Mari Belajar Sejarah: Mencari Kebenaran yang Terlupakan

Dyah Apsari
INGAT 65
Published in
3 min readDec 1, 2016
Film Joshua Oppenheimer, The Act of Killing, membuka mata saya tentang apa yang sebenarnya terjadi di tahun 1965 (theactofkilling.com)

Pengetahuan saya tentang 1965 sebenarnya sangat minim. Lebih dari sepuluh tahun bermukim di luar Indonesia, membuat saya hampir lupa tentang peristiwa G-30S di tahun 1965, salah satu periode terburuk/tergelap dalam sejarah Indonesia. Hingga beberapa tahun lalu. Digugah rasa penasaran, saya menonton The Act of Killing karya Joshua Oppenheimer.

Film yang banyak diperbincangkan itu lantas mengusik keingintahuan saya tentang peristiwa G-30S. Mulailah saya menelusuri ingatan masa kecil, membaca artikel-artikel secara online, dan bertanya kepada orangtua mengenai kejadian 1965.

Salah satu yang saya ingat dari pendidikan di SD yakni kunjungan ke Lubang Buaya setiap tahun. Juga pelajaran sejarah soal peristiwa tragis yang memakan banyak korban, di antaranya cerita mengenai enam jenderal yang dimutilasi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia).

Buku pelajaran sekolah selalu menggambarkan kekejaman PKI. Kami juga diberi PR untuk menonton dan merangkum film Pengkhianatan G 30 S-PKI. Waktu kecil, saya tidak habis pikir mengapa kami anak SD harus menonton film sekeji dan sesadis itu. Sebagai anak yang tidak suka film horor, menonton film tentang pembunuhan adalah hal yang tidak menyenangkan buat saya. Beruntung, ibu memaklumi ketidaksukaan saya dan membantu mengerjakan PR, tanpa saya harus menonton film itu. Mungkin saya termasuk segelintir orang yang lahir di masa pemerintahan Soeharto yang tidak pernah menonton Pengkhianatan G 30 S-PKI sampai selesai.

Sekolah mengharuskan saya untuk tidak kritis bertanya tentang komunisme atau PKI. Namun, saya mendapat cerita dengan versi yang sedikit berbeda dari orangtua. Beberapa teman kuliah ibu adalah anak-anak dari PKI, dan mereka sangat bersyukur karena bisa kuliah di universitas terkemuka. Banyak anak eks PKI dipersulit untuk mendapat pendidikan, mencari pekerjaan dan mendapat promosi di pekerjaannya.

Kakek sepupu saya juga sempat dipenjara atas tuduhan terlibat di PKI. Dia dipenjara tanpa diadili dan tanpa bukti yang kuat. Menurut ibu, pada masa itu, banyak yang menggunakan peristiwa G-30 S untuk kepentingan diri sendiri. Misalnya memfitnah orang-orang yang tidak disukainya bahwa mereka terkait dengan PKI. Banyak orang tidak bersalah menjadi korban; entah dipenjara atau dibunuh.

Mundur sejenak dari semua detil suram, kita mulai bertanya-tanya, “siapa dalang di balik ini?” atau, “siapa yang akan menarik keuntungan dari tragedi ini?” Rezim Soeharto? Amerika? Keduanya? Atau, apakah ternyata sama dengan banyak tragedi di belahan dunia lain; bahwa Indonesia tahun 1965 hanyalah salah satu medan perang antara dua kekuasaan utama dunia (dalam kasus ini Amerika dan Rusia),yang mencoba mengklaim wilayah untuk mereka, dengan mengorbankan masyarakat lokal.

Sepanjang sejarah, kita sudah menyaksikan hal semacam ini. Perebutan kekuasaan antara Inggris - Rusia di Asia Tengah pada 1800-an, hingga perang nuklir yang nyaris terjadi antara Amerika dan Rusia di Kuba; yang berjarak ratusan kilometer dari negara-negara itu. Juga, apa yang sedang terjadi di Suriah saat ini.

Tragedi semacam ini selalu berulang; selalu mengorbankan masyarakat lokal dan mengorbankan warga yang tidak bersalah. Jadi, saat muncul pertanyaan mengenai haruskah pemerintah Indonesia meminta maaf kepada warganya atas kejadian 1965, jujur, saya tidak tahu. Pernahkah Rusia (atau pemberontak yang didukung Rusia) meminta maaf karena sudah menembak jatuh pesawat Malaysia Airlines di Ukraina? Sudahkah Amerika mengakui kekacauan yang mereka sebabkan di Suriah? Jadi, haruskah pemerintah lokal bertanggungjawab? Entahlah.

Menurut saya, pertanyaan yang lebih penting adalah, bagaimana kita harus bertindak ke depan. Kisah apa yang harus kita ceritakan ke generasi muda, dan pelajaran apa yang bisa kita ambil dari semua itu. Blog online seperti “Ingat 1965” adalah sarana penting dalam usaha melibatkan dan mengedukasi para generasi muda mengenai apa yang sebenarnya terjadi.

Pada zaman Orde Baru, buku-buku sejarah dan kelas-kelas di sekolah hanyalah alat propaganda yang digunakan rezim itu untuk mengendalikan masyarakatnya. Saya sungguh berharap, kelas-kelas sejarah di Indonesia saat ini telah berubah menjadi ruang yang penuh dengan diskusi terbuka, yang mendorong para murid untuk mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan berani, untuk saling berdebat dan menantang ide-ide populer.

Untuk menjadi bangsa yang hebat, saya yakin kita harus mengetahui, dan menyadari apa yang telah dialami bangsa ini. Sudah saatnya juga masyarakat dan kalangan akademis memperlakukan sejarah bangsa dengan antusiasme yang sama seperti mereka memperlakukan perkembangan ilmu pasti. Karena sejarah Indonesia adalah bagian penting dari identitas kita. Kita harus mengetahui asal-usul kita, agar jangan sampai mengulang kesalahan yang sama.

Memang, tidak mudah dan sangat sulit. Khususnya bagi bangsa yang memiliki beranekaragam suku dan bahasa di lebih dari 17.000 pulau. Namun pengharapan saya tidak pernah putus, untuk Indonesia yang lebih baik.

--

--