Merawat Ingatan Para Penyintas

Peristiwa 65 menyimpan banyak cerita, dan entah kenapa saya selalu tertarik, meski tidak terlahir pada jaman itu tentunya. Film, buku, dan diskusi dengan siapapun adalah cara saya untuk mencari sekumpulan cerita tentang peristiwa 65. Dan kali ini, saya sekali lagi berhasil mendapat sebagian cerita tersebut, dengan cara lain.

Geril Dwira
INGAT 65
7 min readSep 29, 2016

--

Foto: Tampak Depan Panti 65/ dokumentasi pribadi

Pada suatu siang yang cerah, pertengahan Agustus 2016, saya bersama kawan-kawan dari Sekolah Hak Asasi Manusia untuk Mahasiswa (SeHAMA) bentukan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), berkesempatan untuk berkunjung ke sebuah Panti Jompo di salah satu sisi Kota Jakarta.

Panti Jompo itu bernama Waluya Sejati Abadi, berada di Jalan Kramat 5, Kelurahan Kenari, Senen, Jakarta Pusat. Kawan-kawan KontraS biasa menyebutnya dengan: Panti 65. Ya, Panti Jompo tersebut sebagian besar memang dihuni oleh orang-orang yang memiliki pengalaman langsung terkait peristiwa besar di tahun 1965 silam.

Seorang pria paruh baya menyambut kami dengan hangat, sesaat setelah saya dan kawan-kawan lainnya tiba di Panti 65. “Mari masuk, selamat datang di rumah kami,” ujar pria tersebut, yang belakangan saya kenal dengan nama Pak Tumiso (76).

Kami berkumpul di ruang tengah Panti 65, di ruangan itu pula kami bertemu dengan tiga orang penghuni lainnya, Bu Sri Suprapti (87), Bu Sumirah (80), dan Pak Rusdiono (85). Tak lama setelah saling memperkenalkan diri, kami pun segera terlibat dalam sebuah cerita yang cukup panjang, tentang peristiwa 65.

Cerita berawal dari Bu Sri Suprapti (87), seorang ibu rumah tangga yang sempat ditangkap karena bersuamikan seorang aktivis buruh.

“Saya korban 65, sebenarnya saya tidak tau apa apa, karna suami saya belum tertangkap, saya dijadikan jaminan,” ujar Bu Sri, sambil mengingat-ingat kisah kelam yang dialaminya.

Bu Sri yang kini menjadi penghuni tetap Panti 65 juga menceritakan kisah perjalanannya sebelum tertangkap. Kala itu, ia bersama dua orang anak angkatnya yang berumur 5 dan 9 tahun dan ditemani 2 orang dari Pemuda Rakyat, sempat berupaya menyembunyikan diri dengan masuk ke dalam hutan.

Masa-masa sulit serta rasa takut yang menyelimuti Bu Sri dan dua orang anaknya, membuat mereka tinggal di dalam hutan hingga 115 hari. Perbekalan berupa nasi kering, kecap, dan garam pun habis, dan memaksa mereka memakan apapun yang ada di dalam hutan demi bertahan hidup.

Ketakutan Bu Sri semakin bertambah, kala 2 orang Pemuda Rakyat yang mengawal dan bertugas mencari berita terkait situasi saat itu hilang tak kembali bersama mereka. Ia bersama 2 orang anaknya pun memutuskan untuk keluar dari hutan dan kembali ke kota.

“Saya sempat putus asa, kemudian duduk di rel kereta. Tapi saat itu ada bapak tua pulang dari ladang, saya diselamatkan, dan tinggal di rumahnya. Namun saya memutuskan untuk pindah, sebab tahu keselamatan bapak tua itu”.

Di perjalanan, sebab tak lagi ada tempat berlindung, akhirnya Bu Sri tertangkap oleh para algojo berseragam loreng-jingga. Sang suami tercinta pun tak lama ikut tertangkap, dengan masa hukuman 20 tahun penjara.

Foto: (kiri-kanan) Pak Tumiso, Bu Sri Suprapti, Pak Rusdiono/dokumentasi pribadi

Masa sulit berlanjut di kehidupan dalam penjara, Bu Sri ditempatkan di dalam sebuah kamar berukuran kecil berisikan 70 orang wanita yang senasib dengannya. Para tahanan pun tidak diijinkan untuk menerima tamu dari luar.

“Nyari makan dari sampahan, kemudian dimasak lagi pakai lilin untuk makan kita bersama. Bisa merasakan daging dan nasi yang bersih itu kalau dapat dari gereja. Satu tahun 3 kali”.

Berbagai siksaan fisik turut dialami oleh Bu Sri dan suami semasa di penjara. Hingga pada akhirnya, Agustus 1975, dirinya bisa menghirup udara bebas, lebih dulu daripada sang suami yang kini telah berpulang mendahuluinya.

“Setelah bebas, saya pulang kampung. Saya ingin pulang dan akhirnya bisa jumpa dengan ibu dan bapak saya walaupun hanya tinggal kuburannya saja. Anak cucu masih ingat dan kumpul semua. Alhamdulillah, saya masih kuat sampai sekarang,” ujar Bu Sri, menutup ceritanya kepada kami.

Kudeta dan Pulau Buru

Cerita berlanjut pada Pak Rusdiono (85), seorang guru asal Solo. Pak Rusdi mengaku hidup dengan didikan sang kakek yang merupakan anggota aktif dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Di awal masa kemerdekaan, dirinya turut angkat senjata dengan masuk menjadi tentara dan berjuang untuk merebut kemerdekaan.

Tak lama menjadi tentara, Pak Rusdi memutuskan untuk bekerja sebagai guru di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan. Namun, sekitar pada tahun 1968, dirinya ditangkap karena dianggap seorang militan.

Pak Rusdi bercerita, peristiwa yang terjadi pada tahun 1965 tak lepas dari peran serta sang presiden ke-2 Indonesia, Soeharto. Dirinya menyebutkan, peristiwa tersebut merupakan kudeta untuk menggulingkan Soekarno yang dilakukan oleh Soeharto, serta melibatkan pihak asing.

​Foto: Pak Tumiso/ dokumentasi pribadi

Pak Tumiso (76), pria yang telah menyambut kami diawal pertemuan, juga menuturkan hal yang sama. Katanya, gaya kepemimpinan Soekarno yang anti asing dan cenderung lebih dekat dengan partai komunis saat itu, dianggap membuat banyak pihak menjadi tidak menyukainya. Oleh sebab itu, banyak pihak baik dari dalam maupun luar negeri, yang menginginkan agar Soekarno lengser dari jabatan kepemimpinan Indonesia.

“Di dalam negeri, PKI dukung Soekarno. Menumpas PKI adalah sama dengan menumpas Soekarno. Seperti karambol, sasarannya tidak langsung. Peristiwa G30S, konspirasi Amerika dan dalam negeri sendiri,” jelas Pak Tumiso.

Pak Rusdiono dan Pak Tumiso mengalami hal yang sama. Keduanya sempat merasakan kelamnya berada di sebuah pulau pengasingan di Provinsi Maluku, Pulau Buru.

Dalam sebuah wawancara yang dilakukan KontraS, Pak Rusdiono tercatat menghabiskan waktu 10 tahun di Pulau Buru, hingga akhirnya dibebaskan pada tahun 1979.

“Di sana kaki saya bengkak dikarenakan kekurangan vitamin. Saya tidak bisa bekerja. Kekurangan vitamin ini disebabkan saya hanya memakan singkong dan sagu yang telah ditanam sendiri. Sakit itu membuat saya menerima tendangan bertubi-tubi dari petugas,” ingat Pak Rusdiono.

Sejak tahun 1980 hingga 2005, Pak Rusdiono tinggal di Surabaya. Di sana, ia sempat berpura-pura menjadi pensiunan tentara dengan cara selalu mengenakan pakaian menyerupai seragam tentara. Dengan cara itu, ia merasa tidak diremehkan orang, sebagaimana halnya jika ia diketahui sebagai eks tapol.

Tak jauh berbeda, Pak Tumiso juga bercerita tentang masa kelamnya saat menjadi seorang tahanan.

Foto: Kiri: Foto Tumiso dan kawannya saat bertemu dengan Gus Dur. Kanan: Foto Tumiso saat berteater di Pulau Buru/ dokumentasi pribadi

“Saya ditangkap sepulang kuliah, di tahanan militer. Semua tahanan di Indonesia itu sengsara. Di dalam nasi itu ada pasir, kerikil, sengaja agar kita mati, mati tidak dibunuh tapi sakit perut. Disetrum. Kuku kaki itu bisa berkurang satu atau tiga. Disiksa luar biasa, digunduli, ditelanjangi,” kenang Pak Tumiso.

Selain berbagai siksaan fisik dan mental yang diterimanya, Pak Tumiso juga memiliki kenangan tersendiri saat menjadi tahanan di Pulau Buru. Di sana, ia menjadi sahabat dari salah satu sastrawan legendaris Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

Pak Tumiso adalah orang yang berhasil menyelundupkan karya-karya besar Pram yang dilahirkan semasa dalam tahanan. Ia bahkan harus berpura-pura sakit agar karung bawaannya yang berisi naskah novel sang sahabat lolos dari pemeriksaan petugas setelah keduanya dibebaskan dalam penjara.

Berpura-pura sakit bahkan dilakukan 2 kali olehnya, saat di penjara Magelang dan Semarang, Jawa Tengah. Meski sempat dicurigai oleh petugas, hal itu membuatnya tidak jadi digeledah dan sukses membawa karya besar sang sahabat.

Naskah hasil selundupan itulah yang kemudian diserahkan kepada penerbit Hasta Mitra, yang didirikan oleh Pramoedya, Hasjim Rachman, dan Joesoef Isak. Naskah itu lalu dicetak dan dipublikasikan menjadi beberapa buku: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, Arus Balik, Mangir, dan Arok Dedes, dan bisa dinikmati hingga kini.

Menolak Lupa

Seorang pria paruh baya lainnya turun dari lantai 2 panti saat kami tengah asik mengumpulkan banyak cerita tentang peristiwa 65. Pria berbaju putih itu melempar senyum seraya berkata, “Aku ngga jadi pergi ke dokter hari ini. Aku di sini saja berkumpul bersama kalian,” katanya. Ia pun bergabung untuk ikut berbagi cerita.

Pria itu adalah Pak Rusidi (89), seorang sarjana pertanian jebolan salah satu kampus di Australia. Namun sayang, niat baik untuk mendarmabaktikan ilmu yang didapatnya malah berbuah penangkapan terhadap dirinya saat kembali ke tanah air.

“Saya ceritanya masih polos waktu itu. Akhir 79, hari jumat, saya dipanggil untuk dimintai keterangan, sudah itu saya sadar mau diperiksa. Saya dituduh PKI. Saya mengalami disetrum, saya disuruh mengaku. Saya bilang, ‘saya ga tahu’,” ujar Pak Rusidi.

Foto: Bu Sumirah dan Pak Rusidi/ dokumentasi pribadi

Di tengah cerita, salah seorang kawan saya sempat bertanya kepada Pak Rusidi, “Apakah hari ini bapak masih dendam?”

Menanggapi hal tersebut, Pak Rusidi kembali tersenyum lalu berkata, “Yang menghilangkan trauma saya adalah, waktu itu berjalan, benda itu bergerak, kadang berubah, apa iya mau begini terus? Lagipula, namanya didunia tidak ada yang langgeng. Dikatakan dendam juga nggak, orang saya beragama, tapi melupakan itu yang masih susah”.

Peristiwa 65 seperti menyisakan banyak pertanyaan yang tak kunjung selesai terjawab. Seperti soal kejadian yang sebenarnya, pelaku, dan tentu saja, korban.

Tumiso, Sri Suprapti, Sumirah, Rusdiono, dan Rusidi adalah sebagian kecil dari para penyintas yang hingga kini masih merawat ingatannya terkait peristiwa kelam di masa lalu. Dari orang seperti mereka pula sisi lain dari cerita di balik peristiwa 65 dapat dikumpulkan, untuk kemudian menjadi bukti sejarah baru.

Cerita saya di Panti 65 ini pun ditutup dengan ungkapan Pak Rusidi yang berkata, “Semangat berjuang, jangan putus asa. Jangan menyerah sebelum bertempur, saya mulai kecil itu kelilingi kesusahan, toh pada akhirnya saya mencapai tujuan saya. Fokus kesitu dengan semangat juang. Kemerdekaan itu suatu hal yang bukan main. Kesininya bisa salah, tapi tanah air tidak akan bisa salah”.

--

--

Geril Dwira
INGAT 65

Jalan kaki di akhir pekan demi menjaga kewarasan di mamakota.