Saya ingin ingat 1965

Elyzabeth Winda
INGAT 65
Published in
3 min readMar 31, 2016
Salah satu adegan di film Pengkhianatan G30S/PKI, dimana Brigjen D.I. Panjaitan dibunuh disaksikan anaknya. Ketika kecil saya melihat adegan tersebut dengan sudut pandang yang terlalu hitam putih. Kini, saya menyaksikannya dengan cara yang tak sama lagi. (Sumber gambar: youtube.com)

Baru-baru ini, seseorang bertanya apa yang terlintas di benak saya ketika mendengar kata “G-30-S”. Saya termenung cukup lama sebelum menjawab. Belum usai jawaban itu saya rangkai dalam kepala, ia kembali bertanya apakah saya punya kenalan atau kerabat yang turut merasakan peristiwa 1965 itu. Untuk pertanyaan kedua, saya jawab bahwa sepanjang yang saya tahu, saya tak punya kenalan atau kerabat korban kekejaman 1965. Sedangkan untuk pertanyaan pertama, kurang lebih saya menjawab begini, “Hmm. Aku enggak tahu banyak. Tapi, aku sempat nganggep PKI itu jahat.”

Saya sempat khawatir kalau jawaban-jawaban tersebut membuatnya kecewa. Saya lahir 24 tahun pasca 1965. Tidak banyak yang saya ketahui soal sejarah 1965. Memang, tidak ada yang meminta. Tidak ada pula yang memaksa bahwa saya harus tahu. Tapi entah kenapa, belakangan ini ketidaktahuan macam itu membuat saya merasa kerdil.

Kenapa saya bisa tidak peduli dengan sejarah bangsa sendiri? Lantas apa yang bisa saya ceritakan kepada generasi setelah saya soal 1965?

Maka, alih-alih terus-terusan diam dalam ketidaktahuan yang melumpuhkan, tulisan ini saya buat, sebagai salah satu upaya mengikis perasaan berjarak dengan sejarah.

Masa kecil. Kurang lebih, di masa inilah saya mulai terpapar film Pengkhianatan G30S/PKI. (ki-ka) Saya dan adik.

Film Pengkhianatan G30S/PKI dan buku pelajaran sejarah boleh dibilang merupakan sumber informasi pertama yang saya punya soal PKI. Saya masih duduk di bangku sekolah dasar pada waktu itu. Masih membekas dalam ingatan, dulu film garapan Arifin C. Noer itu rutin ditayangkan di televisi setiap akhir bulan September. Kala itu, saya merasa bahwa menonton film tersebut adalah mandat pemerintah yang harus dipatuhi dan lingkungan membuatnya terlihat begitu wajar. Apalagi ketika beberapa guru juga menganjurkan para murid untuk menonton film Pengkhianatan G30S/PKI. Maka, ya sudah lah, biar tahu sejarah, pikir saya.

PKI penjahat, pemerintah pahlawan. PKI adalah dalang di balik penculikan dan pembunuhan keji enam jenderal pada 30 September 1965. Namun pada akhirnya pemerintah berhasil menumpas PKI, entah dengan cara seperti apa, dan keutuhan NKRI terselamatkan. Itulah sejarah yang saya tahu.

Kesan tersebut melekat di pikiran saya bertahun-tahun, bahkan setelah film Pengkhianatan G30S/PKI tersebut tak lagi diputar di televisi. Guru-guru mata pelajaran sejarah semasa sekolah pun tak banyak membuka jalan pikir saya soal peristiwa tersebut. Saya bilang begitu karena mereka cenderung mengajarkan murid untuk menghapal sejarah ketimbang memahaminya di luar apa yang dicetak dalam buku teks sekolah. Ruang kelas yang seharusnya bisa jadi arena mengasah cara berpikir mandiri, malah jadi ruang indoktrinasi bagi siswa-siswi. Bukan, bukan berarti menghapal adalah hal buruk. Menghapal sejarah juga baik. Namun, ketika hanya menghapal tanpa memahami, bagi saya itu sama saja upaya menumpulkan diri sendiri. Apa yang kita hapalkan bisa jadi cepat kita lupakan dan lupa akan sejarah bangsa sendiri adalah situasi yang mengkhawatirkan.

Semua pemahaman soal kejadian 1965 bergeser ketika saya menyandang status mahasiswa. Film Jagal besutan Joshua Oppenheimer yang diputar di kampus beberapa tahun lalu membuka mata saya soal apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia pada 1965. Bahwa ada banyak jiwa tak bersalah yang berjatuhan akibat peristiwa tersebut. Bahwa muncul perkiraan hingga lebih dari satu juta orang yang dirampas hak hidupnya sepanjang tahun 1965–1966. Bahwa mereka yang menghilang tanpa jejak dan mengalami kehilangan sama-sama menanggung luka batin akibat peristiwa kelam masa itu. Luka batin yang perlu diselesaikan agar tak lagi ditanggung berkepanjangan.

Saya tidak tahu bagaimana caranya agar luka tersebut bisa pulih. Namun yang pasti, saya ingin paham tentang luka yang sudah lama menganga itu, tentang luka bangsa ini. Saya, dan juga anggota generasi pasca-65 lain, berhak memperoleh kebenaran sejarah yang kelak dapat diwariskan kepada anak cucu kami. Tetapi, mustahil kebenaran bisa diungkap jika bangsa ini menghamba pada ego diri dan tak punya kebesaran hati.

Teman-teman, lewat Ingat65, mari saling berbagi.

--

--