Mengingat yang jauh dan terasing di sana

Wulan K. Wardhani
INGAT 65
Published in
4 min readSep 13, 2018
Pak Sarmadji atau dikenal dengan Warjo (Waras lan Bejo) yang berumur 84 tahun adalah salah seorang eksil yang tinggal di Belanda. Ia sudah kehilangan kehilangan kewarganegaraannya karena paspornya dicabut. Foto diambil oleh Febriana Firdaus

Bulan November 2015, saya ditugaskan oleh magdalene.co (sebagai contributing reporter) untuk meliput kegiatan futsal yang dilakukan anak-anak perempuan pengungsi Afghanistan dari etnis Hazara di Bogor, Jawa Barat.

Dua anak perempuan, kakak-beradik bernama Nooria dan Banafsha menceritakan kisah sedih yang mereka alami di kampung halamannya di Herat, Afghanistan. Mereka mengakui bahwa bagi banyak orang di Afghanistan, melakukan aktivitas di luar rumah adalah sebuah hal yang berisiko tinggi. “Orang tua kami tidak mengizinkan kami bermain sepak bola (di kampung halaman kami) karena ada banyak pembunuhan, penculikan, dan penembakan,” kata Banafsha. Mereka mungkin merasa lebih aman ketika tinggal di Indonesia namun keterbatasan uang dan masa depan yang tidak jelas terus menghantui.

Beberapa bulan setelah itu, seorang teman dari Turki yang sedang berada di luar negeri, Deniz (nama disamarkan karena alasan keamanan) , mengirimkan pesan kepada saya bahwa kakaknya ditahan oleh polisi Turki karena diduga terlibat gerakan pemberontakan. Beberapa minggu setelah kejadian tersebut, Deniz mengetahui bahwa dirinya pun juga masuk dalam daftar orang-orang yang diduga terlibat dalam gerakan itu.

Deniz mengambil keputusan untuk tak pulang ke negaranya untuk menghindari persekusi. Dia mengaku hidup sebagai eksil tidaklah mudah. Hidup di negara asing tanpa bisa bekerja dan pada saat yang bersamaan dihantui rasa khawatir kalau-kalau keluarganya yang lain di Turki juga menghadapi persekusi.

Beberapa bulan yang lalu, ia mengirimkan sebuah screenshot berisi percakapan kami mengenai pengalaman saya meliput pengungsi Hazara di Bogor. Ia berkata : “Siapa yang akan menyangka bahwa beberapa bulan kemudian (setelah kamu bercerita mengenai pengalaman meliput pengungsi), aku menjadi pengungsi”.

Segala hal buruk yang dialami Deniz mengingatkan saya kepada para korban tragedi 1965, terutama kisah — kisah para eksil 1965 yang dicabut paspornya dan terpaksa tinggal bertahun-tahun di luar negeri tanpa bertemu dengan anggota keluarga.

Saya tahu tentang peristiwa 1965 sejak masih Taman Kanak-Kanak. Suatu ketika, salah satu guru saya menunjukkan gambar-gambar ilustrasi para jendral yang terbunuh. Tidak ada cerita horor ketika itu. Guru saya hanya bilang jendral-jendral ini dibunuh oleh orang jahat.

Setelahnya, sama seperti anak-anak Indonesia di zaman Orde Baru, saya menjadi korban cuci otak sejarah versi pemerintah. Bertahun-tahun saya dicekoki satu versi sejarah dan saya mengamininya.

Lalu datanglah reformasi.

Mata saya terbuka bahwa ada versi lain yang menjelaskan peristiwa 1965. Bahwa yang menjadi korban bukan hanya jendral-jendral itu, ada banyak korban sipil juga yang jatuh.

Dari banyak baca, saya kemudian memahami bahwa sejarah bisa diputar balik tergantung siapa yang berkuasa.

Lewat bacaan-bacaan saya, saya juga mendapati cerita para eksil yang tidak bisa pulang ke Indonesia karena dituduh terkait Partai Komunis Indonesia.

Cerita para “orang yang terbuang dari Indonesia” ini tak pernah ada dalam buku sejarah. Pada awalnya, saya mengetahuinya belasan tahun lalu setelah membaca sebuah tulisan mengenai Francisca Fanggidaej, seorang perempuan Indonesia yang menjadi eksil di Belanda.

Francisca, yang merupakan nenek dari aktor kenamaan Reza Rahadian, adalah salah seorang penasihat mantan presiden Soekarno. Pada tahun 1965, dia berkunjung ke Chile sebagai anggota delegasi Indonesia dalam kongres Organisasi Wartawan Internasional di sana. Pada saat yang bersamaan, peristiwa G30S meletus. Francisca pun tidak bisa kembali ke Indonesia dan sejak saat itu hidup sebagai eksil.

Cerita Deniz dan Francisca mengingatkan saya bahwa dalam sebuah konflik, ada orang-orang tak tahu apapun yang menjadi korban.

Mereka yang tidak tahu apa-apa ini harus menderita terpisah dari keluarga dan orang-orang kesayangan.

Cap sebagai pengkhianat bangsa ditambah perasaan terkucil karena jauh dari keluarga adalah penderitaan yang sangat besar.

Puluhan tahun eksil 1965 tidak bisa kembali ke keluarga mereka. Adakah yang bisa dilakukan negara?

Salah satu cara adalah menghilangkan stigma negatif yang dituduhkan kepada para eksil ini. Karena stigma yang masih kuat di masyarakat, banyak para eksil yang menolak kembali ke Indonesia.

Selama stigma itu masih ada, sulit rasanya korban 1965 baik yang di dalam maupun luar negeri mendapatkan keadilan.

Sebagai penutup, saya akan mengutip sebuah puisi yang berjudul Exile dari Pablo Neruda yang menggambarkan rasanya hidup dalam pengasingan.

Exile is round in shape, a circle, a ring

Your feet go in circles, you cross land and it’s not your land.

Light wakes you up and it’s not your light.

Night comes down but your stars are missing

You discover brothers, but they’re not of your blood.

Puluhan tahun eksil 1965 tidak bisa kembali ke keluarga mereka. Adakah yang bisa dilakukan negara? Foto diambil dari Unsplash.com

--

--