Sebuah Proses Menjadi Tidak Baik-Baik Saja

Rima Febriani
INGAT 65
Published in
5 min readMay 12, 2016
Ilustrasi Ellena Ekarahendy

Saya lahir dua puluh tahun kurang sedikit setelah peristiwa 1965. Ada jarak waktu yang cukup antara pergolakan di 1965 dan kelahiran saya untuk membentuk sebuah kesan bahwa bangsa kita terlihat baik-baik saja.

Saat itu semua terasa mudah. Saya mengerti mengapa banyak orang terjebak nostalgia hidup di tahun ‘90-an. (Walaupun jujur saja, semakin lama nostalgia ini semakin menyebalkan).

Saya mengerti mengapa para milenial tua merasa generasi mereka paling beruntung dan tentu saja paling keren. Dulu tidak ada gadget yang menjadi candu. Milenial tua kerap membandingkan diri dengan para milenial baru. Hidup memang menyenangkan pada masa itu, terutama jika orang tuamu tidak pernah macam-macam sebelumnya.

Pokoknya “isih penak jamanku”.

Saya menghabiskan sebagian masa sekolah dasar di salah satu pulau di Kepulauan Riau bernama Bengkalis hingga 1996. Jauh dari Jakarta, pengetahuan tentang bangsa kami dapatkan melalui siaran televisi, terutama ketika stasiun televisi swasta mulai mengudara.

Saking inginnya kami tahu tentang apa yang terjadi di Jakarta (dan ingin seperti orang Jakarta), kami membeli parabola karena siaran televisi swasta tidak dapat ditangkap dengan antena biasa. Dengan piringan ajaib ini, kami tidak harus membayar biaya bulanan seperti halnya berlangganan TV Kabel.

Kami hanya perlu membayar “iuran televisi” yang ditagih setiap bulannya oleh “petugas” yang datang ke rumah, berseling dengan Saksi Yehova yang datang tanpa jadwal tetap.

Dari situ kami ikut seperti orang-orang di Pulau Jawa yang tegang menonton perebutan Piala Thomas dan Uber, terharu melihat sinetron yang sama, menghitung mundur kemenangan Golkar tiap lima tahun sekali, dan menginginkan barang-barang yang sama yang iklannya tidak muncul di TVRI. Indonesia yang ideal dan baik-baik saja adalah yang ada di televisi.

Di luar itu, kami pun baik-baik saja. Saya bersekolah di SD dengan siswa yang beragam dan hampir setengah isi kelas keturunan Tionghoa. Saya dan beberapa kawan disamaratakan dengan sebutan “Melayu” (untung saya Melayu betulan). Kami sering bercanda saling menjelek-jelekkan antaretnis. Terkadang sampai berantem betulan.

Entah kami serius dengan ucapan kami, atau hanya kesal karena kalah main kasti. Kelak saya paham bahwa apa yang kami lakukan namanya “rasisme”. Tapi soal ini tidak pernah diajarkan di kelas secara spesifik, paling hanya “menghormati sesama” dalam pelajaran PMP.

Mungkin kami menginterpretasikan “sesama” dengan cara kami sendiri. Beberapa teman akrab saya keturunan Tionghoa, walaupun saya pernah dengan sengaja mengejek etnis mereka.

Suatu hari ibu guru kami memberi tugas memilih dan menyanyikan satu lagu wajib di depan kelas. Teman-teman memilih lagu-lagu standar, seperti “Maju Tak Gentar”, “Hari Merdeka”, atau “Garuda Pancasila”.

Saya membawakan lagu “Bapak Pembangunan”. Seingat saya, lagu ciptaan Titik Puspa itu saya pilih karena maunya anti-mainstream (untunglah, saya sudah sembuh).

Sekarang jika saya mengingatnya, saya ngeri sendiri. Ngeri akan pretensi saya di umur 9 tahun, dan tentu saja betapa bahagianya saya menjadi anak Indonesia dipimpin oleh bapak yang wajahnya ada di uang kertas 50 ribu kala itu.

Saya ngeri dengan pretensi saya sendiri di usia 9 tahun yang begitu bahagia menjadi anak Indonesia dipimpin oleh bapak yang wajahnya ada di uang kertas 50 ribu kala itu. (Sumber Wikimedia Commons)

Tidak ada tepuk tangan atau pujian dari guru saya; mungkin harusnya saya menyanyikan “Gugur Bunga” saja. Tetap saja saya merasa bangga begitu duduk kembali di bangku.

Di Bengkalis, selama masa Orde Baru, budaya Tionghoa justru hidup: kelenteng berada di tengah pasar dan selalu ramai, barongsai dimainkan di tempat umum, kadang kami melihat iring-iringan pemakaman orang Tionghoa lewat di depan sekolah, dan Imlek selalu meriah dengan warna merah di mana-mana, serta sekolah dan kantor yang diliburkan.

Maka kami tidak pernah tahu kalau di Jakarta, semua yang kami (ikut) rayakan ini ternyata dilarang. Hingga salah satu teman saya berkata, “Sebenarnya namaku bukan Petrus, aku punya nama Cina tapi tidak boleh dipakai katanya di akte. Keluarga aku pun sebetulnya Konghucu, bukan Kristen.”

Saya tidak pernah berwisata ke Lubang Buaya, meski ingin sekali setelah mendengar cerita guru di pelajaran PSPB.

Tidak seperti anak-anak di daerah lain, tidak ada kewajiban bagi kami untuk menonton film Pengkhianatan G30S/PKI semalam sebelum Hari Kebangkitan Bangsa, dan membuat rangkuman serta mementaskannya di sekolah.

Mungkin guru-guru kami cukup waras untuk tidak membiarkan anak-anak menonton adegan penembakkan dan darah diusap di muka hingga tengah malam.

Saya hanya pernah menonton sekali, hanya karena ingin dan penasaran dengan sejarah yang dipelajari di sekolah. Kurikulum di sekolah pada intinya mengarahkan kami menjadi anak-anak yang baik-baik saja, tidak macam-macam, senang menolong orang lain, hormat pada orang yang lebih tua, dan menjadi patriot negara.

Maka, menjadi bagian dari petugas upacara setiap Senin adalah kebanggaan dan role model saya adalah kakak-kakak Paskibraka. Saya pernah pula bercita-cita menjadi atlet bulutangkis atau tenis, sesederhana karena saya ingin mengharumkan nama bangsa.

Dengan masa kecil seperti itu, saya merasa Indonesia baik-baik saja. Hebat malah.

Keluar dari pulau itu, saya melihat Indonesia yang lain. Seorang teman di kelas bercerita bahwa kakeknya pernah ditangkap karena memasang bendera salah satu partai yang bukan berwarna kuning, tetapi warnanya merah.

“Kakekku PNS, dia tidak boleh dukung partai lain. Padahal dia pengagum Sukarno.”

Sebuah pembicaraan yang berat jika diingat kami baru kelas 6 SD.

Kemudian krisis moneter datang dan rezim tumbang.

Ilustrasi Ellena Ekarahendy

Sayangnya hal itu terjadi waktu saya sedang puber, sehingga saya lebih mementingkan kasmaran dan mengeluhkan harga kaset dan majalah yang melambung ketimbang bersimpati dengan Jakarta dan daerah-daerah lain.

Saat itu saya tidak mempertanyakan kenapa orang yang begitu hebat itu bisa dilengserkan dari jabatannya. Sejarah yang berbeda baru saya pelajari kelak di SMA karena masa remaja yang ceria telah berakhir, berganti dengan masa remaja yang emo.

Perpustakaan sekolah adalah tempat saya menghabiskan waktu istirahat sampai dijuluki “anak perpus”. Saya mulai membaca karya-karya sastra Indonesia “wajib”. Lumayan, buku-buku itu akhirnya lecek juga karena ada yang pinjam.

Dari situ, saya mulai belajar lagi sejarah Indonesia yang, hingga saya lulus SMA, masih menceritakan hal yang sama tentang peristiwa 1965.

Kuliah menjadi masa ketika mengingat masa kecil ternyata tidaklah menyenangkan. Teman-teman saya yang terpaksa memeluk salah satu dari 5 agama wajib, yang kakeknya ingin pilih partai warna lain, dan orang-orang yang tidak pernah bisa pulang atau menjadi tentara juga bagian dari nostalgia itu.

Menonton kembali film Pengkhianatan G30S/PKI tidak lagi membuat saya ingin mengharumkan nama bangsa. Dan ketika suara-suara “lain” mulai bercerita tentang hal yang tidak diajarkan di pelajaran sekolah dan betapa panjang dan melelahkannya proses mencari kebenaran, mengikuti Penataran P4 (saya generasi terakhir) dan hal-hal serupa adalah siksaan.

Begitu pun Indonesia yang dari Sabang sampai Merauke tidak sesederhana atlas yang ditunjuk-tunjuk dengan mistar panjang pada pelajaran Geografi dan profil tiap propinsi di buku RPUL. Kata-kata seperti “konflik”, dan “NKRI” jauh lebih rumit dari yang saya kira, termasuk kata “kuasa”.

Setelah itu saya mulai merasa Indonesia tidak baik-baik saja. Mudah-mudahan tidak selamanya.

--

--

Rima Febriani
INGAT 65

Born in, raised with, and exposed to the multicultural Indonesia, she’s still looking for her home