Sebuah Pengantar Untuk Menyemangatimu Bercerita

Maria Serenade Sinurat
INGAT 65
Published in
4 min readJun 15, 2016

Saya selalu ragu menulis dan merefleksikan tentang tragedi 1965. Saya tidak pernah meneliti tentang tragedi pembunuhan massal itu, saya tidak punya keluarga inti yang rasanya terlibat dalam peristiwa itu, saya tidak pernah jadi manusia yang ideologis.

Ketiga hal ini seakan menjustifikasikan ‘kemalasan’ saya menulis soal 1965. “Ah, cerita saya tidak akan mengubah keadaan,” begitu suara di kepala saya.

Setidaknya sampai pekan lalu, ketika dua pesan tiba di kotak pesan akun Facebook saya.

Pesan pertama dikirimkan seorang narasumber yang saya kenal ketika saya ditempatkan sebagai jurnalis di Jawa Timur.

Sebut saja si pengirim, Cak Ranto. Pesan itu panjang tapi langsung tepat sasaran.

Singkat kata, Cak Ranto — yang berteman dengan saya di Facebook- menyadari kalau tiga bulan terakhir saya kerap menautkan link Ingat65 di dinding Facebook saya. Dia beranggapan kalau saya bergabung dengan grup itu.

Intinya Cak Ranto punya cerita yang selalu ingin dia bagikan tentang peristiwa 1965 tapi tak pernah punya keberanian menceritakannya. Tapi cerita itu dia bagikan kepada saya, melalui pesan di Facebook.

Pesan kedua datang dari seorang jurnalis yang saya kenal ketika saya bertugas di Makassar. Mari sebut namanya Daeng. Daeng pun ternyata punya kisah yang terkait dengan 1965, tapi lagi-lagi memilih untuk menyimpannya rapat-rapat. Kepada saya dia mau membaginya.

Cak Ranto dan Daeng hanya dua dari banyaknya manusia Indonesia yang mungkin punya kisah tentang 1965, tapi masih terlalu takut untuk berbagi cerita.

Sejak turut membantu Ingat65 sebagai ‘tukang kompor’ –karena harus mempersuasi orang untuk bercerita-, saya kian menyadari betapa sulitnya bagi seseorang untuk menengok kembali 1965, apalagi menceritakannya.

Berkali-kali saya dapat respon, “tidak berani”, “tidak usahlah”, “nanti-nanti deh”, atau “aku gak punya cerita” dalam upaya menodong orang untuk bercerita.

Berbagai respon itu memiliki benang merah yang sama: keputusharapan bahwa sebuah cerita bisa mengubah keadaan. Ah, saya tahu perasaan itu.

Lalu, mengapa saya mulai bercerita? Tiga bulan terakhir saya menyadari bahwa saya selalu dilingkupi oleh kisah 1965. Kisah itu bukan datang dari keluarga saya, juga bukan dari orang-orang yang saya wawancara selama saya bertugas.

Kisah itu juga bukan datang dari pemutaran film G30 S/PKI sewaktu saya kecil, karena saya selalu lebih suka menyendiri membaca buku daripada berkumpul di ruang keluarga menyemuti televisi. Kisah itu datang dari orang-orang biasa dengan siapa saya bersimpang jalan.

Saya tidak pernah meminta orang-orang itu bercerita. Anehnya, cerita-cerita itu sering datang di saat yang tidak terduga. Di awal tahun 2014, dalam sebuah taksi yang saya naiki di ibu kota, supir taksi tiba-tiba mengeluh soal pemerintahan baru.

Saya hanya bergumam pelan untuk menanggapi keluhannya. Tanpa peringatan, supir taksi mulai bercerita soal keluarganya yang sampai saat ini terus dicap ‘komunis’ dan kesulitan mendapatkan pekerjaan. Di ujung cerita dia berujar, “terima kasih ya, mbak mau mendengarkan.”

Begitu banyak kisah tentang 1965 di sekitar saya. Kisah itu umumnya bicara soal kegetiran dan keputusasaan. Hati saya tergerak untuk menulis, bukan karena afiliasi pada politik tertentu, apalagi membangkitkan hantu-hantu masa lalu. Duh, sudah cukup lah dihantui mantan.

Saya menulis karena saya pernah melihat begitu dekat wajah para korban kekerasan, kekerasan yang dilakukan atas nama apapun. Saya pernah berjumpa beberapa perempuan yang kerap disiksa oleh suaminya, dan entah mengapa mereka bersedia menuangkan ceritanya pada saya.

Di wajah mereka saya melihat kepahitan, tapi juga kelegaan. Lagi dan lagi mereka selalu bilang, “terima kasih ya mau mendengarkan saya.”

Mereka seakan dipenuhi daya hidup baru ketika berhasil menceritakan bagaimana mereka keluar dari rantai kekerasan. Karena mereka, saya terus menulis dan mengumpulkan cerita. Saya percaya cerita memiliki kekuatan.

Bagaimana kamu memahami sejarah sebuah negara? Cerita. Bagaimana kamu memahami semesta? Cerita. Bagaimana kamu membagikan kisahmu kelak pada anak muda sesudahmu? Cerita.

Cerita, narasi, kisah atau apapun namanya itulah yang terus kita hidupi dan sebarkan terus menerus untuk membuat orang percaya. Propaganda Orde Baru tentang peristiwa 1965 adalah bagian dari sebuah kisah yang terus kita hidupi, walau mungkin kita tak tahu kebenarannya.

Sebuah cerita bisa terus diproduksi untuk menegakkan sebuah rezim kekuasaan, membungkam mereka yang berbeda, mengintimidasi, dan membuat kita semua begitu takut mengakui adanya cerita alternatif.

Sebagaimana sebuah kisah bisa dikonstruksi, sebuah kisah juga bisa didekonstruksi.

Saya teramat ingin menuliskan begitu banyak kisah dari pribadi-pribadi yang menjadi korban tragedi 1965. Tapi kisah itu milik mereka dan hanya merekalah yang berhak menceritakannya.

Saya menyadari ketakutan mereka untuk bercerita dan bahwa keberanian selalu mengundang risiko. Mungkin banyak dari mereka yang akan kehilangan pekerjaan, dikucilkan atau dihakimi oleh masyarakat hanya karena mereka punya keberanian untuk bercerita. Keberanian saya untuk menuliskan ini bisa dikatakan minim risiko.

Tapi, bayangkan ketika kita semua belajar mengingat kembali dan menceritakan soal 1965. Bayangkan ketika kau punya ruang untuk bercerita tanpa todongan senjata.

Bayangkan ketika begitu banyak kisah dari berbagai perspektif soal 1965 bisa saling melengkapi. Bayangkan ketika kisah-kisah ini berlipat ganda.

Seorang teman baik pernah berkata, “kemampuan mewujudkan cerita bermula dari kemampuan membayangkan bahwa sesuatu telah terjadi.”

Coba bayangkan kau memiliki sedikit keberanian, untuk membagi kisahmu soal 1965. Kau mungkin bisa memulai menuliskannya di blog anonim, membaginya pada teman baikmu, pada keluargamu, atau -mengikuti jejak supir taksi yang saya temui- pada orang asing yang mungkin tak akan kau jumpai lagi.

Dengan keberanianmu yang baru, mungkin suatu saat kau bisa menuliskannya di sini, di Ingat65.

Sampai kau lebih berani, kami menunggu di sini.

--

--

Maria Serenade Sinurat
INGAT 65

Editor di @Ingat65. Wartawan lepas yang sedang meriset model bisnis jurnalisme digital.