Hikayat Bonari, Kakek Saya

margio
INGAT 65
Published in
7 min readMar 1, 2018
Seperti melangkah menuju jalan berkabut, saya menelusuri sejarah keluarga yang telah lama disimpan dari saya. Sumber foto: koleksi pribadi

Peristiwa 65 bukanlah suatu hal yang sentral dalam hidup saya. Saya tidak mengalami sendiri, apalagi menjadi korban propaganda Orde Baru terkait Gerakan 30 September.

Saya lahir empat tahun sebelum Suharto jatuh, sehingga tidak sempat diwajibkan menonton film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Akibatnya, saya tidak bersimpati maupun membenci pihak-pihak yang dikatakan terlibat dalam peristiwa itu. Bahkan sekedar paham saja tidak.

Saya hanya tahu satu atau dua hal mengenai periode 1965 dan Partai Komunis Indonesia melalui buku pelajaran sejarah di sekolah. Tidak sampai membenci, tetapi cukup untuk membuat saya beranggapan bahwa PKI adalah segala sesuatu yang jahat (tanpa perlu benar-benar paham apa itu PKI).

Pikiran saya mulai terbuka saat kuliah, setelah menonton film Senyap besutan Joshua Oppenheimer. Saya mulai membaca tulisan mengenai periode tersebut, yang ternyata tidak sehitam-putih seperti yang saya kira sebelumnya. Saya bahkan menjadikan Peristiwa 65 sebagai topik skripsi saya.

Pada suatu malam, saat saya sedang mengerjakan skripsi, Ibu menelepon. Kami berbincang seperti biasa, salah satunya mengenai perkembangan skripsi saya. Lalu tiba-tiba saya teringat obrolan Ibu mengenai label ‘eks’.

Pada saat saya masih kecil, saya pernah bertanya kepada Ibu, mengapa Ia mengambil kuliah jurusan keguruan tetapi tidak menjadi guru. Ia menjawab singkat, “Karena ada label ‘eks’, jadi tidak bisa”.

Kala itu, saya tidak paham apa maksud jawaban Ibu. Awalnya saya hanya menelan mentah-mentah. Namun saya yang sedang mengerjakan skripsi bertema 65 curiga bahwa label tersebut bersangkut dengan komunis.

“Apakah ada keluarga kita yang komunis?” saya bertanya. Alih-alih menjawab ya atau tidak, perempuan paruh baya tersebut mengisahkan tentang hidup kakek saya.

Saya tidak banyak tahu tentang kakek saya. Ia sudah lama mati sebelum saya lahir. Saya hanya tahu tentangnya ketika saya melihat lukisan potret dirinya di rumah nenek saya, atau ketika orang-orang mengatakan saya mewarisi hidungnya, atau ketika saya bermain di rumah teman dan kakek atau nenek mereka bertanya “Kamu cucunya Bonari, ya?”.

Saya tidak tahu, dan tidak ada niat untuk mencari tahu, mengenai dirinya lebih dari hal-hal tersebut. Bagi saya Bonari hanya sebuah nama dan sebuah lukisan, yang kebetulan adalah kakek saya. Tidak lebih.

Baru setelah Ibu membuka kisahnya, saya mulai tertarik untuk mengetahui seluk beluk kehidupan kakek saya. Di samping penelitian akademis, saya memulai “penelitian keluarga”. Saya menggali informasi ke banyak anggota keluarga.

Sedikit demi sedikit saya mulai membangun gambaran mengenai siapa Bonari, potret pria paruh baya dengan kepala bundar, hidung mancung, dan kulit sawo matang di sebuah kanvas yang dipajang di kamar tidur nenek. Dan inilah hasil penemuan saya.

Bonari lahir tahun 1938 di Kediri, Jawa Timur, dari keluarga yang terbilang lebih dari cukup. Ibunya adalah seorang petani dan pemasok buah di pasar. Orang tuanya bercerai ketika ia masih kecil dan ibunya menikah lagi. Setelah lulus sekolah dasar, Bonari membantu mengelola tanah keluarga. Ia dikenal ulet dan tekun dalam bekerja, selain juga gemar membaca dan mencari informasi terkait pertanian. Etos kerja ini menjadikannya seorang petani yang sukses.

Pada umur 27 tahun, Bonari dijodohkan dengan nenek saya. Sebagai modal untuk meniti hidup baru, pasangan ini dibekali rumah toko di depan pasar oleh orang tua mereka. Setahun kemudian, pada April 1965, mereka dikaruniai anak pertama, ibu saya.

Potret Bonari di kamar Nenek. Sumber foto: koleksi pribadi

Keceriaan keluarga baru ini harus berakhir manakala Peristiwa 65 meletus. Ketika perburuan komunis terjadi, pasar menjadi lebih sepi dan toko-toko tutup lebih awal. Tidak jarang mayat dibuang begitu saja di sekitar pasar. Suatu malam pintu rumah Bonari digedor. Ia dituduh sebagai anggota Barisan Tani Indonesia, organisasi yang kerap dikaitkan dengan PKI karena perjuangannya menginisiasi reformasi tanah.

Setelah itu Bonari digelandang di sebuah bangunan yang digunakan untuk mengumpulkan orang-orang komunis, yang jaraknya tidak sampai satu kilometer dari pasar. Di sana ia menunggu giliran eksekusi.

Selama menunggu, penyiksaan selalu hadir. Penyiksaan tersebut adalah metode yang digunakan dalam interogasi terhadap mereka yang dituduh komunis. Semakin cepat mengaku, semakin sedikit siksaan yang diberikan. Namun, itu berarti semakin cepat pula giliran eksekusi. Bonari menunggu selama tiga bulan, sebelum ia bertemu dengan ayah tirinya.

Prawito, ayah tiri Bonari, adalah seorang preman yang ‘memegang’ daerah sekitar pasar. Pada periode perburuan komunis, preman sering kali ditunjuk sebagai algojo oleh aparat, termasuk salah satunya Prawito. Saya tidak mendapatkan gambaran jelas mengenai hubungan Bonari dengan Prawito serta bagaimana Peristiwa 65 memengaruhi hubungan mereka. Namun, Prawitolah yang menyelamatkan Bonari.

Ia menantang algojo lain untuk membunuhnya lebih dulu sebelum mereka mengeksekusi Bonari, dengan alasan bahwa anak tirinya itu mempunyai bayi kecil yang bergantung sepenuhnya pada Bonari sebagai tulang punggung keluarga (lagi-lagi saya tidak mendapatkan — lebih tepatnya tidak diberikan — penjelasan mengapa membutuhkan waktu tiga bulan untuk Prawito menyelamatkan Bonari).

Bonari kembali ke rumahnya dan keadaan mulai membaik, meskipun tidak akan kembali baik seperti semula. Tidak banyak diskriminasi yang Bonari terima karena ia tidak bekerja di sektor publik. Stigma sosial juga tidak terlalu kuat karena banyak penghuni ruko dan orang pasar yang mengalami hal yang sama seperti yang ia alami. Dengan sikap sing wis yo wis (yang sudah ya sudah), orang-orang, termasuk keluarga Bonari, memilih untuk melanjutkan hidup dengan damai seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Terus terang, kisah mengenai kakek saya di atas bukanlah alasan mengapa saya menulis refleksi ini. Bagaimanapun juga saya tidak pernah bertemu denganya. Kami asing bagi satu sama lain. Sebuah hubungan lahir karena dialami, bukan dibayangkan. Bonari tetaplah sebuah nama dan sebuah lukisan di ide saya, kali ini dengan sebuah cerita di baliknya.

Adalah ibu saya alasannya. Apa yang dialami kakek saya mempengaruhi garis hidupnya. Dan mengetahui itu semua mengubah cara saya melihat ibu saya, seolah hidup ibu saya adalah sebuah film dan saya baru saja tiba di adegan pamungkas yang membuka tabir misteri yang menjadi premisnya.

Setelah menamatkan kuliah keguruannya di Malang, Ibu yang dari kecil selalu ingin menjadi guru melamar di sebuah sekolah negeri di Kediri. Namun, ia gagal di administrasi setelah dinyatakan ‘tidak bersih lingkungan’ akibat label eks tadi.

Inilah pertama kali Ibu mengetahui apa yang pernah terjadi kepada orang tuanya. Awalnya ia tidak bisa menerima. Ia menyalahkan Kakek. “Gara-gara Bapak, aku jadi tidak bisa jadi guru”, ucap Ibu, mengulang kembali ke saya apa yang dulu pernah ia ucapkan ke Kakek. Kakek menjawab bahwa ia tidak tahu dampaknya akan sampai sejauh itu.

Tidak lama setelah itu Ibu diterima menjadi guru di sebuah sekolah swasta melalu ‘jalur relasi’. Kakek mengenal pemilik yayasan, sehingga Ibu bisa diterima meskipun tidak bersih lingkungan. Namun, setelah sekitar tiga bulan mengajar, Ibu mulai mendengar omongan-omongan tidak enak mengenai dirinya.

Waktu itu tahun 1980-an, periode ketika retorik antikomunis sedang panas-panasnya. Merasa terdesak, Ibu mengundurkan diri dari sekolah demi kebaikan sekolah dan dirinya sendiri. Lalu Ibu memutuskan untuk membuang cita-cita dari kecilnya itu dan membantu nenek berjualan di toko.

Pada titik inilah identitas ‘anak komunis’ mulai melekat pada diri Ibu. Ia mulai mencari tahu apa saja yang aman dan tidak aman untuk dilakukan. Pernah ketika pacarnya mulai membicarakan hubungan serius, Ibu sedikit demi sedikit mulai menjauh. Pacarnya adalah seorang asisten dosen di Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya dan Ibu tahu bahwa ketika mereka menikah, karir suaminya akan terhambat.

Akhirnya Ibu menikah dengan ayah saya, seorang pedagang — seorang yang ‘aman’. Ibu menikah pada umur 25 tahun. Tiga tahun sebelumnya Kakek meninggal karena penyakit hati setelah enam bulan perawatan intensif di rumah sakit. Kakek tutup usia pada umur 49 tahun.

Sebelum mengetahui ini semua, saya sering jengkel kepada Ibu karena selalu marah dengan berlebihan acap kali saya tidak bisa mengatur waktu dengan baik. Kalimat yang selalu hadir setiap Ibu memarahi saya adalah, “Tidak ada orang sukses yang tidak disiplin.”

Dulu saya selalu berpikir bahwa Ibu lebay. Sekarang saya paham dari mana kemarahan itu berasal. Kedisiplinannya adalah kualitas yang menolak tumpul setelah bertahun-tahun kualitas-kualitas lain miliknya digerus karena hal yang bahkan bukan merupakan konsekuensi atas tindakannya sendiri.

Ibu adalah hasil tempaan kehidupan. Ia mengusahakan yang terbaik untuk anaknya dengan cara yang ia ketahui. Sering Ibu berkata, “Ibu tidak bisa memberi warisan harta. Warisan buat kamu ya ilmu yang Ibu dan Ayah biayai sekarang ini sampai lulus kuliah nanti”.

Ibu yang berbahagia menjelang pernikahannya. Foto ini dan foto-foto lain di album pernikahan Ibu dan Ayah meyakinkan saya bahwa, terlepas dari situasi yang ada, pernikahan orang tua saya bukan merupakan hasil dari sebuah keterputusasaan. Sumber foto: koleksi pribadi

Belakangan Ibu bercerita bahwa salah satu impian terbesar Kakek adalah melihat kelima anaknya masuk perguruan tinggi — impian yang tidak tercapai karena keterbatasan finansial. Mungkin ini adalah cara Ibu untuk mewujudkan impian Kakek, dengan meneruskan impian tersebut ke cucunya.

Pernah suatu kali saya membayangkan bagaimana jika Kakek tidak pernah dituduh sebagai anggota BTI. Mungkin Kakek tidak akan diperas aparat dengan dalil ‘syarat damai’, dan dengan begitu kekayaan Kakek mungkin masih banyak, lalu ketika Kakek sakit mungkin ia bisa dibawa berobat ke luar negeri, sehingga mungkin ia masih hidup sampai sekarang, dan mungkin saya bisa bertemu dengannya.

Mungkin juga Ibu bisa berkarir sebagai guru, dan dengan kedisiplinannya, ia mungkin sudah menjadi kepala sekolah. Mungkin Ibu sudah menikah dengan si asisten dosen, yang mungkin sudah menjadi dosen atau profesor. Mungkin hidup saya akan lebih meriah, dan mungkin saya akan sering jalan-jalan keluar negeri.

Terlalu banyak mungkin, sehingga tidak mungkin.

Membayangkan kemungkinan seperti di atas sama halnya dengan menafikan kenyataan bahwa saya mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari keluarga saya. Saya diberkahi seorang nenek yang berperan ganda sebagai kakek dan nenek bagi saya, seorang ayah yang sudah membesarkan saya dengan baik, dan seorang ibu yang sangat menyayangi saya tanpa syarat.

Saya berhenti berandai-andai ketika menyadari hal ini. Semua hal baik yang saya terima dari keluarga tidak akan pernah saya terima apabila garis takdir tidak berjalan seperti yang seharusnya. Saya bersyukur saya adalah saya sekarang ini.

--

--

margio
INGAT 65

“Stories matter. Many stories matter” - Chimamanda Ngozi Adichie, The danger of a single story.