Telolet 65

Viriya Paramita Singgih
INGAT 65
Published in
6 min readJan 12, 2017

Pak Jokowi, telolet, Pak.

(Sumber: Unsplash)

Belakangan, pengguna media sosial diramaikan dengan frasa “om telolet om”. Semua berawal dari anak-anak di Jepara yang berkumpul di pinggir jalan sembari membawa kertas karton besar bertuliskan kata-kata sakti tersebut untuk menyambut bus-bus yang lalu-lalang.

Tiap kali bus lewat dan menyahut dengan bunyi klakson bervariasi, anak-anak itu sontak bertepuk tangan sambil tertawa girang. Telolet pun menjadi viral. Orang-orang membicarakannya, dari tetangga sebelah hingga musisi kenamaan dunia. Sebagian menertawakan, walau tak mengerti di mana lucunya.

Fenomena ini memang absurd, dan sekilas mirip dengan apa yang pernah dibahas oleh dramawan legendaris Eugene Ionesco puluhan tahun silam soal “kehadiran” dalam “ketiadaan”, soal bahasa yang gagal menjembatani makna.

Pemikiran tentang bahasa yang gagal menjembatani makna ini bisa kita temukan dalam lakon The Chairs garapan Ionesco pada 1952. Di sana, cerita berfokus pada perbincangan absurd dua tokoh utama, Lelaki Tua dan Wanita Tua, yang menyoal berbagai kenangan manis dan pahit dari masa lalu, entah soal kehancuran kota Paris atau soal anak lelaki mereka yang mengidap Oedipus Complex.

Sepanjang lakon, kita disuguhi perbincangan yang penuh dengan kata-kata absurd, tak masuk akal, dan bahkan kerap tak bermakna. Misalnya, kala Wanita Tua berusaha melipur lara suaminya yang tengah bertindak selayaknya anak kecil, ia berujar, “My pet, my orphan, dworfan, worfan, morphan, orphan… Orphan-ly, orphan-lay, orphan-Io, orphanloo… Li Ion laia, li Ion Ia Iay, orphan-ly, orphan-lay, releerelay, orphan-li-relee-re-Ia…

Di sini, Ionesco seakan ingin menunjukkan kegagalan bahasa dalam menjembatani makna di dalam kehidupan bermasyarakat.

Syahdan, kedatangan tamu-tamu tak kasat mata membuat situasi kian intens. Kehadiran satu tamu selalu ditandai dengan bertambahnya satu kursi kosong di atas panggung. Pasangan tua itu pun mengajak mereka semua berbincang dengan begitu bersemangat (dan klise).

Di sini, “kehadiran” kursi-kursi kosong menunjukkan “ketiadaan” tamu-tamu di atas panggung secara fisik. Walau begitu, kemunculan tamu-tamu itu — setidaknya di benak si pasangan tua — justru menekan arti keberadaan dua tokoh utama tersebut. Mendadak, pasangan tua itu berusaha keras menyesuaikan diri berbincang sesuai norma-norma kesopanan dengan tamu dari berbagai latar berbeda.

Namun, biar bagaimanapun, pada akhirnya mereka merasa tak mampu menyuarakan dirinya sendiri dengan layak. Karena itu, Lelaki Tua memutuskan untuk mendelegasikan pesan terakhirnya pada sang orator bisu dan tuli, sebelum kemudian memutuskan untuk bunuh diri, diikuti pula oleh Wanita Tua tak lama berselang, dan bahagia dalam mati.

Pak Jokowi, telolet, Pak.

Setelah lebih dari setengah abad berlalu, rasanya kian absurd untuk membicarakan tragedi 1965. Kata-kata seakan telah kehilangan kekuatannya, tenggelam dalam banalitas dan klise yang tak lagi mampu menjembatani makna.

Pertengahan 2014, pasangan calon presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla menegaskan komitmennya bila terpilih saat pemilihan umum yang akan segera berlangsung saat itu: kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu mesti segera dituntaskan. Menurut mereka, berbagai kasus HAM masa lalu—entah tragedi 1965, Talangsari 1989, atau kerusuhan Mei 1998—telah menjadi beban politik yang memberatkan perjalanan bangsa. Karena itu, semua harus dibuat terang benderang, diusut tuntas hingga ke akarnya.

Saat berkampanye di Bekasi pada 4 Juli 2014, Jokowi berujar, “Harus diselesaikan. Sudah pasti kayak gitu, kok. Itu komitmen.” Bagi para korban yang telah terlalu lama merindukan keadilan, janji itu bagai titik terang. Mereka tahu, kebenaran hanya bisa dibuka dengan seonggok keberanian.

Begitu Jokowi terpilih sebagai presiden, pemerintahannya memberikan tenggat untuk penyelesaian itu. Saat masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, pada 17 Maret 2016 Luhut Binsar Pandjaitan berujar, “Semoga tanggal 2 Mei 2016 bisa dituntaskan.”

Bila janji itu terpenuhi, pemerintahan Jokowi bakal menyelesaikan kasus-kasus berusia puluhan tahun—yang telah menelan jutaan nyawa rakyat Indonesia tanpa pandang bulu itu—dalam kisaran waktu hanya dua tahun.

Pertanyaannya kemudian: apakah mungkin?

Pak Jokowi, telolet, Pak.

“Rekonsiliasi itu tujuan akhir kita. Tapi, tujuan saya yang paling penting sebenarnya adalah bahwa dunia internasional bisa mengakui bahwa kita sudah menyelesaikan masalah HAM [terkait)] PKI [saat tragedi 1965], sehingga itu tidak menjadi beban generasi ke depan lagi,” ujar Luhut pada 18 Mei 2016, atau 16 hari setelah tenggat yang dijanjikan.

Saat itu, belum juga ada titik terang soal penyelesaian kasus HAM masa lalu. Namun, Luhut ingin dunia internasional melihat bahwa (seakan) ada kemajuan dalam prosesnya, bahkan dengan memaksakan terciptanya rekonsoliasi walau tanpa pengungkapan kebenaran terlebih dahulu.

“Rekonsiliasi yang digagas negara ini benar-benar salah kaprah, karena pada dasarnya rekonsiliasi adalah output dari pengungkapan kebenaran. Kalau misalnya rekonsiliasi dilakukan tanpa pengungkapan kebenaran, kita kan tidak tahu mana yang disebut pelaku, mana yang disebut korban, mana yang mau dipulihkan. Jadinya tidak jelas,” kata peneliti HAM Setara Institute, Ahmad Fanani Rosyidi, sebulan sebelum ucapan Luhut di atas.

Pemerintah memang berniat mencari rekonsiliasi, terutama melalui simposium nasional yang diadakan pada 18–19 April 2016 di Jakarta yang mempertemukan para korban tragedi 1965, akademisi, aktivis dan bahkan perwakilan dari pihak militer. Komnas HAM dan Dewan Pertimbangan Presiden jadi penyelenggaranya.

Tak lama berselang, sejumlah purnawirawan militer mengadakan simposium tandingan pada 1–2 Juni 2016, juga di Jakarta, yang mempertemukan para fundamentalis, perwakilan militer, dan beberapa korban tragedi Madiun 1948.

Alhasil, kedua acara tersebut hanya jadi ajang curhat dan debat. Masing-masing saling menuntut dan menyalahkan tanpa ada penyelesaian.

“Kita mengakui aksi horizontal dalam tragedi 1965, namun demikian kita harus mengakui keterlibatan negara,” kata Sidarto Danusubroto, penasihat panitia simposium April yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden.

“Yang dibutuhkan negara ini adalah untuk melupakan masa lalu dan fokus menatap masa depan,” ujar ketua simposium Juni, Letnan Jenderal (purnawirawan) Kiki Syahnakri. “Kita tak perlu membuka luka lama.”

Akhirnya malah tak keruan.

“Saya akan terus bekerja menyelesaikan masalah itu, saya jamin. Jadi masalah HAM masa lalu yang kemarin sudah tercatat untuk diselesaikan terus kita lanjutkan,” kata Wiranto pada 14 September 2016, kala ia belum lama menggantikan posisi Luhut sebagai Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. “Intinya kami tidak mengabaikan [kasus] itu.”

Selewat beberapa bulan setelah dua simposium usai dilangsungkan, masih belum ada juga titik terang. Masing-masing panitia telah menyerahkan rekomendasinya ke pemerintah, yang tak kunjung membeberkan hasilnya ke publik. Bahkan, tekanan dari dunia internasional pun seakan tak mengubah apa-apa.

Pada Juli lalu, majelis hakim internasional dari International People’s Tribunal tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan Indonesia 1965 mengumumkan bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara pasca-peristiwa 1 Oktober 1965. Kejahatan itu mencakup pembunuhan massal, penahanan dalam kondisi tak manusiawi, perbudakan orang-orang di kamp tahanan seperti di Pulau Buru, penyiksaan, penghilangan paksa, dan kekerasan seksual, yang diperkirakan melibatkan ratusan ribu korban.

Namun, pemerintah masih bergeming.

Sekali lagi, terlihat bahwa Ionesco ingin menunjukkan bahwa bahasa hanya jadi penghambat dalam kehidupan bermasyarakat. Toh usaha keras pasangan tua dalam lakon itu untuk berbahasa pada tamu-tamu tak kasatmata akhirnya hanya berujung pada kesia-siaan, pada ketiadaan.

Sama halnya dengan anak-anak di Jepara yang mencari penghiburan dari tamu-tamu berbentuk bus yang lalu-lalang di jalan, dan begitu bahagia saat “pesan”-nya diterima dan disambut dalam bentuk suara klakson lantang.

Kehadiran bus-bus itu pun jadi ironis, karena di balik setiap tepuk tangan dan sorakan anak-anak tersebut, ada banalitas yang selama ini begitu kental menyapa kehidupan mereka, yang mendorong mereka mencari penghiburan pelarian dari keseharian.

Terlebih lagi, pesan mereka, “om telolet om”, juga jadi penanda kegagalan bahasa. Mungkin aksi mereka tak akan sama menariknya bila yang ditulis adalah “Bolehkah bunyikan klaksonnya, Bapak Supir?”

Bahasa yang terpenjara norma mungkin tak pernah bisa efektif menjembatani makna sosial kehidupan anak-anak tersebut, karena mereka, biar bagaimanapun, datang dari golongan sosial yang terlampau sering “kalah” dan pasrah. Sebaliknya, kegembiraan sesaat bisa tercapai melalui kata-kata racau buatan yang sekilas terlihat tak bermakna: “telolet”.

Sama halnya pula dengan para penyintas tragedi 1965 yang sudah terlampau sering bersuara tanpa mendapatkan hasil nyata. Mereka adalah Lelaki Tua dan Wanita Tua yang telah kehabisan kata-kata, tapi terus berusaha bersuara dengan absurd soal pahit dan getir masa lalu, yang sayangnya, tak pernah berujung pada kejelasan penyelesaian.

Dan, sepanjang 2016 pemerintah hanya muncul sebagai pelengkap kesengsaraan mereka. Janji pemerintah ada, pun juga tiada. Namun, para penyintas itu tetap bertepuk tangan kala pemerintah “membunyikan klakson”-nya, dan mungkin tengah bersiap “bunuh diri” di akhir cerita, walau semua tetap sia-sia.

Lantas, kita pun hanya bisa tertawa menyaksikan segalanya.

Pak Jokowi, telolet, Pak.

--

--