Mengapa Saya Membuat Laporan Skripsi Tentang Film “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI”

Refleksi Generasi Z soal sejarah Indonesia

Antonius June
INGAT 65
3 min readDec 13, 2018

--

Saya lahir setahun sebelum rezim Suharto turun. Ibu saya bercerita, pada kerusuhan 98, bersama warga etnis Tionghoa lain, keluarga kami menjadi sasaran amuk masa. Rumah nenek buyut saya di Jakarta Barat dikepung dan dibakar. Kami sekeluarga kabur lewat atap. Saya yang berumur satu tahun saat itu digendong-gendong dari satu atap rumah ke rumah lain, kata ibu saya. Kami selamat.

Sekarang saya mahasiswa tingkat terakhir jurusan film di Universitas Multimedia Nusantara. Untuk skripsi saya, saya memilih untuk menelaah propaganda dalam film “dokudrama” keluaran rezim Orde Baru, “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI”.

Alasan awal saya meneliti film ini murni atas ketertarikan akademis. Saya ingin meneliti soal propaganda melalui kaca mata semiotika. Namun, dalam perjalanan riset ilmiah ini, saya menemukan wawasan baru mengenai sejarah bangsa Indonesia. Saya menemukan ada film yang menceritakan kisah yang tidak diangkat dari narasi “pengkhianatan PKI”, yaitu film “Pulau Buru Tanah Air Beta”. Film dokumenter tersebut menceritakan perjalanan Hersi Setiawan mantan tahanan politik yang dibuang ke Pulau Buru pasca G30S. Saya jadi mengetahui bahwa ada ribuan orang yang ditahan tanpa pengadilan dan ratusan ribu menjadi korban pembunuhan massal pasca G30S, termasuk warga keturunan Tionghoa.

Saya sempat hendak meneliti film “Pulau Buru Tanah Air Beta” tersebut. Saya telah mewawancarai Bapak Whisnu Yonar, produser dari film tersebut. Namun, untuk meneliti propaganda dalam film, memang film “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI” lebih cocok. Mengapa?

Dari penelitian saya, film Pengkhianatan G30S/PKI memang mengimplementasikan teknik-teknik propaganda secara visual. Ini bisa dilihat dari mise-en-scene yang terdapat dalam film. Mise-en-scene mengacu pada segala aspek visual yang terdapat dalam film, seperti latar, casting, lighting (pencahayaan), kostum dan make-up, dan lain-lain.

Banyak adegan yang menciptakan rasa takut. Ada adegan pembunuhan dan penyiksaan yang ditampilkan secara jelas dan detil. Penyiletan, penembakan, penusukan, membasuh wajah dengan darah. Ada juga teknik-teknik yang digunakan untuk menambahkan rasa tegang dalam film. Seperti pencahayaan yang gelap dengan teknik low-key lighting yang menciptakan rasa tegang dan menakutkan, musik yang mencekam, dan penggunaan properti darah yang sangat banyak. Ditambah dengan fakta bahwa film ini diklaim oleh pemerintah Orde Baru sebagai dokudrama, yaitu drama dari kejadian yang pernah terjadi, maka penonton akan merasa bahwa PKI yang digambarkan menyiksa para jenderal sebelum membunuh mereka benar-benar menakutkan. Rasa takut inilah yang menciptakan rasa anti terhadap segala hal yang berbau PKI maupun komunisme sendiri.

Rezim Suharto jatuh pada tahun 1998, tahun di mana seperti pada tahun 1965–1966 etnis Tionghoa menjadi sasaran kekerasan. Namun pemerintah hingga saat ini belum pernah benar-benar menyelesaikan masalah kekerasan terhadap kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1998, maupun 1965 sendiri.

Saya merasa ada kesan bahwa karena sejarah yang kelam ini mencoreng nama negara, maka tidak perlu dibahas. Saya juga merasa karena tidak ada tekanan yang benar-benar berarti dari masyarakat secara luas, pemerintah merasa tidak perlu turun tangan. Malah, karena sikap anti-PKI yang masih kuat karena warisan propaganda Orde Baru, pemerintah lebih memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Itu mengecewakan bagi saya.

Tapi saya melihat ada harapan di generasi muda. Generasi saya dan yang lebih muda lagi dapat mengakses informasi dengan lebih bebas dan juga sedikit banyak lebih tidak terdampak propaganda Orde Baru. Karena kita lebih terbebas dari indoktrinasi Orde Baru, maka generasi muda seharusnya lebih bisa menerima dan mengakui sejarah kekerasan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965 dan juga sejarah kekerasan yang terjadi di tahun-tahun berikutnya hingga sekarang.

Adegan Catherine Pandjaitan membasuh wajahnya dengan darah ayahnya, D.I. Pandjaitan.

--

--