Remaja Lupa Lengah Lumpuh

Andanti
INGAT 65
Published in
4 min readJan 17, 2019
“Pertemuan sore itu memunculkan retak pada kotak cermin realita saya. Ribuan serpihan kaca membentangi dimensi saya dan dimensinya.” Photo by Jilbert Ebrahimi on Unsplash

Jangan bilang papa, teman apalagi rektor saya kalau saya menulis di sini. Jika Anda membacanya, sebarkan kepada orang-orang yang bergelut dengan takut akan buntut dari turut bertanya apa yang terjadi di enam-lima. Jangan pada tiga trinitas di atas.

Mereka meracuni dalam diamnya sekaligus gaduhnya, “Mengingat enam-lima artinya menentang persatuan dan stabilitas NKRI.”

Saya tidak tahu bagaimana pernyataan kausal ini bekerja pada generasi papa dan kakek saya. Saya hanya paham bahwa ini merupakan sebuah warisan. Artinya, perlu dilestarikan. Saya tidak terbiasa mempertanyakan suatu cerita yang sakral. Lagipula, hidup di keluarga yang cukup sejahtera selama Orde Baru, membuat saya tidak punya cukup dorongan untuk menolak warisan ini.

Kemudian Orde Baru runtuh, digantikan oleh pemerintahan yang notabene membuat wasiat lainnya, yaitu harus anti-Orde Baru, tanpa melakukan pemugaran pada warisan rezim sebelumnya.

Dalam suka cita demokrasi, wasiat mereka harus diterima.

“Menyukai Orde Baru artinya mendukung penindasan dan anti-demokrasi.”

Pertama saya dilarang mengingat. Kedua saya dilarang menyukai. Padahal perilaku manusia adalah fungsi dari ingatan dan rasa suka. Tanpa keduanya manusia tidak mampu turun dari kasurnya di pagi hari.

Artinya, dua rezim ini hampir membuat saya lumpuh sebagai makhluk sosial. Untungnya setiap diri dilengkapi dengan mekanisme survival,sehingga saya mampu terus berfungsi. Dorongan bertahan hidup di lingkungan yang kacau mendorong mekanisme ego memodifikasi kualitas manusiawi.

Walhasil, saya melanjutkan tugas perkembangan di masa remaja dengan membawa serta virtue (keutamaan) yang paling dikehendaki para oligarki negeri saat itu — kelengahan.

Tahun-tahun hidup dengan kelengahan itu menyenangkan. Banyak hal yang bisa membuat saya bahagia saat saya memutuskan untuk tidak peduli kecuali pada kebutuhan saya sendiri.

Suatu ketika di tengah masa tersebut, peristiwa enam-lima berseliweran di telinga saya. Tapi saya toh tidak boleh mengingat, jadi saya beralih mikirin Justin Bieber saja.

Saat ada pemutaran film Jagal di kampus, saya ingin mengelak dengan segala jurus. Akan tetapi anak muda, tidak boleh menolak pengungkapan penindasan, nanti disangka suka Orde Baru. Saya risih bila ada yang menyangka demikian. Jadi ya sudah saya ikut serta.

Namun, kalian bisa melihat bahwa segala tindakan saya boro-boro dilandasi kesadaran moral, melainkan hanya didorong oleh keengganan untuk mengalami resah dan gelisah. Lebih-lebih, kelengahan membuat saya melupakan penyebab keresah-gelisahan yang selalu melanda saat bersinggungan dengan enam-lima. Tapi toh film itu menghantarkan saya pada suatu pertemuan.

Sebuah sore yang agak terik di depan Istana Merdeka memayungi pertemuan saya dengan seorang wanita madya. Ia berasal dari Medan, tinggal di Depok. Sementara saya bersuku Jawa, tinggal di Bekasi.

Kami terlalu cepat akrab kendati perbedaan latar belakang, lantaran kegiatan sehari-harinya membuat saya terkesima. Ia menceritakan pengalamannya mendirikan rumah belajar untuk anak-anak tidak mampu di sekitar tempat tinggalnya sekalipun ia sendiri tidak pernah mengenyam sekolah menengah atas.

Dengan kesadaran bahwa tidak boleh ada anak Indonesia yang susah mendapatkan pendidikan seperti dirinya, ia mulai mengundang anak-anak untuk belajar. Meskipun malah ejekan yang datang menyambangi, ia tidak berhenti.

Kalau saya sih hanya tidak bisa berhenti menangis mendengar kisahnya. Tetesan air mata saya ternyata mendorongnya untuk lanjut bercerita, “saya anak korban enam-lima.”

Sontak, ada jarak di antara saya dan perempuan tersebut. Ada dimensi yang tidak bisa saya tembus dan perempuan itu menjadi tidak terjangkau.

Pengalaman mereka menjadi korban ternyata pisau potong yang efektif untuk memutus rasa kebersamaan yang sebelumnya dimiliki bahkan persamaan identitas kewarganegaraan kami.

Biarkan terpisah, tetap di tempat mu, bisik hati saya lirih.

Siapapun tau bahwa pemisahan ini berguna bagi pemerintah saat nanti ada kekacauan. Bahkan pemisahan baru bisa saja muncul setelah kekacauan. Kamu tidak akan mau terpisah dari golongan masyarakat besar. Nanti kamu dinomor-sekianratuskan. Toh kelompok besar ternyata gabungan dari beraturs-ratus kelompok kecil yang disukai pemerintah. Kalau kamu menyebrang ke ke sisi perempuan itu, kebutuhan kamu dianggap bertentangan dari kebutuhan kelompok besar. Kepentingan mu terpisah dari kepentingan publik. Dan yang ku takutkan, kepentingan mu mengancam kepentingan nasional.

“Mengingat enam-lima artinya menentang persatuan dan stabilitas NKRI”.

Begitu kata teman, papa dan rektorku.

Tapi pada malam setelah pertemuan dengan perempuan itu, bagi saya mengingat enam-lima membuat saya insaf bahwa siapapun saya dan mereka, di mana pun saya dan mereka tinggal, sejauh mana pengalaman kehilangan dan kesusahan yang saya atau mereka derita, di balik pembuluh vena kami hanya ada cairan merah. Selama ini saya lengah.

Pertemuan sore itu memunculkan retak pada kotak cermin realita saya. Ribuan serpihan kaca membentangi dimensi saya dan dimensinya. Keengganan untuk menyeberang lantaran kepastian bahwa serpihan pecahannya akan menyakiti saya. Namun saya kosong, sementara dialog sore itu seperti sebuah massa yang mencari bejana. Saya menjadi berbobot karenanya. Lantas, perih dari mengingat enam-lima terasa lebih baik ketimbang perih dari tidak tau apa-apa. Mengingat enam-lima lantas menentang persatuan dan stabilitas NKRI?

Dialog sore itu menunjukkan bahwa mengingat enam-lima adalah membangun narasi sejarah bangsa yang sebelumnya bolong menganga. Bukankah collective memory yang semakin nyata malah akan mempererat rasa persaudaraan?

Jadi kalau kamu memahami apa yang saya katakan, mudah-mudahan dapat membuat kamu bertahan. Bertahan mengingat enam-lima. Bertahan dari saudara-saudari yang menolak mengerti, serupa teman, papa dan rektor saya.

--

--