Pertemuan-pertemuan yang menyelamatkan

A story of the journalist as a young woman, when she saved herself from the oblivion of Floating Mass 2.0

Evi Mariani
INGAT 65
6 min readJun 9, 2016

--

Dari remaja culun berponi saya belajar ideologi dari teman-teman di masa kuliah. Awalnya untuk skripsi saya meneliti surat kabar lama, termasuk Harian Rakjat milik Partai Komunis Indonesia. Foto: Evi Mariani.

Dua puluh dua tahun yang lalu saya adalah remaja berponi dan culun yang tak paham politik dan sejarah di luar yang diajarkan propaganda Orde Baru di SMA St. Aloysius, Bandung.

Saya keturunan Tionghoa yang tidak pernah mendengar nama Soe Hok Gie satu kali pun. Saya nyaris kehilangan teman di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), namanya Nuraini Juliastuti dari Surabaya, yang bersumpah tidak mau berteman dengan orang yang tak tahu Hok Gie. Saya ga ngaku sama dia tentunya. Sampai sekarang kami masih berteman baik.

Waktu penataran Pancasila (P4) di UGM di minggu-minggu awal kuliah, saya ingat berkenalan dengan seseorang bernama Dhyta Caturani dan dia menertawakan seorang mahasiswa yang tidak tahu kalau Gus Dur dan Abdurrahman Wahid adalah orang yang sama. Saya ikut ketawa, dikeras-kerasin, padahal dalam hati: shit, nama lengkapnya Gus Dur itu toh, gua juga ga tahu. Dhyta juga dari Surabaya. Saya pikir orang Surabaya galak-galak.

Seperti kebanyakan remaja seusia saya waktu itu (1994), rujukan mengenai Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah hanya dari film propaganda klasik besutan Arifin C. Noer berjudul Pengkhianatan G30S/PKI.

Intinya, saya apolitis abis deh.

Yang mengubah saya adalah dunia mahasiswa di mana saya bertemu dengan pemikiran-pemikiran intelektual dari berbagai perspektif juga kisah-kisah sejarah yang tidak saya dapat di masa SMA.

Di tahun pertama kuliah saya ikut masuk pers mahasiswa Fisipol UGM, majalah Sintesa, dan tahun 1994 mendapati jajaran redaksi sedang mempersiapkan liputan khusus bertema: Holocaust.

Bukan holocaust Yahudi, melainkan komunis. “Jumlahnya mungkin sampai 2 juta,” kata kakak kelas yang sedang dikejar deadline. Saya bantu layout dan ikut memutuskan sampul majalah: hitam kelam, tulisan Sintesa warna merah darah. Zaman itu, pemikiran kiri keren sekali, mungkin untuk alasan-alasan ala remaja galau yang ingin eksis, karena sifatnya memang masih permukaan.

Tapi karena kampus adalah tempat belajar, maka belajarlah saya. Dan karena jurusan saya Komunikasi dan sangat tertarik pada media maka sampailah saya pada keinginan meneliti koran partai tahun 1950an.

Zaman rezim Soeharto, halaman depan koran isinya kurang lebih sama. Tak ada debat, tak ada konflik. Semua stabil dan tenang. Dari membaca buku-buku sejarah pers dan disertasi Daniel Dhakidae, “The State, the Rise of Capital, and the Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry,” saya mengetahui bahwa dulu tidak demikian. Ada masa di mana setiap koran punya sikap politik yang berbeda, dan ada debat.

Surat kabar Harian Rakjat (PKI), Suluh Indonesia (PNI), dan Abadi (Masjumi) berbeda pendapat tentang RUU Modal Asing. Harian Rakjat terang terangan menyebut “Gerakan Djahat dari Kaum Modal Asing,” sementara Tadjuk Rencana Abadi berjudul “Undang-undang perlu.” Foto: Evi Mariani

Saya sangat tertarik mengetahui lebih jauh tentang masa sesudah Pemilu 1955, di mana empat partai terbesar hasil pemilu masing-masing mengelola korannya sendiri. Partai Masjumi mengelola Abadi, Partai Nasionalis Indonesia (PNI) mengelola Suluh Indonesia, Partai Nahdlatul Ulama mengelola Duta Masjarakat dan PKI Harian Rakjat.

Saya berambisi membuat skripsi dengan penelitian kualitatif atas empat surat kabar ini. Ambisius luar bisa, terang saja tidak selesai. Modal waktu itu hanya niatan yang besar, saking besarnya saya cari dana dari Yayasan Pantau-nya Mas Andreas Harsono, dan berbekal sedikit uang dari Pantau, saya dari Yogyakarta berangkat ke Jakarta dan setiap hari mengunjungi Perpustakaan Nasional di Salemba dan ke Museum Satria Mandala di Pancoran.

Saya memfotokopi banyak editorial dari keempat surat kabar tersebut. Saya pilih editorial karena sikap politik terbaca jelas di situ, meski ternyata zaman dulu beritanya saja sudah “opinionated”.

Singkat cerita, penelitian mandek, sementara uang dari Yayasan Pantau sudah habis untuk transportasi dan fotokopi. Mas Andreas berbaik hati memberi kesempatan saya untuk menulis hasil penelitian sementara.

Setelah berkonsultasi, kami memutuskan fokus di Harian Rakjat, surat kabar PKI. Koran yang lain sebenarnya menarik juga, tapi buat saya saat itu, yang paling kena di hati ya Harian Rakjat. Mungkin saking terlarangnya, malah makin penasaran ya?

Untuk lebih jauh mengenal Harian Rakjat, saya tautkan tulisan yang dimuat di majalah Pantau tersebut di sini.

Alasan saya, hati saya tertawan argumentasi politiknya, cita-cita besarnya,internasionalismenya. PKI paling rajin merayakan hari internasional. Juga yang menonjol dibanding yang lain, gerakan perempuan mendapat tempat besar di Harian Rakjat.

Beberapa tajuk dan berita mengenai gerakan perempuan di Harian Rakjat dari tahun 1954–1957. Foto: Evi Mariani

Untuk kepentingan penelitian Harian Rakjat, saya berhasil mewawancarai salah satu anggota DPR dari Fraksi PKI, Oey Hay Djoen. Pentolan Harian Rakjat sendiri, Njoto, tak ketahuan rimbanya sampai sekarang.

Oom Oey sendiri beberapa kali menyumbang tulisan dari kejadian di DPR untuk Harian Rakjat. Ada satu nama lagi di daftar nama penulis di Harian Rakjat: Fransisca Fanggidaj. Saya berkesempatan bertemu Ibu Fransisca di kemudian hari, tepatnya tahun 2005, di pengasingan beliau di Belanda.

Fransisca Fanggidaj. Foto diambil dari iisg.nl

Ibu Sisca orang yang sangat menarik, tidak membosankan. Ia lahir dari keluarga Indonesia Timur yang bisa dibilang darah biru. Ia mengenyam pendidikan Belanda. Kisah hidupnya luar biasa, ia angkatan pertama Marxist House tahun 1946 dan suami pertamanya termasuk yang ditembak mati setelah Peristiwa Madiun 1948. Ia juga anggota Gerwani meski tidak aktif karena lebih fokus menjadi wartawan.

Anak beliau ada tujuh dan karena beliau tak bisa pulang ke Indonesia seusai mengikuti konferensi wartawan internasional di Chile, ia menjalani hidup di pengasingan dan baru bertemu anak-anak tahun 2003, atau 38 tahun tidak bertemu. Ibu Sisca meninggal tahun 2013 di Belanda.

(Intermezzo, ternyata salah satu cucu Ibu Sisca adalah Reza Rahadian. Reza heran mengapa omanya tidak boleh pulang ke Indonesia padahal berjasa banyak untuk negara).

Reza Rahadian heran mengapa almarhum Omanya tidak boleh pulang ke Indonesia Foto diambil dari indosinema.com

Sekitar tahun 1999 di masa penelitian saya itu, saya baru berusia 23 tahun. Mahasiswa agak tua, tetapi belia dan polos di hadapan orang seperti Oom Oey. Segera saja saya kagum pada Oom Oey, seperti halnya saya terkagum-kagum pada semua eksil yang saya temui kemudian di tahun 2005 di Belanda.

Oey Hay Djoen Sumber foto: hilmarfarid.com

Oom Oey dibuang ke Pulau Buru dan dilepas barengan Pak Pram tahun 1979. Nomor tahanan Oom Oey 001, nomor Pak Pram 007. Kata Oom Oey, kelompok mereka, 41 tahanan politik, dilepas dari Buru paling belakangan karena mereka dianggap “paling keras kepala”.

Menurut saya, tatapan mata orang-orang yang tumbuh di masa pra Massa Mengambang berbeda, cara bicaranya lebih meyakinkan, tata bahasa lebih baik, dan kebanggaannya akan Indonesia luar biasa. Tidak ada sedikitpun serat-serat inlander complex dalam diri mereka. Kesan yang sama saya dapatkan dari Pak Pramoedya yang saya temui tahun 1996.

Rasanya kalau ingat dulu itu bertemu Pak Pram, Oom Oey, Ibu Sisca, saya cuma bisa mengangguk dan mangap sambil sedikit-sedikit menyelamatkan martabat dengan melontarkan pertanyaan.

Saya pikir mereka ini adalah “a totally different breed” dibanding saya dan anggota Floating Mass 1.0 ala Orba yang tumbuh dengan bacaan koran yang isinya sama semua. Mereka terbiasa berdebat dan berbeda, lalu minum anggur bareng lagi.

Sesungguhnya, pertemuan saya dengan para eksil, juga membaca koran partai di tahun 1950an (bukan hanya Harian Rakjat) yang mungkin membuat saya berhasil melepaskan diri dari godaan untuk menjadi Floating Mass 2.0 yang pada dasarnya masih apolitis dan gemar melabeli orang yang punya political standpoint sebagai kurang piknik. Bedanya dengan Floating Mass 1.0, yang 2.0 bawel di media sosial, tapi kebanyakan ngomongin figur-figur idola saja, bukan diskusi pemikiran.

Mereka seolah melek politik tapi sebenarnya yang mereka bicarakan adalah figur figur idola yang mereka pikir bisa menyelamatkan bangsa ini tanpa meminta mereka ikut berpikir dan berpartisipasi. Floating Mass 2.0 adalah orang -orang yang ketika diskusi baru mulai hangat buru-buru berkata: Jadi solusinya apa? Mereka cepat sekali share meme, mudah merasa hebat dan meremehkan orang yang lebih susah sebagai bodoh, tapi baru diberi cuplikan Laudato Si-nya Paus Francis saja sudah menjerit bilang tidak paham.

Saya bersyukur, saya terselamatkan dari “the oblivion of Floating Mass 2.0,” karena saya membaca pemikiran kiri dan bertemu orang-orang “di persimpangan kiri jalan” (iya saya mengutip Soe Hok Gie yang bukunya buru-buru saya beli di Soping Yogyakarta).

Apakah saya kemudian jadi komunis setelah bertemu mereka? Wah sepertinya masih jauh sekali ya, nggak lah kalau komunis. Tapi ngomong-ngomong saya lumayan suka lagunya Beyonce yang judulnya Irreplaceable: To the left, to the left…

--

--

Evi Mariani
INGAT 65

Journalist and founder of public service journalism initiative, Project Multatuli, at projectmultatuli.org.