Itulah Hidup Yang Saya Dengar

Ratrikala Bhre Aditya
INGAT 65
Published in
5 min readApr 19, 2018
C’est La Vie — Film pendek. Diambil dari film, pak Landung Simatupang memerankan seorang eks tahanan politik pulau Buru. Foto oleh Gunnar Nimpuno. Film presentasi Two Sour Films.

Tidak banyak yang bisa saya katakan tentang tragedi kemanusiaan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965. Tapi saya bisa bercerita banyak tentang kejadian-kejadian yang mengikutinya. Ayah saya adalah salah satu orang yang ikut dibuang ke pulau Buru. Sebuah pulau besar, di selatan Maluku, yang menjadi tempat pengasingan para pesakitan. Pesakitan ini harusnya adalah lawan-lawan politik Suharto, baik simpatisan, ataupun para penggeraknya. Namun pada kenyataannya, banyak dari mereka hanyalah korban salah tangkap atau pribadi-pribadi yang berada di waktu dan tempat yang salah saja, lalu kemudian kena curiga para penguasa dadakan yang baru muncul saat itu, dan celakalah nasib mereka belasan tahun kemudian.

Seumur hidup, saya mendengar ratusan cerita dari ayah. Semuanya cerita getir. Kebanyakan disampaikan dengan datar, tanpa emosi, tanpa kebencian. Penggalan-penggalan hidupnya yang saya sulit percayai, tapi apa boleh buat, itu kata-kata ayah, pastilah benar. Saya merekam semuanya, menimbang-nimbang, mencoba mencari pembenaran atas apa yang ayah dan teman-temannya alami saat itu, namun belum saya temukan.

Pun ketika saya berkesempatan melihat puluhan tahanan politik (tapol) reuni, berkumpul bersama, menangis dan berpelukan, mendengar lagi cerita-cerita yang sama dari mulut-mulut yang berbeda, saya tidak menemukan jawaban atas pembenaran itu. Yang saya akhirnya temukan adalah jawaban atas pertanyaan yang lain: mengapa mereka begitu datar atas masa lalu kelam mereka? Dan jawaban itu, belasan tahun kemudian, saya terjemahkan menjadi sebuah film fiksi pendek berjudul C’est La Vie.

C’est La Vie (Itulah Hidup) adalah sebuah film pendek berdurasi 17 menit di mana karakternya hanya satu orang eks-tapol yang sedang bersaksi atas beberapa peristiwa yang dia alami selama masa tahanan. Di dalamnya saya meletakkan pemahaman saya tentang tapol, pengalaman saya mewawancarai puluhan dari jenisnya, dan perasaan saya ketika menghadapi semua kata-kata mereka. Film ini sudah diputar di berbagai festival, dan akan diputar di Busan International Film Festival, akhir april ini.

Filmnya sendiri tidak bisa dijelaskan banyak lewat kata-kata, namun saya akan berbagi pertanyaan-pertanyaan dari penonton yang saya rasa relevan di artikel ini beserta jawaban saya sejauh yang saya ingat.

Mengapa anda membuat film ini?

Karena saya merasa perlu, baik karena dorongan pribadi, atau bagian dari tanggung jawab sosial saya pada negara. Peristiwa 1965 meninggalkan banyak sekali lubang dalam catatan sejarah bangsa ini dan saya mencoba memberikan perspektif lain saja. Agar generasi saya ataupun yang lebih muda punya tambahan referensi untuk dipertimbangkan kelak, ketika mereka memutuskan untuk melakukan pencarian fakta-fakta baru atas peristiwa ini.

Ini bukan dokumenter, tapi terasa seperti itu. Mengapa demikian?

Film ini dibuat berdasarkan tiga memoar eks tahanan pulau Buru. Cerita yang diceritakan oleh karakter, adalah apa yang dialami dan ditulis oleh penyintas yang sebenarnya, tanpa saya tambahkan drama atau saya kurangi nilai ceritanya. Dan kita semua, warga indonesia, sebenarnya cukup familiar dengan cerita-cerita semacam ini, meski kadang hanya remang-remang kita sadari, atau hampir kita tidak pedulikan karena kita anggap sudah lalu. Mungkin itu yang membuatnya terasa lebih nyata dari yang seharusnya.

Anda mendesain puntiran cerita di bagian akhir, dan membuat film ini malah ambigu antara kenyataan atau tidak. Mengapa mengambil resiko tersebut?

Itu adalah pengalaman pribadi. Setiap kali saya mendengar kesaksian semacam itu, saya selalu memiliki keraguan. Saya tentu pernah memiliki rasa dendam pada orang-orang yang memperlakukan ayah saya semenyakitkan itu, tapi semua rasa itu adalah hasil dari penelitian yang tidak lengkap. Dan itu berbahaya menurut saya. Apa yang para penyintas tulis, adalah pengalaman mereka dimana tingkat kebenarannya sulit kita tentukan tanpa ada bukti empiris. Itu adalah cerita mereka saja, yang mungkin mereka tambahkan dramanya atau mereka kurangi untuk kepentingan mereka sendiri. Saya pribadi, mempercayai dengan hati-hati setiap ucapan ayah tentang yang ia alami. Atau ucapan pak Pramoedya, atau ucapan pak Hersri Setiawan. Tapi sebagai pembuat film, saya harus jujur tentang rasa yang saya alami.

Ini adalah tema yang sensitif, kalau anda dimusuhi dan berada dalam situasi yang tidak menguntungkan, bagaimana?

Semua tema bisa menjadi sangat sensitif akhir-akhir ini. Jadi saya tidak terlalu khawatir bila ada sebuah pihak yang menganggap saya musuh. Dan bicara soal musuh, mohon jangan lupa untuk selalu terbuka pada sudut pandang lain. Saya tidak menyalahkan orang-orang yang tiba-tiba tidak menyukai saya, karena saya tahu, mereka tidak diberi kesempatan belajar tentang sejarahnya seluas saya. Tiga puluh dua tahun, mereka ditutupi dari banyak sekali kebenaran dan harus hidup dalam teror yang mereka bahkan tidak sadari! Begitu juga dengan orde baru. Apa yang mereka lakukan, secara taktik dan strategi, sepertinya memang diperlukan, dan terbukti berhasil bukan? Sejarah adalah milik pemenang, dan mereka saat ini masih menjadi pemenang. Apa yang saya mungkin saya alami nanti, biarlah menjadi pembelajaran saya agar bisa melakukan pendekatan lain yang lebih baik, dan efektif untuk mencari kebenaran yang masih redup terlihat.

Mengetahui tentang para penyintas, aktor di film ini seperti tidak bisa memberikan emosi berarti. Apakah memang sulit mendalami karakter mereka?

Betul sulit sekali. Namun pak Landung, sang aktor, berhasil melakukannya dengan sangat baik…

Saya berkata justru sebaliknya…

…kalau yang anda harapkan adalah akan ada isak tangis, atau derau serak kemarahan pada saat ia melakukannya, anda tidak jauh mengenal tapol. Seorang eks tahanan politik Indonesia, tidak lagi sanggup mengeluarkan air mata. Kalaupun iya, bukan karena kesedihan, tapi dari keterharuan atas tegarnya kawan-kawan mereka melewati penderitaan. Tangisan, sudah lama kering. Kalau bisa, tertawa saja. Ayah saya pernah bercerita, satu sel kapasitas 6 orang, dipaksa isi 60 orang tahanan politik. Semua berkawan. Suatu malam, satu orang mati kelaparan atau sakit, yang lain teriak-teriak minta tolong sipir, sipir bilang besok pagi saja. Besok malamnya dua orang mati, sipir bilang besok pagi saja lagi diurusnya. Sedihlah para tapol, kawan mereka mati tiga. Malam kemudiannya, tiga orang lagi yang mati, kelaparan atau sakit juga. Begitu terus hingga suatu hari mereka memutuskan untuk tidak melaporkan kematian kawan-kawannya agar jatah makan mereka yang mati bisa dibagi-bagi kepada yang lain. Saya menangis mendengarnya, tapi ayah bilang, kalau bukan karena jasa teman-teman yang mati dan meninggalkan jatah makan, mungkin dia tidak ada di situ di samping saya. Bagaimana menurut anda?

Apa yang anda harapkan dengan membuat film ini? Apakah rekonsiliasi untuk para penyintas?

Saya hanya berharap, film ini bukan dari kita untuk kita. Yang menonton harus mereka yang tidak dekat dengan bagian sejarah ini. Saya menginginkan muncul pertanyaan-pertanyaan baru, baik itu ditujukan kepada saya, atau pada sejarah kelam kita. Karena saya percaya, ’pertanyaan’ adalah modal dasar untuk ilmu pengetahuan dan jalan menuju kebenaran.

--

--

Ratrikala Bhre Aditya
INGAT 65

Lahir pada tahun 1986, bekerja di bidang audio visual. Fiksi atau dokumenter, mana saja yang bisa paling baik menceritakan sebuah peristiwa.