Penyesalan yang terlambat

Yudi B
INGAT 65
Published in
5 min readNov 2, 2016

Selama bertahun-tahun, tidak pernah saya pertanyakan penjelasan sejarah yang mereka sampaikan. Saya juga tidak banyak memikirkan peristiwa 1965–66. Bagi saya, semuanya terasa seperti cerita-cerita usang dari masa lalu…
— Tahun yang Tak Pernah Berakhir, hal. 25

Di peringatan G30S lalu, Saya ingat pada seorang nenek di masa kecil saya. (Source: Christian Newman/unsplash.com/@ismaelnieto)

Menjelang peringatan G30S yang lalu, halaman utama lini massa media sosial saya dipenuhi oleh berbagai artikel yang membahas peristiwa ini. Larut dalam keriuhan, saya memutuskan membaca buku yang membahas topik tersebut.

Saya memilih membaca buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir, sebuah kumpulan esai sejarah mengenai kesaksian para penyintas korban peristiwa 1965 yang disunting oleh peneliti John Roosa, Ayu Ratih, dan Hilmar Farid, yang sekarang menjabat direktur jenderal kebudayaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Saya membaca buku ini dalam format digital. Buku-buku yang ‘vulgar’ namun jujur menceritakan kengerian 1965, sangat sulit ditemukan di pasaran dalam bentuk cetakan asli. Terlebih untuk buku ini. Buku Dalih Pembunuhan Massal mengenai G30S karya John Rossa juga dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung.

Membaca Tahun yang Tak Pernah Berakhir, langsung mengingatkan saya pada salah satu penyesalan terbesar saya di masa kanak-kanak lalu.

Di sebuah desa di Jawa Barat, tempat ibu saya dibesarkan, ada seorang nenek yang rumahnya berada di tepi desa. Meski rumah tersebut bisa dikatakan berada di antara rumah penduduk sekitar, tetapi letaknya di paling pinggir di desa.

Sebagaimana anak-anak SD lainnya, saya sering bermain petak umpat dan bersembunyi di pekarangan rumah orang supaya tidak mudah ditemukan oleh kawan-kawan sepermainan. Suatu hari saya memilih rumah si nenek itu. Saya menunggu hampir sejam lebih sampai mulai bosan, tak ada teman-teman saya yang mencari saya ke sana. Mungkin mereka memang tak merindukan saya atau malah tak ada yang merasa kehilangan saya, haha, tapi tentu saja di masa-masa itu, pikiran saya belum sampai ke sana.

Selama bersembunyi di pekarangan si nenek, saya diajak mengobrol olehnya, bahkan diberi uang jajan dan ubi rebus sehingga saya tak merasa terlalu kebosanan. Saya baru izin pamit karena sudah hampir sore, karena akan menonton serial TV favorit saya, Kesatria Baja Hitam.

Ketika berkumpul kembali dengan teman-teman saya, mereka mengumpati saya karena dituduh curang saat main petak umpat. Saya dituduh bersembunyi telalu jauh. Tentu saja saya membela diri dan mengatakan bahwa saya hanya bersembunyi di pekarangan si nenek yang sebenarnya tak terlalu jauh dari lokasi tiang tempat Si Kucing menutup mata.

Reaksi teman-teman saya membuat saya heran dan terkejut. Paras mereka mendadak pucat, menatap saya ngeri tak percaya seolah saya berubah menjadi monster di serial Kesatria Baja Hitam.

Hening beberapa jeda, lalu ledakan ejekan tak berkesudahan setelahnya. Teman saya dengan bersemangat, mengatakan saya akan mendapatkan kesialan karena telah mendatangi rumah seorang nenek dukun ilmu hitam yang kejam. Keluarga saya memang baru berpindah belum lama ke sana. Saya yang terpengaruh oleh perkataan teman-teman, seketika merasa lemas takut jika kutukan akan datang. Saking stressnya, saya menonton acara serial TV Kesatria Baja Hitam dengan perasaan gundah dan tak nikmat. Padahal masa itu adalah masa dimana serial itu merupakan acara TV terkeren di mata saya dan amat sangat saya nanti tiap harinya.

Di rumah, saya menceritakan semua ketakutan dan kekhawatiran saya pada ayah saya, dan bertanya siapa sosok nenek dukun ilmu hitam tersebut. Ayah saya malah tertawa. Dengan singkat beliau mengatakan bahwa nenek tersebut bukan dukun aliran ilmu hitam yang kejam sebagaimana yang disebutkan oleh teman-teman saya, dia hanya seorang anggota PKI.

Meski niat ayah saya ingin menenangkan, jawaban tersebut justru membuat saya lebih takut lagi. Ayah memang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuat saya tak tidur tenang malamnya. Uang jajan pemberian si nenek, segera saya kubur di belakang rumah dengan rapalan doa banyak-banyak agar kesialan tak menghampiri saya.

Ya, zaman itu, kata PKI–terlebih di mata anak-anak seperti saya yang hanya mendapatkan keterangan dari buku pelajaran sekolah dan film “Pengkhianatan G30S/PKI” — sudah cukup untuk membuat saya ketakutan dan berpikiran buruk macam-macam kepada orang yang dicap PKI.

Saya tak pernah mampir ke rumah si nenek lagi meski dia suka memanggil dan mengundang datang ke rumahnya saat saya sendirian lewat depan rumahnya. Satu-satunya saat masuk ke rumah dia adalah bersama ayah. Itupun saya bersembunyi terus di belakang punggung ayah dan menjawab gugup singkat jika ditanya. Kalau sedang sendirian, saya suka berjalan lebih cepat jika lewat rumah tersebut.

Setelah referensi bacaan bertambah, usia saya juga semakin dewasa dengan cerita tentang si nenek semakin terang, tahulah saya bahwa si nenek adalah seorang janda. Suaminya dituduh simpatisan PKI dan tak pernah pulang sesudah anggota TNI menjemputnya suatu malam. Si nenek yang sebetulnya hanya guru SD biasa, sejak saat itu semakin disisihkan dari pergaulan masyarakat dan timbullah berbagai mitos menakutkan tentangnya, agar kami anak-anak tidak ‘terpengaruh’ oleh pikiran hitam PKI-nya.

Dan tentu saja kita semua tahu, mitos tersebut, si nenek tak punya salah (setidaknya salah dan dosa secara langsung kepada masyarakat). Dulu saya tak habis pikir mengapa ayah malah dekat dengan si nenek padahal si nenek itu ‘jahat’. Kata ‘komunis’ dan ‘jahat’ kadang menjadi sinonim dan saling menggantikan di benak saya saat itu. Pikiran naif saya tak bisa menalar mengapa ayah saya atau beberapa orang lainnya yang jumlahnya tak banyak, bisa bicara akrab dengan si nenek.

Sayang, kesadaran saya muncul terlambat. Si nenek keburu meninggal sebelum saya sadar bahwa sesungguhnya dia adalah korban. Sebagai anak-anak, saya malah menjadi pelaku, dengan ikut berburuk sangka kepada si nenek.

Si nenek meninggal ketika saya belum sadar tentang makna dosa, penghakiman, kesadaran, dan syak wasangka serta efek buruknya yang membakar. Membakar nurani kami untuk bersimpati, dan membakar logika kami untuk bertoleransi.

Si nenek meninggal sesudah era reformasi, tetapi tak ada reformasi yang sampai ke desa kami yang mengubah cara berpikir kami kepada si nenek. Beliau meninggal dalam kesendirian dan kesepian, bahkan orang-orang satu desa terlalu takut untuk menguburkannya dan mendoakannya. Hanya ayah dan pemuka agama desa saja yang berani mengurus jenazahnya. Saya masih belum lulus SD saat itu.

Ketika akhirnya saya menyadari kondisi sesungguhnya, semuanya terasa sangat terlambat, saya selalu diliputi perasaan bersalah pada si nenek. Saya ingin meminta maaf pada si nenek, atas dosa-dosa saya yang telah menuduh dan menghakiminya, atas dosa kami sebagai masyarakat yang telah berburuk sangka padanya. Dosa atas ketidaktahuan saya. Dosa atas ketidakmauan saya dalam mencari tahu kebenaran sesungguhnya. Saya tak sempat meminta maaf padanya, malah ikut berprasangka bahkan pada hari kematiannya.

Membaca buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir, tetiba membangkitkan kenangan dan penyesalan saya pada si nenek. Dan secara menyakitkan, juga menyadarkan saya bahwa belasan tahun setelah kematian si nenek, tak banyak hal berubah di negara ini. Dosa dan prasangka kita masih tetap bercokol dan yang lebih buruk lagi malah semakin berkembang karena sikap keras kepala dan sikap bebal sebagian masyarakatnya.

Esai ini diadaptasi dari esai penulis berjudul “Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65 (John Roosa [Ed.])” yang terbit di blog penulis. Baca esai asli di sini.

--

--

Yudi B
INGAT 65
Writer for

Two things that I do: reading the books while hiking the mountain, and hiking the mountain of books while reading