Indonesia perlu membahas kembali wacana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Arrial TSR
INGAT 65
Published in
3 min readSep 15, 2018
Photo by Christian Wiediger on Unsplash

Bagi negara Indonesia, penuntasan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu menjadi semakin mendesak. Para pelaku dan korban pelanggaran HAM berat satu per satu meninggal dunia sebelum ada pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan.

Salah satu dari pelanggaran HAM berat yang selama ini belum diselesaikan adalah pembunuhan massal terhadap ratusan ribu orang yang diduga penganut politik kiri menyusul peristiwa 1 Oktober 1965. Kekerasan luar biasa pada 1965–1966 masih menyisakan memori luka yang dalam bagi negara ini.

Rekonsiliasi penting untuk menutup luka

Pertama kali saya tahu ada pembantaian 1965–1966 adalah ketika saya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Ketika pelajaran PPKn ketika guru saya membahas masalah Hak Asasi Manusia saya menjadi tahu bahwa pada periode itu siapa pun yang dituduhkan terlibat dalam G30S menjadi korban pembantaian atau ditahan tanpa pengadilan.

Saya tidak bersimpati kepada komunisme dan tidak ada keluarga saya terlibat dalam peristiwa tersebut, namun sebagai seorang manusia dan bagian dari masyarakat madani Indonesia saya berkewajiban secara moral untuk menyuarakan hak korban yang selama ini tidak dipenuhi.

Menurut saya, permintaan maaf dari negara bukan solusi, karena memang negara tidak bersalah secara resmi memerintahkan pembersihan tersebut. Namun upaya rekonsiliasi senantiasa relevan untuk menutup luka lama bangsa selamanya.

Mengangkat kembali wacana Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Hingga kini, pengadilan HAM seperti tumpul dalam memberikan rasa keadilan bagi para korban. Disinilah upaya rekonsiliasi lewat proses saling memaafkan dapat menjadi alternatif untuk menjahit luka bangsa.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pernah digagas untuk menjembatani proses rekonsiliasi. Pada tahun 2004 keluar Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun, ketentuan dalam undang-undang ini yang dirasa hampir mustahil untuk diwujudkan. Tekanan yang melihat pada pelaku secara perorangan dalam individual criminal responsibility, membuat pelaku pembunuhan massal 1965–1966 maupun korban sulit untuk dipertemukan sehingga persyaratan pernyataan maaf dari korban maupun ahli warisnya urung terpenuhi untuk mewujudkan rekonsiliasi.

Pada akhirnya Mahkamah Konstitusi membatalkan undang-undang ini pada 2006. Dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, bukan berarti upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi berakhir di sini. Kita perlu membahas kembali UU KKR baru yang lebih bisa dilaksanakan, memenuhi rasa keadilan, dan pada akhirnya menjunjung tinggi rasa kemanusiaan.

Beberapa waktu yang lalu Menkopolhukam sempat mewacanakan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional sebagai salah satu alternatif untuk menjembatani rekonsiliasi antara pelaku dan korban. Namun, pemerintah masih terkesan tidak konsisten soal tujuan DKN ini.

Saat pertama kali digagas oleh Wiranto pada tahun 2016, ia menjelaskan bahwa DKN bertujuan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lewat mekanisme non-yudisial. Akan tetapi karena tekanan dari masyarakat, Wiranto kemudian mengubah tujuan dari DKN bukan lagi berfokus pada penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melainkan untuk menyelesaikan konflik sosial di masyarakat.

Komitmen politik bangsa/negara terhadap HAM yang termuat dalam konstitusi dan derivasinya dalam berbagai peraturan perundang-undangan belum atau tidak diikuti dengan tindakan konkrit dalam proses dan praktik politik.

Mangkraknya penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, menurut salah satu hakim MK Abdul Mukthie Fadjar, disebabkan dimensi politik sangat kental dalam penegakan HAM, terutama terkait dengan keterlibatan aparatur keamanan dan kelompok masyarakat.

Karenanya, pemerintah dan DPR seharusnya meningkatkan komitmen dan political will-nya untuk segera melakukan pembahasan RUU KKR, dan segera menghilangkan kebiasaan yang hanya memasukkan RUU KKR dalam daftar program legislasi nasional.

--

--