Kereta Luncuran Tanya

Ni Made Purnama Sari
INGAT 65
Published in
4 min readNov 2, 2016
Amsterdam adalah tempat seorang tahanan politik Made Raka tinggal puluhan tahun bersama istrinya setelah diusir dari negaranya (Source: Jace Grandinetti/unspalsh.com/@jacegrandinetti)

Kami, aku dan Yanti, seorang teman SMA dulu, baru saja pulang dari Amsterdam. Kami naik kereta yang sama jurusan Dordrecht, melintasi kota Leiden tempat Yanti tinggal selama tujuh tahun untuk menempuh studi sarjana sampai magister. Ia kebetulan masih mencari kerja, dalam beberapa bulan ini, dan karenanya punya waktu senggang untuk menemani aku selama tiga hari ini.

Datang ke Amsterdam sama sekali bukan untuk jalan-jalan. Kami cuma punya waktu sehari di sana, dan digunakan sepenuhnya demi bersilaturahmi dengan seorang kelahiran Bali yang memilih eksil di Belanda, terutama pasca peristiwa 1965 berlangsung. Made Raka, nama pria itu ditahan paspornya pada tahun 1966 karena tidak bersedia mengingkari jasa dan pemerintahan Soekarno. Istrinya juga serupa. Mereka yang semula mahasiswa utusan Indonesia untuk belajar di Tiongkok dan Rusia, kebanyakan juga bernasib serupa.

“Yanti sudah tujuh tahun di sini. Rencananya ingin kembali ke Indonesia?” Made Raka, yang usianya aku taksir sudah di atas 70 tahun bertanya kepada Yanti pada saat makan siang bersama di apartemennya yang sederhana, beberapa ratus meter dari kediaman Anne Frank yang bersejarah.

“Belum tahu, Pak Made. Saya masih ingin bekerja dulu di sini, mencari pengalaman setelah kuliah…,” jawab Yanti, yang menjawab sopan sembari menambahkan cerita perihal kegiatan yang sudah dia lakukan selama ini, termasuk magang di sebuah NGO kemanusiaan yang menangani kasus-kasus kekerasan di Indonesia.

“Bagus kalau begitu. Sebaiknya Yanti harus pulang. Indonesia pasti menunggu sumbangsih yang bisa Yanti berikan….”

Kalimat itu mungkin terasa sederhana saja. Namun, bilamana diungkapkan oleh seorang yang eksil, seorang yang dulunya mahasiswa cemerlang peraih beasiswa ke luar negeri, dan sayangnya kemudian tidak diperkenankan pulang oleh negaranya sendiri, bagiku, itu benar-benar mengharukan.

Made Raka mengungkapkan itu dalam nada biasa saja. Sambil menyendok ayam sisit — sejenis masakan ala Bali — juga sayur tahu buatan istrinya.

Kemudian ia menuangkan teh ke dalam gelas kami masing-masing. Dan bercerita tentang Belanda, negeri yang ia diami selama puluhan tahun.

“Sejak itu, kapan Pak Made berkunjung ke Indonesia?” Akhirnya, rasa ingin tahu yang sudah beberapa lama aku pendam itu keluar juga. Jelas bukan pertanyaan yang baik ditujukan bagi seorang yang lama terusir dari tanah air.

Akan tetapi, di luar dugaanku, pria itu menjawab santai seperti sedang membincangkan, apakah besok kita jadi jalan-jalan menyusuri kanal, atau bagaimana kalau nanti sore pergi membeli buah-buahan untuk bahan jus kesukaannya.

“Saya ke Indonesia di tahun 1987, kalau tidak salah…”

“Wah, dua puluh tahun kemudian?” lagi-lagi aku melontarkan pertanyaan yang tidak perlu. Siapapun yang paham matematika pasti tahu itu.

“Kok dua puluh tahun sih? Kurang dong…,” Made Raka menukas sambil mengernyitkan dahi. Mungkin ia bingung karena merasa peristiwanya terjadi tidak dalam rentang selama itu. Barangkali ia mengingat-ingat bahwa kejadian berlangsung kemarin sore? Boleh sangka demikian.

Beberapa lama berselang, ia mengoreksi kenangannya sendiri. “Yaa, dua puluh tahun….”

“Dan tidak rindu Indonesia lagi?”

Kali ini Yanti menatapku sekilas, seraya menusukkan tatapan penuh tanya. Aku segera menyadari, niatan untuk membuat candaan dan pencair suasana dengan mengungkapkan kalimat barusan dalam nada ringan, bukanlah hal yang tepat.

Siapa yang akan merindukan negeri lahirnya, bilamana ternyata kemudian ia justru dilarang pulang oleh saudara sebangsa? Membuatnya harus tinggal puluhan tahun, beribu mil jauhnya dari kampung halaman serta segala kenangan indah masa kanak yang dipunya. Harapan hidup yang lebih baik? Jangan tanyakan. Hidup baik macam apa yang bisa dipilih oleh seorang eksil, mahasiswa yang baru saja lulus kuliah sarjana yang waktu itu belum punya pengalaman apapun?

Made Raka menyerpih sebuah kerupuk tenggiri — yang mungkin dibeli dari toko asia terdekat — dan membaginya kepadaku sebagai teman makan siang.

“Tentu saja rindu. Meski niatan untuk kembali sudah tidak ada lagi.”

Yanti yang tadi memberitahu hendak lelap sebentar dalam perjalanan dengan kereta, entah mengapa kemudian ikut terjaga bersamaku, melamun menyaksikan bangunan, ladang dan kanal yang berlintasan di luar jendela.

Gadis itu nampak lelah. Katanya demam dan pusing yang beberapa hari kemarin dideritanya belum sepenuhnya sembuh. Tadi pagi, sebelum kami ke Amsterdam, ia memberanikan pergi ke dokter dan menyampaikan secara antusias saat ia pulang satu jam kemudian, bahwa dokter yang biasanya hanya menyarankan istirahat dan minum banyak air putih, tadi bersedia melakukan tindakan medis yang sangat lazim di Indonesia: mengukur tekanan darah dan menulis resep obat migrain.

Aku geli sendiri mendengarkan penuturannya. Dokter di sini memang dikenal enggan memberikan obat-obatan. Bahkan ada anekdot yang bilang, dokter di Belanda tidak akan mau memeriksa pasien sebelum memastikan: “Apakah Anda sekarat?” kendati ia menyaksikan si penderita kejang-kejang di hadapannya.

“Pasti tidak mudah ya, Yanti, hidup di Belanda, bertahun-tahun.”

Temanku itu tersenyum maklum saja, seolah aku ini anak kecil yang lugu polos dengan pertanyaan dan komentar apa adanya, dan sebenarnya tidak perlu ditanggapi serius. “Hidup di mana pun pasti juga tidak mudah.”

Maksudku, kembali aku menjelaskan, untuk orang seperti Pak Made Raka dan istrinya, pastilah sangat traumatik. “Siapa yang bisa membincangkan Indonesia secara hangat dan bahkan menyarankan supaya kamu kembali pulang, sementara hal sebaliknya justru dulu mereka alami?”

“Mereka pasti telah melewati semua kebencian, dendam, putus asa dan rasa pedihnya, sebelum akhirnya bisa sampaikan penyataan itu kepada kita.” lanjutku sembari melempar pandang keluar.

“Jadi, besok kalian akan ke Pura di Belgia? Bukankah ada odalan Kuningan?”

Made Raka bertanya sewaktu kami berpamitan. Ia mengantar sampai pintu depan apartemennya, bersama istrinya yang halus budi itu. Aku mengiyakan pertanyaannya, sambil menambahkan bahwa akan pergi bersama salah seorang kenalan orang Bali yang lama bekerja di Bandara Schiphol, Amsterdam.

“Yanti belum tahu apakah mau ikut. Karena kondisi belum baik,” temanku memberi sedikit keterangan.

Lelaki itu tersenyum ramah, layaknya seorang ayah pada dua putrinya yang baru saja mulai dewasa. “Memang sebaiknya istirahat saja. Doa kan bisa dari mana saja,” imbuhnya sambil menyalami kami.

“Dan jangan lupa sampaikan salam kami kepada semeton Bali di sana. Salam hangat dari keluarga Bli Raka di Amsterdam….”

Kami menyambut dengan hangat permintaannya yang sederhana itu. Hanya pikiranku tidak habis-habisnya merenung:

Andaikan aku, atau anak muda manapun di masa sekarang ini, mengalami nasib seperti dia dahulu, apakah bisa, apakah sanggup, kami mengolah gemuruh batin akibat kenyataan pahit diasingkan, dibuang, dilupakan?

Tulisan diatas adalah petikan dari novel karya Ni Made Purnama Sari, berjudul ‘Kalamata’ (KPG, 2016)

--

--