Ming adalah Kita

Elma Adisya
INGAT 65
Published in
4 min readAug 24, 2017
Sebuah adegan dari film Nyanyian Sunyi Kembang-Kembang Genjer oleh Faiza Mardzoeki. Foto oleh Elma Adisya

“Ma.., emang ada ya lagu yang terlarang buat dinyanyiin?”

Aku ingat betul percakapan di siang hari bersama adik ketiga Mama, yang biasa dipanggil Mama juga.

“Ada … namanya lagu Genjer-genjer. Itu lagu terlarang, gak boleh kita nyanyiin. Itu lagu yang dinyanyiin sama Gerwani [Gerakan Wanita Indonesia], Gerwani itu jahat.”

Percakapan kami berhenti sampai di situ. Tante tidak ingin membicarakan hal itu lagi dan meninggalkanku tanda tanya besar. Genjer-genjer itu apa? Gerwani itu apa?

Pertanyaan itu terkubur hingga aku beranjak masuk kuliah. Akhir pekan kemarin, di acara pre-event Feminist Fest Indonesia 2017, aku menyaksikan film Nyanyian Sunyi Kembang-Kembang Genjer. Tiba-tiba, aku kembali teringat pada percakapan itu.

Film besutan Faiza Mardzoeki itu menceritakan tentang kisah Minghayati (Heliana Sinaga), seorang cucu dari Eyang Nini (Pipien Putry). Nini adalah salah satu anggota Gerwani yang pada 1965 dipenjara di bawah perintah Jenderal Suharto.

‘Ming adalah Saya,” Kalimat itu membuka serangkaian kisah masa lalu Eyang Nini di film yang diambil dari pertunjukan langsung drama Kembang Genjer itu.

Tidak hanya Eyang Nini yang bercerita mengenai masa lalu yang masih kelu untuk dikisahkan kembali itu, ada Eyang Sumilah (Ruth Marini), Eyang Sulahana (Niniek L Karim), Eyang Makmin (Irawati), dan Eyang Tarwih (Ani Surestu). Keempatnya membantu Eyang Nini menceritakan betapa kejam penindasan yang mereka terima saat itu.

Yang mereka hadapi memang sangat-sangat berat, sampai-sampai tak terbayangkan oleh nalar kita. Akan tetapi, saat menceritakan pengalaman itu, alih-alih bersedih, mereka bercerita sambil tersenyum, bahkan diselingi dengan guyonan. Aku sendiri tidak bisa berkata apa-apa saat menonton selain kagum. Eyang-Eyang mulai bercerita mengenai pergerakan yang mereka lakukan saat bergabung dengan Gerwani.

Tentang film yang baru aku tonton ini, menurut sang sutradara, Faiza, ia melakukan riset panjang pada 30 orang penyintas perempuan tragedi 1965.

Semua dialog yang berada dalam film ini, tidak hanya menampar pihak pemerintah saja, tapi juga untukku sebagai generasi muda. Aku sendiri kadang takut bertanya tentang apa yang terjadi di tahun yang kelam itu.

Tabu. Ketabuan itu sebenarnya dibangun oleh orde baru dan sukses membuat generasiku takut untuk bertanya, takut dimarahi, takut di-drop out dari sekolah atau kampus, takut ini, takut itu.

Persis seperti Ming yang ditanya oleh Eyang Nini, apakah ia masih takut untuk menyebut kata Gerwani? Ming dengan jujur mengatakan, ia sebenarnya masih merasa aneh saat kata itu diucapkan. Ketakutan Ming dan ketakutanku mirip. Ia muncul karena kami berpikir kami sendirian. Setelah melihat film ini, ternyata aku bukanlah satu-satunya generasi muda yang mempertanyakan halaman yang hilang itu.

Kemudian, apa saja yang sebenarnya dilakukan Gerwani? menghapus buta huruf, mengusir hama tikus di ladang, dan memperjuangkan batas umur pernikahan. Tunggu dulu… lalu darimana datangnya label jahat itu jika kegiatannya adalah penghapusan buta huruf dan pengusiran hama tikus di ladang?

Eyang Nini sedang reuni dengan kawan-kawannya semasa perjuangan di Gerwani dalam alah satu adegan dari film Nyanyian Sunyi Kembang-Kembang Genjer. Foto oleh IPT 1965

Ini sangat berbeda dari apa yang diceritakan oleh Tanteku. Saat itu, aku masih bingung karena ada beberapa hal yang tidak disebut di buku sejarah yang aku baca saat di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas.

Dari situ, aku benar-benar sadar bahwa aku sedang berada di dalam lorong panjang penuh tanda tanya tentang pelajaran sejarah yang aku terima di bangku sekolah, tentang gelapnya peristiwa 1965 yang tidak pernah dijelaskan secara utuh, bahkan cenderung diputarbalikkan. Jasa-jasa Gerwani dibumihanguskan tanpa sebab dan dihilangkan dalam buku sejarah!

Penghancuran Gerwani saat itu, menurut Faiza, menjadi salah satu penyebab kemunduran terbesar perempuan Indonesia saat ini. Aku pun sadar satu hal, ketika para perempuan muda yang tergabung dalam Gerwani saat itu bersemangat dalam berpolitik dan memperbaiki kesejahteraan perempuan, sebagian generasi muda Indonesia saat ini hanya sibuk memikirkan kapan mereka bisa menikah muda.

Lalu mengapa anak muda masih takut untuk bertanya jika Eyang-Eyang ini bisa menceritakan dengan sangat berani bahkan sambil tersenyum? Padahal, kita tidak sendiri.

Di setiap pelosok negeri ini bahkan mungkin di luar Indonesia, banyak sekali anak muda seperti Ming yang juga mempertanyakan masa lalu yang kelam itu. Ketika buku sejarah dan guru sejarah di sekolah kamu tidak bisa memuaskan rasa penasaranmu, kamu sebenarnya bisa bertanya pada generasi tua atau pun pada peneliti sejarah. Aku yakin mereka tidak segan memberitahumu tentang bagaimana sebenarnya bangsa Indonesia dibangun, dengan mengorbankan hampir dua juta orang yang dituduh komunis, pelacur.

Tidak cukup dengan bertanya saja, kita pun juga harus melengkapinya dengan banyak membaca buku-buku lain. Mulailah mencari literatur-literatur terkait mengenai peristiwa 1965.

Kalau kita masih melanggengkan kebohongan ini, maka bangsa ini tidak akan pernah dewasa dalam menghadapi suatu masalah di masa mendatang. Sejarah ada untuk diambil pelajaran. Ketika sejarah itu sendiri dipenuhi dengan kebohongan, bagaimana bangsa dapat berkembang.

Seperti kata Eyang Nini, “Ming, sejarah itu tidak selalu manis, tapi sejarah sekelam apapun kalau kita bersedia mengenali dan mempelajarinya dengan kejujuran, mungkin bisa membantu memahami hidup kita.”

Seperti yang aku alami saat ini, setelah menonton film ini dan membaca tentang peristiwa 1965, maka Gerwani dan lagu Genjer-Genjer tidak lagi membuatku takut. Aku juga lega karena tidak lagi ikut melanggengkan kebohongan yang diturunkan orde baru dari generasi ke generasi melalui buku-buku sejarah di sekolah.

Dan aku tahu, aku bukanlah satu-satunya Ming di dunia ini. Melalui tulisan ini semoga Ming-Ming lain akan bermunculan lebih banyak lagi dan bersatu membantu generasi yang siap ikut andil meluruskan sejarah bangsa ini.

Seperti kata Faiza,”Kita semua adalah Ming, dan kita tidak sendiri”.

--

--