Mengais Ingatan dari Foto Tapol Pulau Buru

RIAN ADHIVIRA PRABOWO
INGAT 65
Published in
4 min readJul 5, 2018

“Wok, sudah lama kamu aku tunggu.”

Babe, begitu dia biasa dipanggil. Sudah menunggu saya lebih dari satu jam. Menyapa dengan gayanya yang flamboyan dan senyum ceria yang khas.

Walau terlambat karena macet, kami langsung memulai agenda yang sudah disepakati: mengais ingatan dari pengalaman masa lalu melalui foto-foto yang diambilnya dulu.

Foto-foto itu adalah bagian dari hidupnya dahulu, ketika ia menjalani empat belas tahun masa sebagai tahanan politik, yang sebagian besar dia habiskan di Pulau Buru. Berangkat dengan Kapal Adri 15 dan ditempatkan di unit III.

Sebagian foto-foto itu, ia sempat menyerahkannya pada Pramoedya Ananta Toer atau biasa disapa Pram, yang kemudian digunakan untuk salah satu karya Pram “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”. Babe adalah satu-satunya orang yang memiliki kamera sewaktu di Pulau Buru, dan bisa menggunakanya dengan leluasa.

Tidak hanya kamera, dia juga memiliki alat rekam suara_yang sayangnya kini hilang entah dimana_yang juga dipergunakan olehnya untuk mewawancarai kawan sesama tahanan, juga perempuan ‘Jugun Ianfu’ selama di Pulau Buru. Jugun Ianfu adalah perempuan yang menjadi korban dalam perbudakan seks, selama Perang Dunia II di koloni Jepang dan wilayah perang.

Keduanya, dia bilang, dikirimkan oleh ibunya dengan bantuan dari seorang Romo. Seluruh hasil foto dan rekaman itu, ia kembali menegaskan telah diserahkan pada Pramoedya Ananta Toer.

Awalnya, saya mengenalnya dari empat tahun yang lalu, saat peringatan hari HAM di Semarang. Entah bagaimana, kami menjadi begitu akrab layaknya seorang cucu dengan kakeknya.

Kemudian Babe bersama dengan kawan-kawan di Semarang dan Kendal, sempat pula melakukan kerja sama, berupa memorialisasi kuburan masal di Plumbon, Semarang. Di tempat itu diperkirakan belasan hingga puluhan orang dibunuh karena peristiwa 1965.

Beberapa tahun lalu, saya sempat pula merekam dan mencatat kisah hidupnya. Pada saat itulah saya ditunjukan koleksi foto miliknya terkait Pulau Buru. Baru belakangan, saya bersama dengan kawan-kawan lain merasa penting untuk membuat catatan khusus atas foto-foto tersebut. Hal itu dilakukan untuk merekam ingatan dari tiap-tiap foto yang dulu diambil, serta mengabadikannya dalam bentuk digital.

Sore itu rokok mulai dinyalakan. Dia mulai bercerita tentang bagaimana dirinya mendapatkan kamera, yang akan ia gunakan untuk mengambil frame-frame momen bersejarah secara leluasa. Selanjutnya, Babe bercerita tentang ingatan dia pada setiap foto yang diambil.

Setiap foto memiliki cerita yang bertumpuk. Ini membuat cerita Babe selalu meluas dan keluar dari fokus. Namun kami pun enggan membuatnya berhenti, karena setiap keping ingatan itu begitu penting untuk dilewatkan.

Di sinilah rupanya, saya menemukan harta karun yang demikian berharga. Setidaknya ada dua yang disampaikan oleh Babe di kesempatan tersebut.

Babe bercerita bagaimana dia_dan para tahanan lain_diperlakukan dengan semena-mena: dipukuli, kerja paksa, dan lain sebagainya. Dia bercerita bagaimana susahnya hidup sebagai tahanan politik di Pulau Buru, dan bagaimana dia bertahan hidup sembari pula menyembunyikan dan mewartakan kisah-kisah buatan Pram pada tahanan di unit lain.

Diantara foto-foto tersebut, terdapat beberapa foto yang menarik: foto dirinya dengan para pegawai di Pulau Buru yang nampak ceria, juga foto dengan senyum terkembang mandi bersama para penjaga. Kami tentu bertanya, bagaimana ini bisa terjadi?

Dan dia bercerita lagi bahwa awalnya, ketika tahanan politik datang, petugas dan penduduk setempat telah diberitahu, bahwa mereka yang datang adalah para penjahat yang buas, yang bahkan bisa memakan sesama manusia bilamana lengah. Itu yang membuat penjaga begitu bengis pada mereka.

Namun, seiring waktu, ucapan itu tidak terbukti. Para tahanan politik justru banyak membantu penduduk setempat dan bahkan bisa bersahabat dengan para penjaga.

Dengan para penduduk, ujarnya, “sudah lebih dari saudara” dan menangis ketika melepas kepulangan mereka. Sementara itu, dengan para penjaga, mereka bahkan terkadang menggantikan berjaga, lengkap dengan pakaian dan senjatanya.

Sementara petugas bisa tidur dan beristirahat. Foto itu menunjukan bahwa kehidupan di Pulau Buru juga tidak hitam putih. Diantara segala siksaan dan nestapa, ada persahabatan yang bisa menembus sekat.

Selanjutnya, dalam salah satu foto, Babe bercerita keluar jauh dari konteks foto itu. Dia bercerita bahwa seharusnya, air matanya telah habis untuk penderitaanya di Pulau Buru.

Namun, dia selalu teringat akan mendiang istrinya. Babe bercerita bahwa dia dapat menangis sampai lima kali sehari, apabila teringat istri yang sangat dicintainya. Beban kenangan itu yang membuat dirinya sering menyebut nama sang istri dalam berbagai kesempatan.

Babe yang biasanya tenang, bahkan ketika bercerita mengenai penyiksaan sekalipun, ceria, dan selalu tersenyum sempat terhenti. Dia melepas kaca-mata dan menyeka air mata yang keluar. Jeda satu-dua detik itulah, membuat saya melihat sisi dari Babe yang paling manusiawi. Sebelum akhirnya dia kembali tersenyum dan melanjutkan bercerita.

Jadi, diantara mimpi buruk soal interogasi yang juga selalu menghampiri, siksaan dan pertanyaan-pertanyaan seperti “Dimana kamu sembunyikan senjata?”, “Apa kamu bersiap memberontak?” dan lain sebagainya yang disertai dengan perlakuan kejam, bayangan sang istri juga sering hadir, menyelingi mimpi buruk dari masa lalunya.

Melalui foto dan kisah yang dihaturkan oleh Babe, saya melihat setidaknya ada dua hal: pertama, bahwa ada persahabatan yang melampaui sekat. Kedua, dan barangkali yang paling penting, bahwa orang-orang seperti Babe, yang merupakan seorang yang terikat dengan masa lalunya yang penuh siksaan, juga memiliki beban personal dari bagian hidupnya yang sangat manusiawi: Kisah cintanya karena ditinggal mati sang istri.

Melalui foto dan kisah yang dituturkan, Babe sekaligus membuktikan label yang menyatakan bahwa para tahanan politik adalah setan beringas yang tidak berperasaan, sudah batal dengan sendirinya. Bahwa para (mantan) tahanan politik 1965 bisa menjadi sahabat yang begitu baik, bahwa mereka juga manusia biasa, yang bisa merasakan sakit ketika disiksa, juga merasa merana ketika ditinggal orang yang mereka cinta. []

--

--

RIAN ADHIVIRA PRABOWO
INGAT 65
Writer for

Anggota PMS-HAM (Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia) dan aktif di SRI (Satjipto Rahardjo Institute).