Menonton Senyap Kembali di Liburan Lebaran

Kahfi Ananda Giatama
INGAT 65
Published in
3 min readJul 14, 2016
Cover film Senyap. Sumber: filmsenyap.com

Pada libur Idul Fitri tahun ini, saya bersama keluarga besar saya menonton “Senyap”, film dokumenter karya Joshua Oppenheimer yang menceritakan kisah optometris keliling bernama Adi Rukun yang mencari tahu soal kakaknya yang menjadi korban pembunuhan di pembantaian anti-komunis tahun 1965–1966.

Tadinya, hanya saya dan sepupu saya yang menonton Senyap di laptop. Tak berapa lama semakin banyak saudara saya yang ikut menonton. Tak kurang dari 10 orang, saudara sepupu, paman dan tante serta ayah saya menonton bersama-sama. Film mengenai sejarah ternyata bisa menjadi sarana membangun keakraban keluarga.

Ini bukan kali pertama saya menonton Senyap. Saya menontonnya bersama teman saya tahun lalu. Saya juga telah menyaksikan “Jagal”, pre-quel dari Senyap, mengenai para algojo pembantaian anti-komunis 1965.

Pikiran pertama yang melintas di kepala saya sesudah pertama kali menoton film tersebut adalah: betapa mahalnya kebenaran di negara ini.

Saya besar dengan cerita bahwa Partai Komunis Indonesia, anggota Gerakan Wanita Indonesia dan simpatisan-simpatisan kelompok kiri merupakan pengkhianat. Anggota Gerwani dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S) di tahun 1965. Mereka difitnah menari telanjang dan menyiksa para jenderal sebelum mereka dibunuh dan dibuang ke Lubang Buaya.

Tak bisa saya bayangkan rasanya bila riwayat hidup saya dipalsukan atau dimanipulasi demi kepentingan segelintir orang.

Ketika kita membicarakan mengenai pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia dan simpatisannya sesudah Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965, hampir selalu disoalkan siapa dalang G30S tersebut. Keluarga saya pun demikian.

Sesudah menonton bersama film Senyap paman saya bertanya pada saya, “siapa dalang G30S”, hingga saya gelagapan. Ayah saya, seorang purnawirawan TNI, mengambil alih pembicaraan. Dengan enteng beliau bersabda bahwa dalang G 30S “ya, orang-orang komunis itu”.

Tapi saya memiliki pemahaman yang berbeda dari ayah saya. Sesudah menonton film-film dokumenter mengenai 1965 yang menyajikan narasi yang berbeda dari propaganda Orde Baru, dan buku-buku yang membahas mengenai sejarah Indonesia — seperti Pergumulan Islam di Indonesia oleh B.J. Boland — saya menjadi tahu bahwa peristiwa G 30 S digunakan sebagai dalih oleh rezim Suharto untuk menjelek-jelekan kepemimpinan Sukarno.

Saya berharap memutar film Senyap bersama keluarga bisa memantik diskusi bernas seputar Peristiwa G30S agar semua orang tercerahkan. Namun saya mendapati bahwa propaganda Orde Baru sangat melekat dalam imajinasi anggota keluarga saya, terutama generasi di atas saya.

Bila generasi pendahulu saya masih terjebak dalam propaganda lama, lain lagi tanggapan sepupu-sepupu saya yang satu generasi dengan saya. Film tersebut membuka mata mereka terhadap satu masa kelam yang selama ini disembunyikan dari mereka.

Kepada para sepupu saya, saya mengatakan bahwa bagi agi para sepupu saya yang satu generasi generasi saya dan seterusnya yang tidak mengalami masa tersebut, penting bagi kami untuk membaca dan mencari tahu soal 65 terhindar dari pemahaman yang menyesatkan.

Sudah terlalu lama tragedi 1965 dirahasiakan. Mengetahui soal fakta sejarah adalah hal yang esensial dalam membentuk persepsi kita mengenai suatu hal. Meski mesih dijumpai unsur bias, buku yang ditulis wartawan senior Rosihan Anwar, Sukarno, Tentara dan PKI atau Rex Mortimer dalam bukunya yaitu Indonesian Communism Under Soekarno oleh Rex Mortimer adalah beberapa buku yang menarik untuk dibaca.

Sudah saatnya juga bagi Indonesia untuk lebih terbuka mengenai isu 1965. Generasi muda perlu mendapat akses lebih banyak untuk media audiovisual (film) dan media cetak (buku) mengenai 1965 supaya nantinya terhindar dari pemahaman banal nan menyesatkan bagi anak dan cucu kita kelak.

--

--

Kahfi Ananda Giatama
INGAT 65

Pegiat. Untuk korespondensi ngalor ngidul hingga diskusi bernas bisa dihubungi disini: @kahfiananda8