Nenek, saya, dan kaus palu arit

Widiatmoko Putranto
INGAT 65
Published in
5 min readApr 19, 2016
Tjip Zahra (alm), nenek Widiatmoko Putranto, ketika berusia 90 tahun.

“Lepas dan ganti bajumu sekarang!” seru nenek saya setengah memaksa melihat saya muncul di teras depan rumah kami di Kotagede, Yogyakarta, tempat ia duduk-duduk mengunyah sirih seusai magrib.

Ia menunjuk kaus hitam buluk yang saya kenakan. Kaus itu bergambarkan palu dan arit dengan tulisan CCCP, singkatan bahasa Rusia untuk Uni Soviet.

“Kenapa memangnya?” tanya saya.

“Itu,” katanya sambil menunjuk gambar di kaus, “adalah sesuatu yang tidak baik.”

Saya tak puas dengan jawabannya dan berusaha meminta alasan yang konkret.

“Ya, pokoknya buruk, mengerikan lah,” nenek berkata.

“Ah, kamu cuma bocah, ngeyel, tidak tahu sih dulu bagaimana,” tambahnya lagi, nada bicaranya meninggi.

Alih-alih melepas kaus, saya malah tidak acuh. Saya terus bercanda dengan Pablo, si kucing tua buta yang tinggal di rumah. Nenek hanya mengembuskan napas panjang, mengelus dada, kemudian melanjutkan ritual menyirih.

Ny. Tjip Zahra, nenek saya, adalah pertalian pertama saya dengan peristiwa 1965. Saat itu, di usia hampir 90 tahun, beliau masih gemar mengudap es krim tengah malam, lalu menyanyikan lagu-lagu berbahasa Belanda dengan suara sumbang. Nyanyian sumbang itu membuat sebal Mbak Sum yang bekerja untuk keluarga kami dan mengeluh setiap pagi.

Sebelum peristiwa 1965 terjadi, suami ketiga nenek saya — kakek saya — merupakan pria yang dikenal sebagai pengusaha kerajinan perak yang sukses di Kotagede. Di masa Sukarno, kenang ibu dan bibi saya, negara memberi setiap pengusaha bahan baku untuk diolah, lalu hasilnya dipasok kembali ke Istana Negara.

Keluarga kami tak pernah tertarik untuk terlibat dalam politik. Banyak karyawan kakek simpatisan partai dengan lambang palu dan arit, Partai Komunis Indonesia (PKI). Terkadang mereka membolos bekerja untuk berlatih pencak silat atau berkesenian. Mereka kadang menari diiringi lagu, “Gendjer-gendjer”, lengkap dengan tetabuhan gamelan. Kakek tak berani memarahi mereka mengingat PKI tengah berjaya.

Tapi hari-hari ceria itu berakhir juga. “Usai Gestapu, pesanan perak ke Istana distop,” kata ibu saya, merujuk pada Peristiwa Gerakan 30 September di mana enam jenderal angkatan darat terbunuh. Ibu saya tiba-tiba bersemangat bercerita sambil mencomot mendoan dari pinggan beling bermotif bunga. “Dan dimulailah periode pasang surut finansial yang mendera keluarga bertahun-tahun kemudian,” ujarnya.

Widiatmoko Putranto, berusia enam bulan, digendong ibunya, Ismudiati, di rumah mereka di Yogyakarta.

Banyak anggota masyarakat Indonesia yang fobia komunisme. Sedari awal, keluarga kami agaknya tak pernah mengidap penyakit ini.

Mungkin keluarga kami tidak memedulikan politik karena kondisi ekonomi keluarga yang melarat usai peristiwa 1965 yang berujung pada memburuknya hubungan kakek dan nenek.

Pikiran kakek, nenek, dan anak-anaknya lebih terkuras oleh permasalahan keluarga.

“Yang jelas Kotagede mencekam, banyak orang diciduk,” kata ibu saya.

Konon, siapa pun bisa kena razia, tak peduli apakah benar-benar ada hubungannya dengan PKI atau tidak. Bahkan kakek pernah bersembunyi karena khawatir. Sementara banyak karyawannya yang diangkut dan sebagian tak pernah kembali.

Bude Subar — anak satu-satunya nenek dari suami pertamanya — pernah ketakutan ketika bersepeda sendirian kala masih remaja. Ia melihat perempuan-perempuan di jalan yang memakai rok sepan dirobek paksa oleh beberapa orang.

“Siaran radio menjadi penting sekaligus mendebarkan untuk mengikuti apa yang terjadi di luar sana,” kata bude saya.

Kakek tak pernah diciduk. Ia wafat pada 1983, usai sakit keras berkepanjangan.

Apa yang sesungguhnya terjadi di 1965? Lewat buku pelajaran di Sekolah Dasar, saya belajar PKI mengerikan karena melakukan pemberontakan. Namun, saya kesulitan mencerna logika bahwa dalam upaya menumpas PKI, lebih banyak lagi orang yang tewas.

Tewasnya enam jenderal dan satu pewira mengerikan. Namun, apa hilangnya ratusan ribu nyawa atas nama penumpasan PKI bukan tragedi juga?

Tapi, seperti anggota keluarga yang lain, ketika saya kecil saya tak bertanya lebih lanjut kepada siapa pun. Saya lebih tertarik berkelahi memperebutkan layang-layang yang jatuh.

Tentu ada peristiwa soal 1965 yang saya ingat. Saya ingat menonton film Pengkhianatan G30S/PKI di rumah Paman Akhsan, tetangga yang tinggal di belakang rumah. Karena keluarga saya tak memiliki televisi, keluarga Paman Akhsan mengajak saya menyaksikan film wajib tayang itu. Namun, saat corak cerita mulai terasa muram, terutama adegan Jenderal Nasution menulis sendirian, saya kerap ketiduran. Itu kebiasaan saya bila ketakutan.

Di hari-hari sesudah pertikaian kecil perkara kaus saya, nenek tak bercerita lebih lanjut soal peristiwa 1965. Kalau saya kejar untuk bercerita, ia merajuk dan tak mau mengobrol lagi.

Nenek lebih sering bercerita soal zaman penjajahan Belanda atau Jepang. Di waktu yang sama, saya mulai tertarik membaca buku-buku dan artikel yang menuliskan beragam cerita alternatif soal 1965.

Ibu, paman, dan bibi — yang semuanya mengenyam pendidikan formal tak lebih dari SMA — juga agaknya sedikit banyak mencoba berpikir ulang soal 1965 yang ganjil. Mereka mencoba memahami pandangan-pandangan yang berbeda soal masa itu lewat derasnya arus informasi di koran dan televisi.

Kalau saya pikir ulang saat ini, sejujurnya saya tak punya alasan mendalam untuk memakai atau pun tak memakai kaus dengan lambang palu arit. Pertama kalinya memakai kaus itu, saya berusia 18 tahun dan baru masuk universitas.

Alasan saya memakai kaus itu sederhana saja: agar terlihat keren dan berbeda.

Alasan saya memakai kaus itu sederhana saja: agar terlihat keren dan berbeda. (sumber foto pribadi)

Saya pun bukan satu-satunya orang yang memiliki kaus palu arit. Teman sekelas saya, Bonifasius Pratama, memiliki kaus serupa, sama-sama buah tangan dari kawan yang pulang berlibur dari negeri tetangga.

Bonifasius juga mengalami kejadian serupa. Seseorang membentaknya dan menyuruhnya melepas kaus palu arit yang dipakainya ketika ia tengah berada di Pasar Ngasem, Yogyakarta.

Awalnya ia tak peduli dengan bentakan itu, walaupun akhirnya ia melepaskan kausnya karena khawatir. Begitu dahsyat efek yang diciptakan kaus itu, kaus yang saat ini sudah begitu lusuh karena terlalu sering dipakai.

Di satu malam, 19 Maret 2016, pikiran saya melayang kembali ke peristiwa kaus palu arit. Hari itu Bonifasius berulang tahun.

Tapi, ada peristiwa lain yang lebih penting. Malam itu peringatan 1.000 hari kematian nenek.

Para sepupu asyik bercengkerama di dapur Bude Subar, menunggu dimulainya acara. Konsumsi sudah ditata, hampir semua tetangga yang diundang pun sudah tiba.

Menerka-nerka tentang 1965 sekarang, rasanya masih abu-abu. Banjir sumber informasi meriasnya menjadi lebih rumit dan misterius pada titik-titik tertentu.

Tapi, dengan mengingat 1965, saya seakan diajak untuk menimbang ulang, membebaskan benak dari warisan prasangka yang membelenggu dan sukar diurai dengan nalar, dibenarkan oleh iman.

Bisa jadi banyak masyarakat yang berpikiran dan bersikap serupa. Bisa jadi yang mereka takutkan bukan komunisme atau PKI atau orang dekat sendiri, melainkan kekerasan dan penindasan. Siapa yang tahu?

Seorang lelaki gempal datang. Ia menyalami para paman dan bibi di pelataran halaman belakang kemudian melangkah masuk ke rumah.

Lelaki itu adalah mantan tahanan politik yang sehabis peristiwa 1965 diciduk dan dipenjara di Pulau Buru. Setelah bebas, ia mendapati istrinya telah memiliki keluarga baru.

Ia memimpin pengajian malam itu. Acara pun dimulai.

--

--

Widiatmoko Putranto
INGAT 65

Penyuka lotek, penggemar tram dan pendengar Dick Diver.