berpamitan pulang ke Kalimantan, beliau berpesan, “Saya punya waktu terbatas. Kalaulah saya masih diberi kesempatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, saya ingin melihat terjadinya rekonsiliasi.” Semoga keinginan itu terwujud.

--

--