Menjawab pertanyaan soal 1965

Sita Dewi
INGAT 65
Published in
5 min readJul 27, 2017

--

“Bagaimana persepsimu tentang peristiwa 30 September 1965 dulu dan sekarang, Sita?”

Seketika belasan pasang mata di ruang baca Departemen Politik dan Perubahan Sosial, Australian National University (ANU), menjurus pada saya — yang jadi setengah panik, menunggu jawaban.

Pertanyaan itu dilontarkan dosen sekaligus tutor saya di mata kuliah Indonesia: Politics, Society and Development, yang saya ambil di semester pertama studi magister saya di ANU di awal tahun 2016.

Minggu tersebut kami sedang mendiskusikan empat interpretasi utama mengenai apa yang terjadi di malam berdarah itu**. Saya satu-satunya mahasiswa Indonesia yang mengambil kuliah itu, sisanya mayoritas berkebangsaan Australia, ditambah beberapa mahasiswa asal negara tetangga di Asia Tenggara.

Pendapat saya mungkin menjadi menarik untuk mereka karena di minggu pertama kuliah saya memperkenalkan diri sebagai mahasiswa Indonesia yang ingin belajar lebih banyak tentang Indonesia, termasuk sejarah kontemporernya, karena saya tumbuh besar di bawah kuasa kurikulum Orde Baru. Bahkan setelah reformasi, saya tidak pernah benar-benar memperdalam pengetahuan dan pemahaman saya terhadap banyak peristiwa sejarah di negeri sendiri.

“Apa ada yang berubah?” tanya teman sekelas saya. Jawaban saya waktu itu cukup singkat (dan mungkin tidak cukup memuaskan, tidak tahu juga).

Bagi saya, saat itu apa yang sebenarnya terjadi tidak terlalu penting karena tidak ada dampak langsung bagi hidup saya. Saya menambahkan, dari beberapa interpretasi yang kami diskusikan itu, saya menyimpulkan bahwa, terlibat langsung atau tidak, Suharto cukup strategis untuk membalikkan meja dan memanfaatkan momentum bagi keuntungan pribadinya.

Kalau saya bisa mengartikulasikan ulang apa yang ada di kepala saya, mungkin saya akan menjawab begini: sewaktu saya di sekolah dasar, karena menonton film G30S PKI adalah kegiatan rutin tahunan, saya dibuat percaya bahwa pemberontakan berdarah itu diotaki Partai Komunis Indonesia (PKI) dan bahwa komunisme adalah bahaya laten. Kenapa dan bagaimana, saya tidak mengerti dan tidak tertarik mencari tahu juga, saat itu. Karena narasi tersebut terus-menerus diulang, saya jadi menganggap itu bukan sesuatu yang istimewa juga dan saya menerimanya begitu saja.

Pasca reformasi, saya cukup dewasa untuk mengerti bahwa narasi yang kemungkinan besar bohong belaka itu cuma akal-akalan rejim untuk merawat kuasanya. Bahwa saya sudah dibuat gagal memahami ideologi komunisme. Saya dibuat buta akan apa yang sesungguhnya terjadi pada anggota dan simpatisan PKI termasuk keluarganya, juga apa yang sudah terjadi pada kita sebagai bangsa. Tetapi, sejauh mana kesadaran itu membawa saya? Belum ke mana-mana. Hingga pertanyaan tersebut dilontarkan pada saya.

Di semester berikutnya, teman sekelas yang kemudian menjadi rekan kerja untuk sebuah tugas presentasi melontarkan pertanyaan ‘mengganggu’ lainnya. “Kenapa hingga hari ini belum ada permintaan maaf secara resmi dari pemerintah pada keluarga korban pembantaian 1965–1966?”

Ia menjadikan pertanyaan tersebut topik esai utamanya. Awalnya saya skeptis. Tapi kami terlibat dalam banyak diskusi untuk mempersiapkan presentasi kami, yang bertema ‘budaya impunitas di Indonesia’, dan hasilnya saya jadi belajar banyak.

Singkatnya, teman saya ini berargumen bahwa ongkos politik sebuah pengakuan dan permintaan maaf resmi terlalu mahal. Sudah begitu, manfaat politis bagi penguasa kecil juga. Untuk mengaku dan meminta maaf, artinya pemerintah mau tak mau harus menyinggung pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa 1965 dan pembantaian anggota dan simpatisan PKI yang menyusulnya.

Saat ini, mereka adalah bagian dari kekuatan politik konservatif. Untuk ‘menganggu’ mereka, dibutuhkan political will yang sungguh besar sekaligus kesadaran bahwa keuntungannya juga tidak besar, atau malah sangat kecil. Mengingat betapa kuatnya persepsi mengenai bahaya laten komunisme di kalangan masyarakat luas, mungkin bahkan langkah rekonsiliasi tidak punya faedah sama sekali bagi elit politik karena tidak ada insentifnya, misalnya langkah untuk mewujudkan rekonsiliasi tidak semerta-merta menambah suara atau dukungan massa.

Prof. Robert Cribb (ketiga dari kanan) bersama saya (ujung kanan) dan peserta konferensi Asia Pacific Week 2016 dari Indonesia di ANU. (Dokumentasi pribadi)

Kesimpulan ini senada dengan jawaban Profesor Robert Cribb, sejarawan ANU, ketika saya tanya soal hal ini tengah tahun lalu. “Reconciliation is doomed to fail,” katanya.

Alasannya? Menurutnya, korban akan selalu menganggap pemerintah tidak memberi cukup dari apa yang mereka minta sementara pemerintah meyakini bahwa korban selalu menuntut terlalu banyak dari apa yang dapat mereka akomodasi. Impasse. Mentok. Buntu.

Sebagian diri saya mengamini. Dari lebih 200 juta penduduk Indonesia, seberapa banyak yang benar-benar peduli akan apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa rekonsiliasi itu penting bagi bangsa? Tidak. Seberapa banyak yang berpikir dan mengakui bahwa ini adalah masalah bangsa?

Bahwa ketiadaan fakta, penjelasan dan resolusi merupakan noda buat kehidupan berbangsa dan bernegara kita? Kalau hanya sedikit, jelas ini hanya jadi disinsentif buat elit politik.

Tapi sebagian lain dalam diri saya tidak bisa berhenti berpikir, apa cukup sampai sini saja kita mencoba dan mencari? Apa yang harus kita lakukan dari sini? Apakah kita perlu suatu tujuan dan cara baru?

Tapi tidak ada perubahan yang mudah. Kalau perlu bertahun-tahun bagi saya untuk tiba pada titik kesadaran ini, mungkin perlu bertahun-tahun juga bagi banyak orang Indonesia yang awalnya tidak peduli untuk sampai pada realisasi yang sama.

Dari satu jadi dua, dari dua jadi dua belas orang, begitu seterusnya sampai makin banyak mata dan pikiran terbuka dan kita semua mau duduk bersama dan bicara sejujur-jujurnya.

Sekelam apapun, kenyataan itu tetaplah bagian dari sejarah kita. Apakah hari-hari akan jadi lebih baik, matahari bersinar lebih cerah dan kehidupan akan jadi lebih baik setelahnya? Tidak ada yang bisa menjamin.

Tapi saya selalu meyakini, perubahan akan membawa kita pada bab-bab baru yang nyata dan terang. Berjalan dalam terang, kita akan menemukan pilihan-pilihan dalam keadaan lapang, tanpa rasa takut dan curiga.

*Penulis saat ini sedang berjuang untuk merampungkan semester terakhir untuk mendapatkan gelar Master of Asia-Pacific Studies di Australian National University di Canberra.

  • *Interpretasi utama mengenai malam kelam tersebut setidaknya mencakup narasi TNI (yang kita semua belajar di sekolah dasar di era Orde Baru) mengenai kudeta gagal yang diinisiasi PKI; interpretasi lain bahwa kudeta tersebut diinisiasi oleh salah satu faksi PKI — pecahan lainnya, juga Sukarno, tidak mengetahui rencana kudeta; kemudian bahwa Suharto, yang kala itu menjabat sebagai Pangkostrad, mengetahui adanya rencana tersebut (perlu lebih banyak bukti untuk menyebut bahwa ia merupakan bagian aktif dari rencana kudeta) tetapi sengaja membiarkan upaya kudeta dijalankan. Interpretasi terakhir didasarkan pada beberapa keganjilan yang belum dapat dijawab secara definitif, termasuk fakta bahwa Suharto satu-satunya petinggi TNI yang bebas dari penculikan dan pembantaian. Malam 30 September 1965 tetap menjadi misteri bahkan di kalangan akademik karena banyak bukti sudah hilang (atau dihilangkan) dan saksi-saksi kunci sudah meninggal dunia.

--

--

Sita Dewi
INGAT 65

An ordinary woman. A proud mother of a healthy and adorable boy.