Kini Yang Tertinggal Hanya Lupa

Rizkina Aliya
INGAT 65
Published in
4 min readJan 24, 2019

Saya tergila-gila dengan cerita sejak masa kecil. Mulai dari kisah-kisah Nabi sampai cerita manusia tersambar azab dari majalah Hidayah pun saya embat. Tidak heran, saya sangat suka berdongeng — bahkan sampai menjuarai beberapa lomba berdongeng di sekolah lain. Saya punya prinsip bahwa saat berdongeng, saya tidak mau menggunakan alat peraga atau kostum yang heboh karena saya percaya yang seharusnya berwarna adalah kisahnya; yang seharusnya menggetarkan jiwa adalah kisahnya. Dan saya tidak mau kisah tersebut ditutupi oleh apa pun.

Saya pun beranjak dewasa. Namun kecintaan saya terhadap cerita dan dongeng tidak pernah luntur. Justru saya semakin yakin bahwa setiap kisah berperan penting dalam pembentukan diri individu, kelompok masyarakat dan bangsa. Bagaimana tidak? Dongeng tentang Malin Kundang misalnya, membentuk kepribadian anak-anak untuk patuh terhadap orang tua. Kisah tentang gaibnya hutan larangan masyarakat adat membentuk kebiasaan untuk menjaga kelestarian hutan. Belum lagi, cerita heroik tentang kepahlawanan para pendiri Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa anak-anak Indonesia tumbuh dengan fiksi yang begitu dekat dengan hati dan pikiran, termasuk saya.

Lambat laun saya menyadari bahwa ada beberapa dongeng yang meskipun terdengar fantastis, namun sebenarnya nyata. Bahkan ada kisah-kisah yang meskipun benar-benar terjadi, mereka tetap ‘dijadikan’ dongeng belaka saja agar tertimbun dari generasi ke generasi.

Ketika diminta menggali kejadian pembantaian 1965, saya terenyuh. Meskipun saya sering mendengar kisah mengenaskan dari korban atau intrik pertarungan kuasa, tapi cerita ini saya anggap terpisah dari hati maupun pikiran saya. Kisah-kisah 1965 adalah contoh dongeng yang sebisa mungkin selamanya ditutupi.

Tapi saya kemudian bertanya.

Saya menemukan kisah-kisah yang didengar, disaksikan dan dialami Om dan Tante saya bukanlah cerita-cerita yang ingin disampaikan ke anak-anak mereka. Saya juga tidak mempersalahkan mereka. Jika saya menjadi Tante, saya mungkin juga tidak akan tahu bagaimana cara memulai cerita tersebut. Kisah itu tentang saya yang waktu itu berusia enam tahun dan rumah saya digeledah orang-orang tak dikenal saat Ayah sedang berdinas di Pangkalan Udara Husein Sastranegara. Ibu saya, seorang istri anggota Angkatan Udara, ditodong senapan oleh orang-orang berbaju hijau bertopi baja dan dipaksa menunjukkan laci lemari. Mereka mencari emas. Bagaimana mungkin saya menceritakan kegamangan masa kecil saya yang pada saat itu tidak paham konsep dari lawan maupun kawan?

Jika saya berada di posisi Om, saya pun akan bingung bagaimana harus mengisahkan betapa mencekamnya Kalimantan Barat, tempat D.N. Aidit melarikan diri. Anak-anak mungkin tidak paham saat diceritakan bagaimana semua penduduk dipersenjatai, bahkan termasuk Abah saya sendiri. Saya bisa saja mencoba menceritakan bagaimana Abah mempelajari cara mengisi dan mengeluarkan peluru dan menembak. Saya pun tidak akan tahu bagaimana menyampaikan kepada anak-anak saya bahwa akhir yang bahagia juga tidak seketika datang dengan adanya pengumuman di radio yang menyatakan bahwa Aidit telah ditangkap karena kemudian orang-orang tak dikenal membawa panji-panji memporak-porandakan perumahan sekitar saya.

Cerita dari Om saya yang lain pun tidak kalah sulit untuk disampaikan. Saat ia duduk di bangku kelas enam SD, Om saya menyaksikan orang dibunuh dengan tombak di depan rumahnya di Yogyakarta. Om saya harus bisa menggambarkan kegetiran yang timbul dari hilangnya seorang teman bersama seluruh keluarganya karena mereka dikabarkan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kisah-kisah tersebut adalah dongeng yang tidak pernah saya dengar sebelum saya didorong untuk peduli. Sejujurnya, saya tidak pernah menganggap cerita-cerita tersebut dekat dengan pribadi saya, keluarga saya, dan masa kini yang sedang saya jalani. Namun ternyata meskipun pengalaman-pengalaman itu tidak pernah diceritakan sebelumnya, cerita-cerita tersebut tetap tumbuh begitu dekat dengan hati dan pikiran mereka. Kisah-kisah tersebut secara tidak sengaja mengakar dalam hati dan pikiran bangsa yang terdiam. Kisah-kisah tersebut membentuk masa kini tanpa disadari oleh saya, teman-teman sepantaran maupun anak-anak yang akan datang.

Lucunya, meskipun kisah tersebut mereka bawa dalam diam, Om dan Tante saya tidak pernah memperlihatkan dengan rasa benci pada hantu komunisme. Saat Tante saya ditanya mengenai sentimen tersebut, Ia hanya mengangkat bahu. Mereka menganggap bahwa hantu tersebut hanyalah hantu. Hantu itu tidak berdarah maupun berdaging dan hanya hidup dalam kisah yang aku minta. Tidak ada dendam, yang tertinggal hanya lupa. Mungkin bagi mereka rasa lupa itu berguna, supaya yang tersisa hanya keinginan untuk masa depan yang berbeda: masa depan di mana anak-anak mereka tidak harus menyandang kisah yang sama.

Saya cukup beruntung karena setelah lima puluh tiga tahun, para pendongeng dalam hidup saya memiliki keberanian menceritakan pengalamannya. Mungkin karena saya sudah dianggap sudah cukup dewasa untuk memproses kisah-kisah tersebut. Tapi bagaimana dengan anak-anak lain? Apakah mereka paham bahwa ada cerita tentang bangsanya yang tidak pernah mereka dengar sebelumnya? Dongeng-dongeng yang sejatinya bagian dari warisan kita?

Dalam benak saya kemudian muncul lebih banyak pertanyaan: bukankah kami berhak mengetahui dongeng-dongeng masa lalu yang membentuk masa kini dan akan membentuk masa depan kami? Jika para orang tua ingin lupa, bukankah kami justru berhak mengetahui segala warisan yang akan kami terima? Bahkan bagian-bagian paling kelam sekalipun?

Saya percaya bahwa setiap kisah memiliki warna tersendiri. Warna yang seharusnya tidak ditutupi alat-alat peraga, kostum cemerlang, kebohongan ataupun ketakutan. Kita semua berhak atas setiap gradasi warna dari kisah-kisah milik bangsa, bahkan warna paling kelam sekalipun.

--

--

Rizkina Aliya
INGAT 65
Writer for

I’m boring and basic because my favourite pastime is reading