Nyaris Tak Ada 65’ di Sudut Kampung Kota

Yogi Esa
INGAT 65
Published in
4 min readJul 26, 2019

Seperti mayoritas yang lahir di tahun 90an pada umumnya, saluran utama informasi mengenai tragedi 65 dengan rutin bisa dijumpai — setahun sekali — melalui film Pengkhianatan G30S/PKI yang ditayangkan tiap malam 30 September di TVRI.

Sebuah film yang sarat adegan kekerasan, dan jelas akan berdampak pada psikologis anak belia setelah menontonnya.

Selain itu, guyonan ala kehidupan kampung kota (baca: gang), serta luapan emosi seseorang, menjadi referensi lain — yang tentu keliru — mengenai kiri.

“Euhhh.. Dasar komunis!”

Begitulah kira-kira ungkapan emosi orang dewasa terhadap sesamanya yang dirasa berbeda, di masa kecil saya. Tanpa rasa ingin tahu lebih, saya cukup diam saja tentunya.

Namun seiring berjalannya waktu, barang tentu terjadi transformasi dalam diri. Adalah berkat andil seorang nenek yang melihat potensi dan memberi kesempatan untuk menekuni apa yang memang sudah saya impikan sejak dini: melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Suatu langkah yang membuat diri sedikit bisa memahami tentang apa yang kerap dianggap sebagai momok menakutkan bagi khalayak, khususnya penguasa.

Nenek adalah bagian penting dari masa kecil saya. Kenangan bersamanya tak sedikit pun bisa lupa. Saya ingat persis bagaimana dulu kami sering menghabiskan waktu. Kisah perjalanan hidupnya, cerita sekolah anak-anaknya, hingga berbagi perspektif soal apa saja turut mewarnai kehidupan kami di ruang tengah rumah — di sudut kampung kota yang kerap dijuluki Parijs van Djava. Untuk yang terakhir ini, nenek memang paling tahu caranya bagaimana menjaga kehangatan keluarga meskipun dengan cara yang sederhana.

Pada masa hidupnya, beliau selalu bersemangat saat menceritakan masa lalunya yang dipenuhi kisah tentang kegetiran. Kala itu, kampung tempat tinggal orang tuanya kerap disatroni oleh sekelompok orang yang sering disebutnya gerombolan.

Beliau berkisah, setiap hari di tahun-tahun genting itu, keheningan cukup akrab menemani kesehariannya. Selain karena sedikit kawan seumurnya yang berani keluar rumah, pun yang tersisa hanya orang tua dan anak kecil saja, karena para pemuda takut dibawa paksa gerombolan untuk turut dalam barisannya, sementara para gadis — terutama yang memiliki wajah cantik, takut diculik. Dan sesuai aturan yang mungkin terpaksa disepakati untuk memenuhi kebutuhan dasar gerombolan itu, hampir setiap malam, di teras rumahnya, beliau diharuskan menyimpan beras, selain pakaian bekas. Mungkin, pengalaman traumatis inilah yang membuat dirinya kukuh untuk mengikuti serangkaian eksodus massal warga Garut ke Bandung. Sebuah momentum yang pada akhirnya mempertemukan dengan seorang insan yang menemani sisa hidupnya: almarhum kakek saya.

Nenek adalah sosok yang sangat bersahaja. Tipikal insan yang lemah lembut terhadap sesama, yang juga tak abai pada hal yang fundamental dalam mengarungi kehidupan, yakni membaca. Terbukti setelah hijrah ke Bandung, salah satu hal yang dilakukannya saat itu adalah memutuskan untuk jadi pelanggan beberapa harian surat kabar, hingga akhir hayatnya. Ada pun salah satu warisan yang bermanfaat darinya adalah rasa skeptis pada kisah sejarah “resmi” yang hingga saat ini mungkin masih mendominasi benak masyarakat kita.

Dan diantara sekian banyak bahasan sejarah yang kerap didiskusikan, ternyata ada satu topik yang alpa: peristiwa kelam 65 dan serentetan dampak yang terjadi setelahnya.

Mengapa peristiwa 65 luput dalam amatannya? Mengapa peristiwa 65 (nyaris) tak ada di sekitarnya, di sudut kampung kota?

Salah satu jawabannya baru saya ketahui setelah menyelesaikan kewajiban studi di SMA.

Menurut catatan historis, hal ini dipengaruhi oleh Mayjen Ibrahim Adjie yang pada saat itu sudah lebih dulu mencegah kekerasan terhadap orang-orang kiri. Meski sangat anti-kiri, tapi nyatanya kepatuhan beliau terhadap Bung Karno lebih mendominasi.

“ ..Saya tidak ingin ada pembantaian di Jawa barat, karena saya merasa, bagaimanapun sebagian dari mereka adalah orang kecil. Akan mengerikan kalau mereka dibunuh..” ujarnya, dikutip dari majalah historia.

Satu-satunya pengecualian di Jawa barat adalah wilayah pesisir utara, di daerah yang secara ekonomi agak sedikit di bawah rata-rata, PKI cukup kuat disana.

Selebihnya, dan sependek pengetahuan saya hingga saat ini, Jawa Barat relatif aman, tak ada kekerasan massal terkait peristiwa 65; yang pada kenyatannya, di lain tempat, pembantaian orang kiri adalah kisah jutaan rakyat Indonesia lain yang mayoritas tingkat sosialnya menengah kebawah. Mereka yang tidak memahami betul apa yang melandasi kekerasan terhadapnya bisa terjadi.

Hingga saya mulai menyadari betapa pentingnya literasi kiri bagi kawan segenerasi.

Saat memasuki jenjang perkuliahan, saya mulai bertautan dengan berbagai literatur alternatif — yang oleh beberapa kawan dianggap utopis, karena bersebrangan dengan gagasan konservatif yang sedari dulu (secara tidak sadar, mungkin) telah tertanam dalam diri.

Buku-buku terbitan marjin kiri, setidaknya menurut saya pribadi, sungguh memperkaya perspektif dan menjadi pijakan awal yang penting untuk menelusuri secara utuh sejarah bangsa sendiri.

Persentuhan dengan beragam historiografi lainnya sedikit banyak mengubah pandangan saya dalam memaknai kiri: faktanya terdapat sebuah etos yang mengandung altruistik di awal abad-20, yang saat itu berhadap-hadapan dengan kenyataan egoisme dalam keseharian bangsa Eropa di koloni.

Suatu hal yang sepertinya layak direnungkan jika tak bisa digarisbawahi, mengingat ada relevansinya dengan masa kini. Semakin tipisnya nilai gotong-royong dalam diri muda-mudi yang mayoritas kini lebih mengedepankan hasrat pribadi bisa dijadikan bukti.

Selain itu, mahakarya beberapa peneliti Cornell yang ditulis secara rinci dan mendalam oleh profesor George Kahin, Benedict Anderson, Ruth T. McVey (1965) tentang kemunculan gerakan kiri di Indonesia dan Geoffrey B. Robinson (2018) musim menjagal, turut membantu meningkatkan pemahaman saya mengenai apa yang kerap disebut hantu oleh rezim orde baru.

Ada pula beberapa literatur terbitan Ultimus Bandung yang memberi ruang bagi para eks-tapol orde baru menuliskan kisah getirnya yang dipaksa menjalani hidup normal dalam keadaan abnormal di tanah pengasingan.

Akhirul kalam, semoga saudara sesama kita yang telah dirampas haknya, lekas mendapatkan perhatian dan perlindungan dari negara. Setidaknya, mereka layak mendapat atensi kemanusiaan kita — yang sekaligus harus terus berupaya mencegah potensi kekerasan serupa terulang di masa yang akan datang.

Dan selain mengamati kemajuan tindakan para ahli yang terus mendorong tindakan yudisial sambil mendukung inisiatif serius ke arah kebenaran dan rekonsiliasi, sebuah tindakan kecil yang bisa dilakukan adalah terus membaca (dan berbagi bacaan) sebisanya, semampu saya. Selain berupaya — meski cukup sulit — melakukan hal yang mendorong kawan sekeliling untuk memperlakukan sesama sebagaimana mestinya.

--

--