Mencari Tahu Sejarah Tragedi 65 dari Google dan Youtube

Pengalaman saya sebagai generasi milenial

Natasya Salim
INGAT 65
3 min readJan 25, 2018

--

Saya lahir 32 tahun setelah Gerakan 30 September dan usia saya baru satu tahun ketika kerusuhan Mei 1998 terjadi. Bila sedang berkumpul dengan rekan kerja dari generasi sebelum saya dan mereka mulai bicara hal-hal yang berkaitan dengan sejarah bangsa, saya sering tidak bisa turut berkomentar. Dan karena sering malu bertanya, saya baru mulai akan terlibat setelah pembicaraan mereka selesai untuk menanyakan, “Kak, tadi pada ngomongin apa, sih?”

Saya adalah generasi milenial. Jujur, bila ditanya suka pelajaran sejarah atau tidak, saya akan dengan cepat menjawab “tidak”. Karena bagi saya, paling tidak semasa sekolah, pelajaran sejarah itu untuk dihafal, bukan dimengerti demi keperluan mendongkrak nilai rapor saja.

Mungkin karena sejarah bangsa, terutama mengenai periode 1965 di Indonesia, termasuk soal Partai Komunis Indonesia dan peristiwa ‘65 yang di benak saya selalu bermakna negatif.

Langkanya Narasumber Primer di Sekitar Saya

Orangtua saya yang lahir di tahun 70-an tidak pernah membahas kejadian G30S hingga akhirnya ada yang bertanya. Kakek dan Nenek saya yang besar di masa itu susah diajak ngobrol, karena kurang lancar berbahasa Indonesia. Mereka masih bicara bahasa Mandarin.

Usaha saya untuk mencungkil informasi kerabat Ayah, yang adalah seorang misionaris lahiran tahun ’50, di tengah acara makan malam bersama, juga tidak membuahkan jawaban. Intinya, tidak ada narasumber primer di lingkungan saya yang dapat menceritakan kejadian ini seperti yang saya inginkan.

Nonton Jagal dan Senyap via Youtube

Beruntung saya hidup di zaman ada Google dan Youtube. Pengetahuan saya akan periode 1965 diperkaya oleh film Senyap dan Jagal. Setelah menonton dua dokumenter karya Joshua Oppenheimer tersebut, mata saya baru terbuka mengenai kekerasan politik terhadap kelompok kiri di Indonesia yang menjadikan lebih dari satu juta orang Indonesia menjadi korban.

Senyap adalah film dokumenter yang menceritakan tentang perjalanan seorang pria bernama Adi yang memberanikan diri untuk berbicara dengan para pembunuh kakaknya di tahun ’65 dengan harapan untuk menerima kata maaf.

Jagal, di sisi lain, adalah film yang menampilkan Anwar Congo, salah satu pembunuh pada masa itu yang masih dielu-elukan namanya oleh masyarakat setempat atas tindakan kejinya tahun 1965.

Walau berbeda cara penyampaian, kedua film memiliki maksud yang jelas. Usai menonton video wawancara Joshua Oppenheimer, saya belajar bahwa kedua karya tersebut memiliki tujuan utama untuk mencerminkan sifat dasar manusia: Bagaimana para pejabat, demi kepentingan pribadi, rela menindas akal sehat orang-orang “polos”.

Saya membaca bahwa film-film tersebut adalah surat cinta Joshua Oppenheimer bagi bangsa Indonesia. Ia melakukan penelitian dan merekam film-film dokumenter tersebut selama tujuh tahun.

Film-film tersebut, seperti juga karya-karya seni lain mengenai periode ini, serta berbagai penelitian akademis soal 1965 bisa memicu bangsa kita untuk mulai bicara terus terang.

Kita tahu ucapan Bung Karno bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya sendiri. Tetapi, jangankan lupa, apa yang mau diingat bila pengetahuan yang tertulis dalam buku Sejarah saja tidak mencerminkan kebenaran? Haruskah anak dan cucu kita yang mengonsumsi informasi tersebut bangga akan sebuah cerita bohong?

Negara ini baru 73 tahun. Masih muda. Belum terlambat untuk belajar terbuka dan menyatakan kebenaran. Layaknya manusia yang ingin sehat, negara kita harus berani mengeluarkan uneg-uneg yang sudah disimpan 20 tahun agar tidak menjadi racun.

Setelah menyaksikan kedua dokumenter itu, saya sadar bahwa melek sejarah itu penting. Untungnya, tidak pernah ada kata terlambat untuk belajar. Apalagi di zaman teknologi digital dan keterbukaan informasi saat ini, saluran untuk mencari informasi sudah lebih banyak dan beragam. []

--

--