Soeharto dan Saya Sebagai Generasi 90-an

Giany Amorita
INGAT 65
Published in
7 min readJul 5, 2017

Usia saya baru delapan tahun ketika Soeharto lengser dari kursi kepresidenan. Saat itu saya belum memiliki banyak informasi tentang perpolitikan Indonesia kecuali ungkapan bahwa Soeharto adalah “Bapak Pembangunan”.Itulah pelajaran yang selalu diajarkan di sekolah. Saya juga mengenal Soeharto dari berita-berita di media elektronik maupun cetak bahwa sebagai presiden, Ia berhasil menekan harga bahan pangan, mengurangi kemiskinan, mengontrol angka kelahiran, dan membangun daerah-daerah tertinggal. Sehingga, menurut saya, Soeharto cukup berhasil untuk memimpin Negara Indonesia selama 32 tahun.

Rasanya sangat asing tumbuh di masa era orde baru terlebih ketika mendapatkan berita tentang politik dalam negeri. Informasi yang didapat sangat abu-abu. Ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama, saya diberitahu oleh pengemudi keluarga saya bahwa setiap tanggal 30 September ada perayaan hari kemenangan melawan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia juga menyarankan untuk menonton film “Pemberontakan G30S/PKI” yang seingat saya tidak didapatkan di sekolah, sehingga saya harus mencarinya di Youtube. Tidak banyak memori yang saya dapat mengenai film tersebut kecuali adegan tentara membunuh putri dari Jendral Nasution, Ade Irma, di kediamannya. Beberapa tahun kemudian saya mengetahui bahwa film tersebut adalah penggambaran PKI menurut Soeharto dan propaganda untuk menunjukkan kekuasaannya.

Keheningan sejarah terus berlangsung bahkan sampai ketika saya SMA, sepuluh tahun sesudah reformasi. Soeharto jatuh sakit dan guru sejarah saya mengubah mata pelajaran dengan meminta murid-muridnya mengumpulkan seluruh artikel dari Kompas lalu dikliping sampai berita Soeharto meninggal. “Ini kejadian penting dan akan memiliki nilai sejarah yang tinggi beberapa tahun lagi”, katanya. Namun, Ia tidak menjelaskan lebih jauh tentang Soeharto apalagi menyinggung peristiwa sejarah 1965. Waktu itu pun saya juga masih terjebak dengan paradigma bahwa PKI adalah sekumpulan pengkhianat dan Soeharto adalah pahlawan.

Namun pada saat yang sama saya juga mengetahui bahwa ada daftar catatan panjang dosa-dosa Soeharto yang telah diperbuat khususnya dalam persoalan hak asasi manusia. Dua informasi yang bertentangan tersebut membuat pikiran saya campur aduk, fakta tentang Soeharto yang mana yang harus saya percaya?

Dalam proses mencari tahu tentang kenyataan sejarah yang tidak pernah saya dapatkan di bangku sekolah, saya mulai memahami Komunisme sewaktu menjadi mahasiswa di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Paham Komunis yang diajarkan sangat berbeda dengan apa yang selama ini saya dengar yakni ateis, tidak beragama, bahkan saya pernah menghadiri acara yang mengartikan komunis sebagai liberalis. Betapa rendahnya pemahaman masyarakat terhadap ideologi dan betapa takutnya mereka terhadap simbol tanpa mencari tahu lebih jauh lagi.

Saya mulai merasa ada jarak antara diri saya dengan pengetahuan sejarah yang seharusnya saya dapat. Saya mulai melihat berita tentang beberapa aktivis selalu menuntut keadilan Soeharto terhadap permasalahan HAM. Beragam pertanyaan muncul; “Ada apa sebenarnya? Mengapa mereka begitu keras menuntut Soeharto? Bukankah Soeharto sudah ‘berhasil’ menyejahterahkan negeri ini dengan mengurangi kemiskinan? Mengapa Soeharto tidak dipuja layaknya pahlawan yang mampu mengatasi persoalan besar Indonesia?”. Lagi-lagi saya harus berhadapan dengan pikiran-pikiran saya sendiri antara kebenaran yang dipengaruhi oleh Orde Baru dan kebenaran lain yang saya peroleh dari sumber lain (yang belum dimanipulasi oleh Orde Baru).

Keinginan untuk mencari tahu tentang sosok Soeharto membawa saya ke peristiwa sejarah tahun 1965. Pada saat itu bulan puasa, saya memutuskan untuk menghabiskan waktu sambil menunggu saat berbuka, saya berkunjung ke Monumen Pancasila Sakti, di Taman Mini Indonesia Indah, tempat monumen para jenderal yang terbunuh yang dibuat oleh Soeharto sebagai peringatan untuk melawan komunis. Sambil menghindari teriknya matahari, saya dan seorang teman duduk di sekitar gedung yang bertuliskan “Museum Pengkhianatan PKI (Komunis)”.

Kami berbincang tentang kejadian 1965, kami memutuskan pergi ke ruangan autopsi untuk membuktikan cerita yang sering saya dengar tentang penyiletan alat vital jendral yang dilakukan oleh Gerwani. Namun, saya tidak menemukan bercak darah di sekitar kelamin jenderal, bukti, indikasi, atau petunjuk yang menunjukkan bahwa tuduhan tersebut benar. Semenjak itu, saya terus menggali informasi dan meragukan cerita yang saya dengar tentang 1965.

Kesunyian Dalam Keluarga

Membaca beberapa buku tentang 1965 membuat saya berefleksi. Dimulai dari novel-novel yang berlatar 1965 sampai buku sejarah yang dikemas dengan teknik penulisan bergaya detektif sampai buku yang ditulis John Roosa (Pretext for Mass Murder, tahun 2006). Selama membaca John Roosa saya merasa dibohongi puluhan tahun oleh pemerintah. Saya tidak mendapatkan hak saya sebagai warga negara dan pelajar untuk mendapatkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta terkait sejarah. Saya bukan korban secara langsung yang dipenjara, disiksa, atau bahkan dibunuh, saya juga tidak melihat langsung ketika peristiwa itu terjadi. Saya tidak merasakan diasingkan bahkan ditolak untuk kembali ke negara sendiri. Tetapi, pikiran saya berhasil dihilangkan dan direkayasa untuk dibentuk ulang melalui doktrin Orde “Soeharto” Baru.

Tidak hanya itu, saya juga baru mengetahui bahwa eyang saya, R. Katjasungkana, juga menjadi korban pertikaian politik 1965. Eyang merupakan salah satu inisiator Kongres Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, mewakili Pemoeda Indonesia. Kongres tersebut menghasilkan ‘Sumpah Pemuda’ yang menjadi tonggak bagi perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Beliau juga pernah anggota Dewan Nasional yang kemudian setelah Dekrit Presiden Soekarno 1959 dibubarkan dan belakangan berubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung. Setelah itu beliau terpilih sebagai anggota Majelis Permusyawatan Rakyat Sementara (MPRS) Fraksi Utusan Golongan mewakili Utusan Daerah dari Partai Nasional Indonesia, Jawa Timur.

Pada tahun 1967 ketika beliau diundang untuk menghadiri sidang istimewa MPRS , beliau dihadang masuk ke ruangan dan tidak diperbolehkan untuk mengikuti sidang karena dianggap sebagai Soekarnois. Lalu, beliau diinvestigasi oleh jaksa dari Kejaksaan Agung yang sekarang dikenal sebagai pengacara pembela hak asasi manusia (sudah almarhum).

Ibu saya tidak pernah bercerita bagian perjalanan eyang saya yang menjadi korban politik 1965 kepada anak-anaknya. Diberhentikan secara paksa tanpa uang pesangon membuat keluarga ibu saya harus bersusah payah membiayai sekolah dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sedari kecil saya yang tidak sempat bertemu dengan eyang hanya dikenalkan bahwa beliau adalah seseorang yang aktif dalam pergerakan dan juga pejuang. Kesunyian tentang kisah masa lalu juga tidak berhenti pada cerita eyang. Adik dari eyang serta istrinya yang aktif menjadi anggota LEKRA Surabaya dan terpilih menjadi anggota DPR sampai sekarang hilang. Beberapa kabar mengatakan bahwa adik eyang itu dibunuh di kebun karet di Bandung setelah dipenjara di Sukamiskin. Bahkan hingga kini, dalam keluarga besar saya sangat tabu untuk bertanya atau bercerita tentangnya.

Saya memahami alasan bahwa mereka tidak bisa secara terbuka tentang peristiwa 1965 yang berakibat hilangnya orang-orang tercinta. Ada perasaan takut, khawatir, atau bahkan demi menjaga integritas dan keamanan keluarga. Eyang saya mungkin masih bisa dibilang ‘beruntung’. Eyang tidak di penjara, disiksa, diasingkan, dibunuh, atau nasib tidak bisa pulang ke tanah air seperti yang dialami oleh eksil. Tapi, korban tetaplah korban. Mereka berhak untuk dipulihkan namanya dari stigma yang terus melekat di dirinya.

Mengenal Eksil

Ternyata korban peristiwa kejahatan HAM 1965/66 itu tidak hanya yang dibunuh, dihilangkan, dipenjarakan sewenang-wenang atau diasingkan dalam kamp tahanan Pulau Buru atau tempat-tempat lain. Ada ratusan orang lain yang waktu itu dikirim Bung Karno dan mendapat beasiswa untuk belajar di berbagai Negara khusunya negara-negara blok Timur.

Suasana waktu itu memang diliputi perang dingin dan Bung Karno dianggap condong ke China dan Uni Sovyet yang menjadi musuh Amerika (blok Barat). Mereka ini adalah the young brightest generation yang diharapkan Bung Karno untuk nantinya kembali membangun tanah air yang baru tumbuh. Setelah peristiwa 65/67 pecah, mereka diminta untuk menandatangani surat kesetiaan kepada Soeharto namun pada umumnya mereka menolak karena menganggap bahwa Bung Karno masih Presiden yang sah dan Soeharto telah melakukan kudeta terhadap Soekarno. Akibatnya paspor mereka dicabut dan mereka menjadi eksil di berbagai negara yang mau menerima mereka. Mayoritas mereka tinggal di Belanda.

Pertama kali berkenalan dengan eksil lewat tulisan “Pulang” karya Leila S Chudori lalu “Amba” oleh Laksmi Pamoentjak dan baru menyelesaikan “Lubang Buaya” yang ditulis oleh Saskia E Wieringa. Setiap kali menyelam ke dalam cerita-cerita eksil, saya selalu merasa begitu emosional. Membayangkan hidup puluhan tahun terpisah dari keluarga hanya karena sesuatu hal yang tidak mereka ketahui. Selain itu keluarga mereka masih harus mengalami stigma, disiksa, diculik, bahkan hilang.

Saya pernah bertemu salah satu eksil di Belanda. Ia tinggal di perumahan orang miskin yang diberikan oleh pemerintah Belanda bersama dengan istrinya yang berasal dari Lithuania, seorang profesor ahli bahasa Inggris. Usianya sudah menginjak 80 tahun. Sambil menikmati kue hasil panggangannya, ia bercerita meninggalkan Indonesia ke China tiga hari sebelum meletusnya peristiwa 1965 atas perintah Dipa Nusantara Aidit, untuk melanjutkan pendidikan. Waktu terjadinya 1965, ia hanya mendengar kabar melalui siaran radio tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, hal tersebut membawa dampak yang besar di dalam hidupnya. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa ibu dan istrinya dipenjara.

Belakangan, atas permintaan ibunya yang sama-sama dipenjara, demi menyelamatkan kedua anaknya yang masih balita, istrinya menikah dengan seorang tentara yang menjadi sipir penjara. Sampai suatu hari, anak perempuannya, yang masih berusia lima tahun mendapatkan makian dari ayah tirinya sebagai anak anjing, anak PKI. Mendapati dirinya dimaki, ia terus bertanya kepada ibunya mengapa ia dimaki sebagai anjing dan PKI. Anak itu mencari tahu sampai kepada keluarga ayahnya di kampung lain.

Dari keluarga besarnya, Ia mendapatkan cerita tentang ayahnya yang sedang belajar di China. Mengetahui bahwa ayahnya dianggap PKI, ia putus asa dan tidak tahan menerima ejekan dan stigma sebagai anak seorang komunis. Ia mogok makan sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit. Namun karena kurang ketatnya pengawasan, ia mencabut infus sampai akhirnya perawat telah mendapatinya meninggal dunia. Ayahnya yang eksil baru mendengar cerita ini bertahun kemudian setelah komunikasi ke Indonesia bisa dilakukan lewat segala cara. Anaknya yang lain, bahkan pernah menolak mengakuinya sebagai bapak karena merasa “dosa” bapaknya itu telah melumuri najis dalam hidupnya.

Ketika mendengar cerita itu, saya merasa sangat malu dan sedih: Mengapa saya baru mengetahui cerita semacam ini setelah saya berusia 26 tahun sekarang ini? Mengapa saya tidak pernah mendapatkan pengetahuan ini ketika masih duduk di bangku sekolah? Saya jadi kembali mempertanyakan pentingnya pelajaran Sejarah di sekolah jika hal-hal yang seharusnya bisa menjadi bahan untuk berpikir reflektif masih harus ditutupi.

Awalnya saya berpikir apa yang terjadi di masa lampau, akan hanya ada di masa lalu. Namun ternyata, jika kembali melihat peristiwa yang terjadi sekarang ini, 1965 seperti titik mula kekacauan sosial dan politik yang tentu dipengaruhi oleh kuatnya propaganda yang dilakukan pemerintahan Soeharto. Hasilnya, warisan sejarah kelam 1965 ternyata hanya membuat orang-orang teriak Komunis bahkan fobia dengan gambar palu arit. Pemahaman soal 1965 masih sebatas biner antara benar dan salah. Catatan sejarah 1965 yang ditulis oleh non-pemerintah diharapkan membantu masyarakat untuk memahami salah satu peristiwa terbesar dari negerinya sendiri.

Perjalanan untuk memutus rantai pikiran hasil orde baru masih panjang. Saya, kamu, kita semua sudah seharusnya bangun dari tidur panjang yang didongengkan oleh Soeharto. Karena, kebenaran harus diungkap, dan harus dibicarakan agar tidak terulang. Keadilan bagi korban harus ditegakkan dan sejarah harus diluruskan.

--

--