Membaca Ulang Narasi Tragedi Enam Lima

Dalam penelusuran saya, pada akhirnya saya pun berjumpa dengan sebuah pertanyaan klasik nan klise: apa artinya menjadi manusia Indonesia?

Yulius Tandyanto
INGAT 65
5 min readDec 14, 2016

--

[1]

Sesungguhnya saya tak punya hubungan langsung dengan tragedi enam lima. Satu-satunya ikatan yang menautkan saya dengannya adalah narasi sejarah bangsa. Melalui arahan para guru, dikisahkanlah bahwa peristiwa enam lima adalah sejarah kelam bagi siapa saja yang mengaku sebagai orang Indonesia.

Mengapa kelam? Sebut saja karena terjadi pembunuhan beberapa perwira militer di Jakarta. Dan pembunuhan tersebut merupakan simbol sekaligus peristiwa pamungkas kalau PKI telah melakukan kudeta terhadap negara. Singkatnya, PKI adalah biang kerok tragedi enam lima. Sekurang-kurangnya itulah narasi utama yang beredar bagi generasi yang sempat mencecap kepemimpinan Orba.

Secara tak langsung, cerita sejarah seperti itu mempengaruhi sikap acuh tak acuh saya terhadap apa pun yang berbau komunisme. Stigma kepada orang-orang yang dituduh “tercemar” komunisme tidak menggugah kepedulian saya. Pun peristiwa pembakaran buku-buku mengenai kajian komunisme pada tahun 2000-an berlalu begitu saja. Dengan kata lain, saya tak ambil pusing dengan tetek-bengek komunisme sebagaimana kebanyakan orang pada umumnya.

Namun, ada rasa penasaran yang mulai menggelitik. Pasalnya, saya belum mendapatkan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan, “Mengapa orang-orang memiliki rasa takut, alergi, dan reaksi yang berlebihan terhadap komunisme?” Gambar palu dan arit senantiasa dicurigai — bahkan dimusnahkan. Dalam situasi tersebut, saya pun mulai berpikir agak naif, “Sesungguhnya, mengapa komunisme dilarang? Dan apa kaitannya dengan tragedi enam lima?”

Kenaifan itulah yang mempertemukan saya dengan figur-figur seperti Pramoedya Ananta Toer, Franz Magnis-Suseno, Baskara T. Wardaya, Bradley Simpson, Bernd Schaefer, maupun Ragna Boden. Tentunya, bukan pertama-tama secara tatap muka. Namun, saya berjumpa dengan mereka melalui berbagai refleksi mereka atas temuan-temuan termutakhir sekitar tragedi enam lima.

Melalui narasi merekalah saya membaca ulang tragedi enam lima. Dan dalam penelusuran tersebut, pada akhirnya saya pun berjumpa dengan sebuah pertanyaan klasik nan klise: apa artinya menjadi manusia Indonesia? Saya rasa tak ada jawaban mudah dan final untuk pertanyaan itu. Namun, bagi saya, setidak-tidaknya pertanyaan tersebut merupakan bahan refleksi di balik setiap upaya serius yang bertujuan untuk menyingkapkan kebenaran tragis seputar enam lima.

Barangkali, tak berlebihan jika saya menggaungkan kembali sebuah adagium antik yang dipopulerkan pada paruh akhir abad ke-19: kebenaran tragis memang mensyaratkan pencernaan yang kuat.

[2]

Syahdan, saya berhutang besar kepada mereka yang telah menuturkan narasi-narasi akademis di luar narasi resmi pemerintah Orba. PKI memang terlibat dalam peristiwa 30 September. Namun, pihak militer pun tak dapat memungkiri keterlibatannya dalam rangkaian pembantaian terhadap anggota atau pun orang-orang yang dianggap sudah tercemar dengan PKI. Sedikit-dikitnya 500 ribu jiwa dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali melayang sekitar bulan Oktober hingga Desember 1965.

Di situlah kita akan menengarai dua kekuatan besar yang saling bertentangan: PKI dan militer. Mereka sama-sama bersaing agar dapat mempengaruhi Presiden Sukarno yang sedang sakit. Situasi memang tegang kala itu. Maka, tak mengherankan apabila kedua belah pihak saling curiga kalau-kalau lawan politik mereka merencanakan kudeta terhadap rezim Sukarno. Dan PKI “mendahului” strategi mereka dengan cara menculik para jenderal.

Sejak saat itulah tragedi bergulir. Ada pembunuhan para jenderal. Ada pembantaian massal terhadap PKI, simpatisan PKI, dan orang-orang lain yang tak terhitung jumlahnya. Akhirnya, pada bulan Maret 1966 tentara me-lengser-kan Sukarno. Dan sejak saat itu terbentuklah sebuah pemerintahan militer langsung secara de facto. Dunia pun “diam” menyaksikan rangkaian tragedi enam lima.

Persis pada sikap diam itulah terselubung cerita-cerita tragis. Dibukanya catatan arsip rahasia Amerika memperlihatkan kebijakan dan kepentingan politiknya terhadap Indonesia. Dukungan dinas intelijen Amerika (CIA) kepada militer Indonesia digunakan untuk mengejar, menangkap, dan membunuh banyak orang — baik yang benar-benar komunis maupun yang diduga komunis. Begitu pula kiblat PKI pada Mao Ze-Dong (RRC) pada waktu itu bertentangan dengan garis kebijakan Khruschev atau Brezhnev (Soviet). Walhasil, Uni Soviet dan para sekutu Eropa Timur tampak absen sehubungan dengan perkembangan peristiwa enam lima.

Lepas dari sikap dunia internasional, barangkali kejahatan terbesar dalam tragedi enam lima adalah narasi resmi pemerintah Orba itu sendiri. Rezim Orba berhasil menanamkan kesadaran traumatis terhadap apa pun yang berbau “komunis” — bahkan hingga saat ini. Sejak saat itu, jutaan orang telah ditangkap. Nama baik mereka dihancurkan. Perekonomian keluarga mereka dirusak. Tak sedikit pula yang disiksa, diperkosa, difitnah, dan dirampas kebebasannya. Itulah konsekuensi orang-orang yang dicap “terlibat” dengan PKI.

Boleh jadi saya memandang ambisi radikal politik PKI serta riwayat kelam ideologi komunisme itu sendiri dengan sebelah mata. Namun, saya tidak dapat menutup mata atas ketidakadilan yang nyata-nyata telah terjadi. Selama narasi resmi rezim Orba masih dianggap berotoritas, selama itu pula perang terhadap saudara sendiri tak terelakkan. Tragis! Tapi, mungkin itulah kebenarannya. Siapa saja yang berani menyelaminya memang butuh perut yang kuat.

[3]

Bagi saya perut yang kuat bukan hanya perkara kapasitas dalam mencerna makanan apa pun. Tapi, perut yang kuat pertama-tama adalah urusan melatih pencernaan secara terus-menerus dan tahu kapasitas perut sendiri. Oleh karena itu, keutamaan untuk senantiasa jujur kepada diri sendiri (tahu diri) mutlak diperlukan — keutamaan yang begitu langka akhir-akhir ini.

Saya perlu mengakui bahwa saya tidak tahu apa-apa tentang tragedi enam lima. Saya bukan pelaku. Saya bukan korban. Bukan pula seorang saksi hidup. Namun, saya adalah anak zaman yang mewarisi segala tragedi bangsanya. Oleh karena itu, saya tak perlu mengingkari tragedi enam lima. Malahan, saya perlu “merayakannya” sebagai bagian pendewasaan identitas diri apa artinya menjadi manusia Indonesia.

Barangkali menjadi manusia Indonesia itu merupakan putusan sinting. Siapa pun perlu memberanikan dirinya menghadapi segala kegamangan dirinya demi menghayati suatu identitas imajiner yang disebut sebagai “manusia Indonesia”. Kendati imajinasi tentang manusia Indonesia itu bersifat majemuk dan dinamis, tetapi identitas tersebut sungguh-sungguh konkret. Lain halnya dengan identitas (religius) sektarian yang cenderung homogen, eskatologis, dan totaliter — sebagaimana dipopulerkan akhir-akhir ini. Maka, tak mengherankan apabila mereka pun bersikap reaktif dan alergi terhadap narasi-narasi akademis seputar enam lima di luar narasi resmi rezim Orba.

Sejatinya, kedewasaan juga menuntut kebesaran hati. Dalam hal ini para korban stigma perlu diakui sebagai korban. Rekonsiliasi perlu senantiasa diupayakan dan dirawat. Narasi-narasi sempit, sektarian, dan penuh kebencian seharusnya dimasukkan ke dalam keranjang sampah. Siapa tahu, dengan bersikap demikian, kebenaran akan menampakkan wajahnya yang tak akan pernah dapat kita tundukkan — veritas horribilis.

Barangkali di sanalah Anda dan saya akan berjumpa.

--

--

Yulius Tandyanto
INGAT 65

Seorang pembaca buku. Saat ini lagi baca buku “Waktu dan Narasi”