Mencelikkan Kebutaan terhadap Peristiwa ‘65

Winda Charmila
INGAT 65
Published in
3 min readMay 17, 2018
Foto oleh Alexandra Gorn di Unsplash

Saya pernah menjadi wartawan di sebuah harian nasional yang peduli dengan isu ’65. Di harian nasional tersebut, saya mengetahui betapa sulitnya mengadakan diskusi tentang sejarah peristiwa ’65 yang mengangkat fakta-fakta yang berbeda dari narasi besar di Indonesia.

Saya ingat sekali dengan diskusi publik yang mengundang para penyintas Tragedi ’65 di Jakarta dihentikan secara paksa pada tahun lalu. Sementara pada tahun 2016, pemutaran film dokumenter tentang Pulau Buru, tempat pembuangan para tahanan politik yang dituduh memiliki andil pada peristiwa 30 September 1965, juga mendapatkan ancaman pembubaran dari oknum tertentu. Tetapi untungnya, pemutaran film bisa berjalan terus.

Protes terhadap diskusi maupun pemutaran film yang terkait dengan tragedi bersejarah tersebut akan selalu ada. Hal tersebut dikarenakan masih adanya anggapan bahwa kegiatan tersebut merupakan upaya untuk menghidupkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sampai sekarang masih dianggap berbahaya bagi negara.

Saya pun termenung. Menurut saya diskusi untuk meluruskan atau membedah fakta sejarah bukanlah sesuatu yang berbahaya. Sebab dari sejarah kita bisa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan. Sebagai konsekuensi dari pelarangan diskusi, masih ada pihak-pihak yang berusaha melegitimasi tindakan kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia.

Saya adalah bagian dari generasi tahun 90-an yang tidak memiliki hubungan langsung dengan peristiwa ’65. Selain tidak mengalaminya, bahasan tersebut tidak pernah diceritakan oleh orang tua saya, karena mereka pun baru lahir pada tahun peristiwa itu terjadi.

Sebagai seseorang yang buta dengan babak sejarah Indonesia tersebut, saya hanya mengangguk-angguk setuju saat guru di sekolah dasar menceritakan anggota PKI dibantai karena mereka berbahaya bagi negara. PKI ingin menggulingkan pemerintahan. Hal tersebut membuat mereka sebagai sebuah ancaman nasional.

Guru saya berpendapat tragedi pembunuhan jenderal pada malam 30 September yang dilakukan PKI merupakan hal yang salah. PKI pun dicap sebagai organisasi yang buruk. Namun tidak ada penjelasan yang mendetil untuk membantu anak usia sekolah dasar memahami apa yang sesungguhnya terjadi pada saat itu. Pada akhirnya hal yang membekas dalam ingatan saya selama bertahun-tahun adalah anggapan bahwa PKI itu berbahaya.

Seiring berjalannya waktu, asumsi salah yang lain tentang PKI masuk ke dalam kepala saya. Bahwa anggota PKI adalah ateis, mereka tidak percaya akan adanya Tuhan. Seringkali negara-negara dengan partai komunis besar dijadikan contoh, seperti Cina dan Rusia, yang penduduknya pun tidak beragama.

Dengan asumsi tersebut, PKI pun pernah saya anggap melanggar pasal pertama dari Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga saya pun menduga salah satu alasan PKI dianggap berbahaya adalah karena mereka menentang azas negara Indonesia, dan lama kelamaan akan menggantikan ideologi dasar negara.

Berkembangnya asumsi tersebut diperparah dengan sistem pendidikan yang tidak pernah mengulas dengan detil tentang tragedi ’65. Yang dijadikan sumber pembelajaran adalah film Pengkhianatan G30S/PKI yang menampilkan unsur kekerasan secara gamblang. Film ini menggambarkan betapa kejamnya para anggota PKI menyiksa dan membunuh tujuh perwira Angkatan Darat dan membuang jenazah mereka ke Lubang Buaya. Film tersebut terbukti ampuh untuk membentuk pola pikir saya dan teman-teman sekolah saya. Kami pun berpikir bahwa PKI benar-benar merupakan pembunuh berdarah dingin.

Seiring berjalannya waktu, saya pun mulai berpikir pembantaian terhadap jutaan manusia pasca malam G30S sangatlah tidak berperikemanusiaan. Mereka dibunuh langsung di tempat atau dikumpulkan di lapangan untuk ditembak atau ditebas menggunakan pedang. Kemudian mayatnya dikubur massal secara seadanya atau dilempar ke sungai. Selain itu, semakin banyak pendapat yang muncul, mengatakan film Pengkhianatan G30S/PKI merupakan rekayasa yang menjadikan PKI sebagai kambing hitam.

Sejak gencarnya narasi-narasi yang berbeda dari apa yang diajarkan di sekolah, saya mulai mencari artikel di Internet tentang apa yang sesungguhnya terjadi pada saat itu. Tentu saja tidak semua artikel di Internet bisa dipercaya, namun setidaknya hal tersebut membuka mata saya bahwa peristiwa 1965 sesungguhnya lebih rumit dari yang dijelaskan di buku pelajaran sejarah di sekolah.

Entah kapan semuanya akan terungkap, kita tidak akan pernah tahu. Saya hanya berharap generasi-generasi selanjutnya bisa membaca narasi sejarah Indonesia secara lebih kritis. Selain itu, diperlukan kemauan untuk membaca narasi lain di samping yang disampaikan oleh pemegang kekuasaan.

--

--