Irvine Prisilia
INGAT 65
Published in
5 min readAug 3, 2017

--

Sejarah yang Menumbalkan Bangsanya Sendiri

Illustrasi oleh Apiwat Pattalarungkhan

Di tahun 2004, saya adalah seorang mahasiswa tingkat akhir fakultas Seni Rupa dan Desain, jurusan Visual Komunikasi Desain yang sedang mencari topik untuk “Tugas Akhir”. Mahasiswa diberi kebebasan memilih topik “Tugas Akhir” yang akan dikomunikasikan dalam sebuah kampanye visual.

Buat saya tugas akhir lebih dari sekadar syarat kelulusan, tapi adalah titik kulminasi pendidikan formal yang saya kenyam hingga bangku kuliah. Karena sebenarnya kewajiban terbesar seorang mahasiswa/scholar, bukan hanya bersiap menjadi motor penggerak ekonomi tetapi juga menjadi “agent of change.”

Bermodal pemikiran tersebut, saya pun berkelana dari satu pameran seni ke pameran lain, mengunjungi berbagai komunitas kebudayaan dan organisasi non-profit demi menemukan topik tugas akhir yang membawa perubahan berarti. Sampai akhirnya, di suatu malam, saya ada di sebuah acara. Awalnya saya pikir ini acara seni apalagi diadakannya di rumah seniman Dolorosa Sinaga. Tapi ternyata bukan acara seni melainkan peluncuran buku. Dan justru di acara inilah saya dipertemukan pada sejarah kelam bangsa kita.

Buku yang diluncurkan malam itu adalah Tahun yang Tak Pernah Berakhir. Ini adalah kumpulan esai lisan tentang kesaksian dari para korban “penumpasan” PKI di negara kita. Di malam itu juga, saya seperti manusia jaman dulu yang pertama kali menerima berita bahwa bumi tidak datar. Sepulang dari acara itu, saya tidak tidur. Semalam suntuk saya menguliti setiap lembar dari buku itu dengan rasa tak percaya yang berkembang jadi gelisah.

Jadi, selama ini sejarah yang didiktekan di sekolah itu bohong? Museum Pancasila Sakti itu rekayasa? Lalu seberapa jauh kebenaran peristiwa G30S/PKI yang ditampilkan dengan begitu dramatisnya dalam film Pengkhianatan G30S/PKI?

Pertanyaan-pertanyaan itu tak hanya membuat saya gelisah tapi juga membulatkan tekad saya untuk mencari tahu tentang tragedi 1965. Tapi anehnya, semakin saya mencari tahu justru kegelisahan saya berubah menjadi rasa marah. Marah karena merasa dibodohi. Marah karena berkali-kali rakyat dijadikan tumbal dalam perjalanan sejarah bangsa ini.

Bulat sudah, saya akhirnya menemukan topik untuk tugas akhir saya. GERWANI.

Kengapa Gerwani? Sebagai perempuan, saya tidak rela cerita tentang pergerakan wanita pertama di Indonesia dimanupulasi sedemikian rupa. Gerwani yang merupakan bentuk emansipasi besar untuk memajukan perempuan dan generasi penerus di republik ini justru dijadikan kambing hitam. Sehitam-hitamnya hingga diasosiasikan sebagai pengkhianat bangsa, penyiksa jendral-jendral dan perempuan laknat. Lebih dari itu, mereka pun dijadikan korban, dicabut hak-haknya, diperkosa, dan bahkan dibunuh.

Tetapi tekad saya untuk mengangkat tentang Gerwani sebagai kampanye visual justru ditolak mentah-mentah oleh dosen pembimbing. Alasannya, apa urusannya mahasiswa Seni Rupa dan Desain dengan urusan politik negara. Lalu tahu dari mana saya kalau Gerwani itu tidak bersalah?

Penolakan menjadi pemicu untuk mengumpulkan informasi yang akan menguatkan argumentasi saya. Perlu dingat, di tahun 2004, internet belum secanggih sekarang. Google yang menjadi juru kunci jawaban atas segala pertanyaan saat itu baru saja dikenal massal. Jadi, tidak mudah untuk mencari tahu tentang Gerwani.

Bahkan di perpustakaan Nasional Indonesia tidak ada sama sekali cerita yang jelas tentang kejadian 1965, boro-boro soal Gerwani. Dan untuk membaca koran terbitan di bawah tahun 1980 saja perlu akses khusus.

Beruntung saya bertemu banyak orang yang bersedia membantu, seperti penulis Ayu Utami dan Komunitas Utan Kayu. Ayu Utami menyarankan saya untuk berkorespondensi dengan Saskia Wieringa yang kemudian mengenalkan saya pada Oey Hay Djoen yang saya sapa sebagai Opa Oey.

Hingga satu malam saya pun berkunjung ke rumah Opa Oey yang pernah dibuang ke pulau Buru karena keterlibatannya di LEKRA. Jika kita berpegang pada prinsip jurnalisme double cross-check, cerita opa Oey, Saskia Wieringa dan kisah-kisah dalam buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir klop dan sangat konsisten.

Tidak ada bukti tentang Gerwani seperti yang dituduhkan. Bahkan melalui Ben Anderson, Prof. Dr. Arif Budianto salah satu dokter yang mengotopsi jenasah para Jendral, menyatakan tidak ada bukti penyiksaan dengan silet atau kerusakan pada kelamin seperti yang dituduhkan kepada Gerwani. Yang ada hanyalah cerita horor yang sama tentang mereka yang ditangkap tanpa tuduhan jelas, lalu dipenjara tanpa pengadilan, disiksa, dibunuh dan diperkosa, karena mereka “dianggap” PKI atau terlibat dengan PKI.

Istilah “dibon” ada disetiap cerita mereka. Setiap istilah itu diucapkan, auranya begitu seram dan mengerikan, begitu dekat dengan istilah “neraka dunia”. Di dalam penjara jika mereka mendengar truk datang, sipir akan mengambil secara acak anggota dalam penjara, dan mereka akan “dibon”, penyiksaan yang hampir selalu berujung pada kematian.

Semua data dan cerita itu membuat saya siap dengan segala materi untuk tugas akhir dan tidak mau ditolak lagi. Saya pun merancang sebuah pameran seni yang menyajikan dua visualisasi tentang Gerwani. Satu merupakan imajinasi, dimana para seniman akan bekerja mewujudkan “imajinasi” karangan Orde Baru dan militer tentang anggota Gerwani (wanita liar, perangsang birahi, suka menari telanjang dan penyiksa para jendral). Dan satu lagi adalah visual sejarah yang sesungguhnya, foto anggota Gerwani, surat-surat atau naskah pendirian Gerwani dan visi misi pergerakan mereka. Lalu biarkan masyarakat yang menilai kampanye visual itu.

Besar harapan saya, ide itu akan diterima dan difasilitasi untuk pelaksanaannya. Tapi penolakan lagi-lagi terjadi. Dosen pembimbing memanggil saya secara khusus ke dalam ruangan, seperti ingin membicarakan hal yang sangat rahasia.

Dosen saya adalah seorang mahasiswa di tahun 1965. Ia melarang saya ikut campur dengan hal-hal yang berkaitan dengan politik. Ekspresi wajahnya jelas sekali memancarkan trauma ketika menasehati saya. Kata dia “Kamu tidak ada di jaman itu, sudah jangan macam-macam kamu.”

Dosen saya menolak menjelaskan apa maksud pernyataannya. Tetapi saya bisa menduga maksudnya. Apalagi orang tua saya yang cukup liberal pun teringat pada peristiwa 1998 yang menyakinkan mereka untuk menasehati saya agar menuruti perkataan dosen saya. “Kita ini keturunan Cina, apa-apa kena salah dan kamu perempuan lagi.”

Ya, saya perempuan dan saya keturunan Cina. Saya ini mudah sekali dijadikan korban dan ditakut-takuti. Teknik lama untuk memenangkan peperangan semacam adu domba dan “merusak” perempuan, masih sering dipakai oleh mereka yang ingin berkuasa di negara ini. Dan karena itulah, saya tidak mau diam saja. Saya harus berani membuka pintu berkomunikasi tentang ini. Tidak untuk menyalahkan atau membenarkan, tetapi untuk setidaknya membuat kita menjadi tahu tentang kebenaran sejarah negara kita. Agar sejarah kita bukan menjadi kepemilikan pihak yang berniat menjajah bangsa kita. Agar kita belajar bahwa negara kita masih perlu mengejar ketinggalan soal “hak asasi manusia.” Dan yang terpenting adalah generasi penerus harus tahu bahwa kita pernah menghakimi anak-anak bangsa tanpa proses pengadilan, mereka dibunuh dan distigma seumur hidup. Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai sejarahnya sendiri, sekelam apapun itu.

Pada akhirnya pameran saya memang tidak terlaksana, tapi saya diijinkan untuk mengomunikasikan dan merancang kampanye seni grafis tentang pameran yang tidak pernah ada itu. Meski demikian, setidaknya cerita saya dan Gerwani menjadi cukup sering dibicarakan di kampus. Bahkan teman-teman yang dulunya sering bercanda menggunakan ‘PKI’ dan ‘Gerwani’ sebagai sebutan bernada negatif perlahan-lahan mulai terbuka untuk mengetahui kebenaran tentang PKI dan Gerwani. Ini membuat saya semakin yakin bahwa seni dan desain adalah cara pembelajaran yang “menarik” untuk membicarakan sejarah kelam suatu bangsa. Bahkan untuk anak-anak muda yang lahir jauh dari peristiwa 1965, komunikasi visual menjadi sangat relevan dan menimbulkan gelombang kepedulian untuk mencari tahu tentang fakta sejarah.

Salah satu dari dua visual karya Tugas Akhir saya yang diikutsertakan di pameran pertama Jakarta 32ºC di Galeri Nasional Indonesia.

Tugas akhir saya hanya diganjar dengan nilai B dan saya pun tidak lulus dengan sebutan mahasiswa cum laude. Ngga masalah. Penghargaan terpenting justru saat teman-teman seangkatan menjadi tahu bahwa sejarah tentang Gerwani dan PKI yang selama ini kita dengar tidak (sepenuhnya) benar. Bahwa ada bagian dari sejarah kita yang dikubur dalam-dalam dan dihias nisan yang salah.

--

--