Membaca sastra dalam kotak-kotak ingatan bentukan

Zaki Habibi
INGAT 65
Published in
6 min readApr 12, 2017
Melintasi Batas — Meski sempat dilarang terbit oleh rezim Orde Baru karena dilabeli sebagai karya ‘berbau komunis’ tanpa alasan yang jelas dan bernalar, roman tetralogi Pulau Buru sebagai karya monumental Pramoedya Ananta Toer telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk dalam bahasa Swedia yang salah satunya dapat ditemui di Malmö Stadsbibliotek (Perpustakaan Kota Malmö). Foto: Zaki Habibi

Saya gemar membaca karya sastra. Saya melahapnya — karya-karya yang hadir dalam bentuk puisi dan prosa, baik dalam format cerita lepas dan kisah bersambung di media massa maupun buku — sejak usia belia.

Perjalanan hidup mengantarkan saya ke jenis profesi yang saya bangun berdasarkan hobi sejak kecil. Beruntung, membaca sastra tidak pernah secara langsung menjadi bagian dari profesi saya. Saya katakan beruntung karena dengan begitu saya tetap bisa melakoninya tanpa beban, manasuka, tidak ada target. Seperti lazimnya menjalani kegemaran, kita bisa melakukannya dengan bebas, mandiri dan tanpa harus mempertanggungjawabkan hasil tindakan kita ke pihak-pihak lain (seperti dalam pekerjaan, misalnya).

Nikmatnya membaca karya sastra menambah pengetahuan saya. Saya jadi tahu apa yang terjadi dalam ranah sastra Indonesia sejak akhir 1950-an dan memuncak di pertengahan 1960-an, bahkan ketegangan yang berlanjut hingga di dekade-dekade selanjutnya. Kegemaran saya mengantarkan pada pengetahuan sastra, estetika sastra, hingga sejarah dan politik sastra Indonesia.

Di bangku kuliah, perjumpaan dan persinggungan saya dengan berbagai orang, sumber bacaan dan beragam kegiatan, mengenalkan saya pada sejarah politik sastra kita, yakni: pengkubuan dan ketegangan antara Manikebu (Manifes Kebudayaan) dan Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat).

Kenikmatan saya mengikuti cerita bersambung di koran sejak usia SD tiba-tiba jadi tampak suram karena saya mesti memeriksa dulu di kubu manakah pengarang kisah yang sedang saya baca. Selalu muncul pertanyaan mengusik begini, “Penulisnya bagian dari lanjutan semangat yang mana ya, Manikebu atau Lekra?”. Lalu, keasyikan saya membaca cerita pendek (cerpen) di edisi mingguan surat kabar atau dalam buku antologi harus selalu diawali dengan pikiran semacam ini pula, “Dari kubu yang mana ya penulisnya?”. Selepas membaca cerpen tersebut, sering saya tutup dengan gumaman, “O…pantas saja begini. Lha ini penulis bergaya Manikebu (atau, Lekra).”

Tentu, tidak ada yang salah dengan pengetahuan yang bertambah. Akan tetapi, karena sastra sejak awal saya tempatkan sebagai hobi, mendadak kegemaran ini menjadi tidak begitu mengasyikkan lagi karena saya selalu saja terusik untuk menempatkan setiap karya berikut setiap pengarangnya dalam ‘kotak-kotak pengkubuan’ tadi, yakni kotak Manikebu atau kotak Lekra. Berbagai esai sastra yang saya baca kemudian, juga kolom-kolom sastra di majalah sastra maupun media massa umum, masih kerap saya temui terus melembagakan hadirnya pengutuban ala Manikebu vs Lekra ini. Tidak heran bila saya pun sulit untuk tidak lagi membaca sastra dalam bingkai yang demikian.

Minke dan Potret SejarahMan kallade mig Minke, “mereka memanggilku Minke”, dalam edisi terjemahan Swedia. Kalimat pembuka Bumi Manusia, novel pertama dari tetralogi roman karya Pramoedya Ananta Toer, ini mengantarkan pembaca ke dalam perjalanan sekaligus pergolakan batin tokoh-tokohnya yang dapat dibaca juga sebagai potret kompleksitas kehidupan dari masa Nusantara di era kolonial hingga kemunculan cita-cita ke-Indonesia-an. Foto: Zaki Habibi

Manifes Kebudayaan (kerap disebut Manikebu) adalah sebuah gerakan kebudayaan yang dicetuskan pada 1963 oleh sejumlah seniman dan kritikus sastra. HB Jassin, Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail adalah sejumlah nama pengusung gerakan ini, di samping nama-nama tokoh lainnya. Manikebu yang menyokong semangat humanisme universal dalam berkesenian dan berkebudayaan adalah sebuah pernyataan sikap sebagai respons terhadap tindak-tanduk Lekra yang sudah lebih dulu berkegiatan sejak 1950.

Lekra, dengan salah satu motor tokohnya Pramoedya Ananta Toer, adalah organisasi yang oleh rezim Orde Baru dilabeli sebagai sub-organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun, seperti diulas Muhidin M Dahlan dan Rhoma Yuliantri yang menelisik ribuan artikel koran pada kurun 1950–1965 dan menyusunnya dalam buku Lekra Tak Membakar Buku (2008), keberadaan Lekra tidak pernah terbukti berafilisasi secara organisasi ke PKI. “Menyebut Lekra bersih sama sekali dari pengaruh PKI adalah kesalahan fatal, tetapi menyebutnya menginduk kepada PKI juga keliru. Lebih tepat hubungan itu adalah hubungan kekeluargaan ideologi” (Dahlan dan Yuliantri 2008: 63).

Lekra, tidak hanya lewat sastra tapi juga cabang seni lainnya, berusaha mengobarkan realisme sosial sebagai satu-satunya bentuk penciptaan seni yang harus disokong dan diproduksi. Dalam bahasa awam, strategi Lekra ini kerap disebut sebagai semangat seni untuk rakyat. Sementara, para perintis Manikebu yang merasa gerah akan hegemoni Lekra dalam jagat susastra dan kesenian secara umum kala itu, berusaha mengembalikan yang mereka yakini sebagai esensi seni termasuk sastra, yaitu nilai-nilai humanisme universal seperti kebebasan individu, kebebasan berkreasi dan asas-asas manusiawi. Strategi ini kerap disebut pula sebagai semangat seni untuk seni.

Ketegangan kedua kubu tidak hanya melembaga dalam kedua institusi tersebut. Tetapi juga mengental sebagai pengalaman keseharian yang terartikulasi dalam beragam bentuk. Mulai dari perang argumen lewat esai-esai di media massa, adu kuat media massa yang berafiliasi ke masing-masing kubu, hingga kekerasan simbolik antara para pendukungnya yang saling bersitegang.

Uniknya, sekaligus ironisnya, model artikulasi ketegangan ini masih kerap ditemui pula jauh setelah 1965 berlalu. Gejala ini masih ditemukan dalam diskusi dan keseharian kontemporer kini.

Inilah yang saya sebut sebagai ingatan bentukan (structured and cultured memory). Padahal, kenangan individu (personal memory) tidak pernah bisa dipisahkan dari kenangan kolektif (collective memory) yang memengaruhi pembentukannya.

Begitu juga sebaliknya, apa yang kita ketahui dan yakini sebagai kenangan kolektif bukanlah sekadar agregat dari kenangan individu berbagai orang, tapi juga pertalian semua hal itu. Mudahnya, yang kita ingat secara personal maupun kolektif sebenarnya saling berkait dan memengaruhi satu sama lain. Apa yang menjadi ingatan saya dalam konteks kegemaran membaca sastra ini akhirnya dipengaruhi — terkadang juga dibongkar, dirombak, disusun-ulang, dibongkar lagi, begitu terus — oleh kenangan-kenangan kolektif. Termasuk pula oleh ketegangan pengkubuan dalam sejarah dan politik sastra yang pernah memuncak di medio 1960-an silam.

Apakah melanjutkan pelembagaan atas pengkubuan sastra semacam ini masih diperlukan? Saya ragu model begini masih ada gunanya sekarang.

Setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan sekarang. Pertama, pengetahuan akan ketegangan sastra ini jangan pernah ditutup-tutupi dan dikurang-kurangi. Dalam bahasa ulasan memori, dilema antara mengingat (remembering) dan melupakan (forgetting) harus sama-sama dianggap penting dan disajikan. Dalam konteks pengetahuan atas pengkubuan antara Manikebu vs Lekra, ini perlu menjadi projek pengetahuan bersama. Misal, masuk dalam kurikulum pendidikan di sekolah, diskusi di kampus-kampus, dan dialog terbuka. Akan tetapi, hal itu diletakkan dalam kerangka sesuai konteksnya, yaitu sejarah sastra dan polemik kesusastraan Indonesia.

Ketegangan itu harus ‘dibaca’ dalam ruang dan waktu tertentu alias konteks kultural yang spesifik. Dari situ kita bisa memahami, lebih baik lagi bila juga bisa merasakan, konteks-konteks yang melahirkannya saat itu. Ini adalah aras mengingat (remembering). Lalu, dari situ kita juga bisa mengetahui dan memahami hal-hal apa saja yang secara struktural telah sengaja dihapuskan atau ditutup-tutupi demi kepentingan untuk terus melembagakan ketegangan tersebut. Ini adalah upaya memahami aras melupakan (forgetting), sekaligus cara untuk menyikapi lebih bijak bagi situasi kekinian.

Muaranya, akhirnya kita bisa mengerti bagian-bagian mana dari kenangan kolektif ini yang sejatinya sudah harus ditransformasi menjadi energi menyusun pengetahuan sekaligus kenangan baru. Tentu, demi generasi yang tidak buta sejarah, lalu tercerahkan untuk mentransformasi pengetahuan dan kenangan tersebut menjadi karya-karya berguna bagi peradaban selanjutnya. Saya jadi teringat lontaran seorang penulis eksil, Asahan Alham (akrab dikenal juga sebagai Asahan Aidit) yang pernah berujar, “Mengapa segi-segi kesia-siaan atau debu-debu permusuhan itu musti dibangkitkan ketika hal itu sudah tak perlu.”

Kedua, hal berikutnya yang perlu adalah mengembalikan ‘kenikmatan’ membaca sastra tanpa menafikan fakta-fakta sejarah dan artikulasi memorinya. Saya teringat betapa antusiasnya saya sewaktu mendapatkan novel Indonesia pertama saya pada sekitar 1994 saat masih berusia belasan. Saat itu saya tinggal di kota kecil di sisi utara Jawa Tengah dan ayah saya punya kebiasaan mengajak kami sekeluarga ke toko buku. Tapi, hari itu pertama kalinya ayah saya mengatakan ke saya, “Sana pilih, bebas mau beli buku apa.”

Momen itulah yang mengantarkan tangan saya menarik sebuah buku dari rak novel, sampul depannya berwarna hijau dengan goresan garis-garis merah melintang. Itulah novel Indonesia pertama yang saya miliki, saya baca hingga tamat, dan berkali-kali saya baca ulang dengan antusiasme yang sama. Novel itu berjudul Atheis (1949), roman modern karya Achdiat Karta Mihardja. Sejauh ingatan saya, edisi yang saya dapati kala itu adalah cetakan yang ke-32.

Antusiasme dalam menemukan, membaca dan menyelami kisah di dalam roman ini adalah kenangan pribadi yang amat kaya. Rasa inilah yang kemudian saya bangun terus dalam kegemaran membaca sastra. Terlepas bahwa seiring waktu kemudian pengetahuan saya akan berbagai ceruk sastra juga makin mendalam, saya tetap tidak ingin kehilangan antusiasme yang sama seperti kali pertama menyelami novel Atheis tersebut.

Beruntung kini muncul pengarang-pengarang seperti Eka Kurniawan dan Mahfud Ikhwan — tanpa mengerdilkan peran para pengarang kontemporer lainnya termasuk para perempuan prosais lewat banyak karya menarik mereka — yang tetap konsisten menulis. Karya-karya mereka hadir tanpa terjebak dalam pengkutuban dua kubu masa lalu, sembari tidak menafikan pernah adanya hal semacam itu. Sekarang saya punya alasan kuat bahwa antusiasme itu akan kembali. Membaca sastra dalam bingkai yang tidak buta sejarah tapi tidak mau dibelenggu olehnya, tampaknya, akan semakin menggairahkan.

Setara Pengarang Besar Dunia — Karya-karya salah satu penulis yang pernah aktif di Lekra, Pramoedya Ananta Toer (1925–2006), telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Termasuk bahasa Swedia, seperti tampak dalam salah satu koleksi Malmö Stadsbibliotek (Perpustakaan Kota Malmö). Kepengarangan Pramoedya disejajarkan dengan para penulis besar dunia, seperti sastrawan Inggris, Charles Dickens (1812–1820), dan pengarang Rusia, Fyodor Dostoyevsky (1821–1881). Foto: Zaki Habibi

--

--

Zaki Habibi
INGAT 65

Peneliti kajian media dan budaya visual dalam lingkup ruang perkotaan, saat ini tinggal dan bekerja di Lund, Swedia. http://bit.ly/ZakiHabibiLUkom