Memahami Indonesia

Yessi Crosita
INGAT 65
Published in
5 min readJun 15, 2016
Saat saya keluar dari batasan geografis Indonesia, saya menjadi seorang Indonesia sebelum menjadi yang lain. (Sumber: Googlemaps)

Esai ini terbit pertama kali 17 Agustus 2015 di blog pribadi penulis.

Sebuah bangsa adalah hasil “imajinasi karena anggota dari bangsa terkecil sekalipun tidak akan pernah mengenal, bertemu, atau bahkan mendengar kebanyakan rekan sebangsa mereka, meski demikian di pikiran mereka masing-masing hidup gambaran akan ikatan mereka”.

Benedict Anderson, Imagined Community

Keseharian saya di Indonesia memberi saya kemewahan eksistensialis. Identitas saya semata-mata gabungan berbagai label dari apa yang saya lakukan sebagai manusia. Saya seorang ibu, guru, dan dokter. Saya yang memilih semua tanda tersebut dan pilihan tersebut datang dengan petunjuk-pertunjuk khusus bagaimana menjalani peran-peran tersebut dengan baik. Di sisi lain, identitas saya sebagai orang Indonesia hanya latar belakang samar yang tidak perlu terlalu sering saya pikirkan.

Namun, saat saya keluar dari batasan geografis Indonesia, kemewahan tersebut hilang. Saya menjadi seorang Indonesia sebelum menjadi yang lain. Saya khawatir tentang bagaimana dunia melihat saya dan bagaimana saya melihat dunia. Saya harus membayangkan kembali soal kebersamaan tersebut untuk menemukan petunjuk bagaimana menjadi orang Indonesia yang baik. Tahun ini saya harus menghadapi tantangan ini sekali lagi, ketika keluarga saya tinggal di Amerika Serikat untuk sementara.

Saya cinta Indonesia, setiap bagiannya. Saya cinta aroma hujan bertemu bumi yang hangat. Saya merindukan masakan pedas dan mencoba sebisa saya untuk mereplikasinya. Saya kangen teman-teman saya yang mengerti kelakar saya tanpa perlu banyak penjelasan. Saya selalu ingin pulang ketika saya pergi. Tapi apa sebenarnya tempat yang selalu saya panggil rumah itu?

Indonesia adalah kepulauan besar yang melingkupi area seluas Washington D.C hingga Alaska. Rumah saya tempat 250 juta jiwa hidup dan terus bertambah. Lebih dari 43% dari seluruh orang Indonesia hidup dengan kurang dari Rp 20,000 setiap harinya, lebih dari 40% dari anak-anak Indonesia bertubuh pendek (stunted) karena kekuarangan gizi kronis. Rumah saya adalah tempat kasus Tuberculosis terbesar ke-tiga sedunia. Tempat yang mengalami dampak paling besar ketika tsunami tahun 2004 menimpa. Tempat yang tidak boleh didatangi pengunjung internasional ketika virus flu burung H5N1 menyerang Indonesia di tahun 2007. Di ranah kesehatan global, Indonesia adalah jejaring rumit kesakitan yang tak pernah berakhir. Apakah saya kemudian lebih baik tidak mencintai kekacauan yang indah ini?

Saya tidak bisa, Indonesia adalah saya. Ia keluarga saya. Kita bisa merasa terganggu atau dipermalukan oleh keluarga, atau bertengkar dengan mereka, tapi kita tetap keluarga dalam senang maupun susah. Tahun ini setelah satu tahun tinggal di luar negeri, saya kembali merayakan kemerdekaan Indonesia di rumah, di antara teman dan keluarga. Sesudah pesta perayaan meriah selesai, setelah 70 tahun menjadi merdeka, apa yang berubah dari nasionalisme kita?

Banyak yang berubah, bahkan di lingkup keluarga dekat saya. Kakek saya, ayah saya, dan saya adalah rakyat jelata yang menjalani periode sejarah Indonesia yang berbeda-beda. Kami adalah bagian dari Indonesia yang terus berubah.

Kakek saya melawan Belanda dan Jepang. Ia juga ditugaskan ke Papua pada tahun 1962, sebuah misi yang jelas membuatnya sangat bangga, namun saya tidak lagi berbagi kebanggaan itu dengannya.

Ayah saya, masa kecilnya dilukai oleh pembantaian 1965. Dimasa ketika anak-anak harusnya berlarian gembira ia justru menyaksikan kepala-kepala terpenggal digantung di ruang publik. Ia dipaksa mencerna makna dibalik memerahnya kali kecil dekat rumah tempatnya memancing.

Di 1972–1974 ia bagian dari gerakan mahasiswa yang menuntut pemerintah memberantas korupsi dan menurunkan harga. Dengan bangganya ia berkata bahwa ia mengirimkan kutang kepada salah satu kampus yang menolak untuk ikut berdemo dan mengatai mereka seperti perempuan. Ia hanya tertawa jika saya mengatainya “seksis” tapi jangan pernah bercanda tentang “komunisme” ia bisa hilang akal.

Saya adalah bagian dari gerakan mahasiswa 1998 yang menuntut pemerintahan yang transparan dan demokrasi dengan bumbu sosialisme. Pandangan ini menempatkan saya dalam posisi yang berseberangan dengan ayah saya yang meletakkan sosialisme, komunisme dan marxisme dalam satu kotak.

Kakek saya, ayah saya dan saya adalah anak jaman yang berbeda tetapi kita memiliki mantra yang sama. “Bhineka Tunggal Ika, Beragam tapi satu jua” adalah bagaimana kita biasanya sepakat untuk tidak sepakat. Namun, mantra ini semakin lama semakin sulit untuk saya telan, mengapa?

Saya perlu waktu yang lama untuk menyadari bahwa Bhineka Tunggal Ika adalah konsep yang kompleks. Beragam dan yang satu adalah istilah yang kontradiktif, bagaimana yang beragam bisa menyatu secara alamiah?

Untuk menguatkan nasionalisme yang gamang, kita terus menerus diingatkan akan ikatan yang dibangun berdasarkan kesamaan takdir dan musuh bersama. Sayangnya, upaya ini harus dibayar dengan kemanusiaan kita. Kita membiarkan, negara, politisi (dan diri kita sendiri) menciptakan dan mereproduksi jargon-jargon seperti separatis, komunis, teroris, kapitalis asing, neokolonialisme, nilai-nilai barat, Arab, Cina dan banyak istilah dan kata lainnya untuk membangun ketakutan terhadap yang asing.

Jujur, ini jualan yang mudah di politik Indonesia dan berbagai negara lain. Bahasa yang meliyankan yang asing selalu kuat dan populer. Saya tidak lagi memercayai jargon xenofobia untuk menyatukan Indonesia, apakah ini membuat saya tidak lagi menjadi orang Indonesia yang baik?

Beberapa menghakimi saya, terutama ketika belakangan ini saya menyatakan ketidaksetujuan saya terhadap hukuman mati. Saya percaya negara tidak boleh diberikan hak mengambil nyawa seseorang. Untuk saya, ini bukan masalah tidak ada bukti penelitian yang kuat mengenai efektivitas hukuman mati, namun ini sebuah pernyataan kepercayaan saya pada kemanusiaan. Ini bukan soal kebanggaan bangsa, ini masalah kasih sayang.

Ya, utopis memang tapi ikatan seperti itu yang ingin saya bayangkan. Sebuah ikatan yang menghargai hak asasi manusia seperti ketika kita menuntutnya dari penjajah kolonial. Sebuah ikatan yang berinvestasi pada pendidikan, kesehatan, industri lokal dan perdagangan yang memedulikan kesejahteraan manusia seperti dalam bayangan para pendiri bangsa kita.

Dalam usaha memahami Indonesia yang beragam saya sampai pada titik di mana saya harus mengakui saya tidak akan pernah bisa sepenuhnya memahami Indonesia. Pemahaman saya hanyalah bagian dari imajinasi saya, sebuah proyeksi tentang siapa saya ketimbang apa itu Indonesia.

Mungkin saya tidak seharusnya mencari petunjuk mengenai bagaimana menjadi Indonesia yang baik dari luar diri saya, tapi saya harus mencari di dalam diri saya sendiri, di dalam kemanusiaan saya. Saya telah menempuh satu putaran tapi saya tidak akan pernah berhenti mencari. Saya bersyukur bahwa Indonesia, tempat yang saya panggil rumah, memberikan saya ruang untuk pencarian ini.

Selamat hari kemerdekaan.

Prodita K. Sabarini menerjemahkan esai ini, yang pertama kali diterbitkan di blog yessicrosita.wordpress.com, dalam bahasa Inggris. Baca esai asli di sini.

--

--

Yessi Crosita
INGAT 65

Yessi Crosita adalah seorang ibu, dokter dan guru bahasa Inggris. Menulis merupakan caranya untuk mencatat dan memahami perjalanannya.