Tidak Lagi Diam

Stanley Widianto
INGAT 65
Published in
3 min readAug 18, 2016
Saya akan terus menulis mengenai tragedi 1965, setidaknya sampai rehabilitasi diberikan pada korban atau sampai pemerintah menyikapi dengan bijak hasil keputusan IPT 65 beberapa waktu yang lalu. (Ilustrasi: Galih Wismoyo Sakti)

Saya seorang penulis lepas. Saya percaya bahwa seorang wartawan harus menjunjung tinggi kejujuran lebih dari apapun.

Bukan hal yang mudah bagi saya untuk mengakui kalau sebagian besar dari hidup saya selama 21 tahun ini dipenuhi oleh rasa tidak acuh dan ketidaktahuan. Jadi berkaca dengan pernyataan saya mengenai profesi wartawan di atas, saya memiliki satu pengakuan: sebagian besar dari hidup saya selama 21 tahun ini dipenuhi oleh rasa tidak acuh dan ketidaktahuan.

Saya terlahir di situasi yang nyaman. Saya tumbuh besar di saat komunitas Tionghoa tidak lagi mengalami kesulitan seperti pendahulu saya, tiga generasi sebelumnya. Barangkali Anda sudah hapal alur ceritanya: Komunitas Tionghoa menjadi target pembantaian tahun 1965–1966 (terutama di Medan, Sumatera Utara), momok massa di kerusuhan tahun 1998 di Jakarta. Anda juga mungkin tahu kalau orang tua saya harus memilih nama bahasa Indonesia.

Omong-omong, saya tumbuh besar jauh dari kerusuhan itu — kalaupun ada kebencian, kebencian itu disembunyikan. Kerusuhan itu menjadi asing bagi saya — lebih baik tidak tahu, daripada stress memikirkannya. Sekarang sudah lebih baik, kok.

Di bangku SMA rasa ingin tahu saya dan minat saya untuk membaca mulai tumbuh. Saya ingat kalau pengajaran sejarah di kelas saat itu sangat kaku. Sang guru menukar anekdot dengan dikte dan mengganti diskusi dengan penjelasan.

Pelajaran sejarah tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepala saya. Misalnya, bukankah di tahun 1998 ratusan perempuan Tionghoa diperkosa? Mengapa tidak ada di buku sejarah ini?

Namun, saat itu saya tidak mencoba mencari tahu lebih jauh. Bagaikan sebuah motto yang melandasi keputusan-keputusan saya pada masa itu, saya terima saja apa yang diberikan pada saya tanpa banyak tanya.

Saya kerap memegang motto itu hingga saya mendalami dunia jurnalistik di bangku kuliah dan menonton film dokumenter karya Joshua Oppenheimer, Jagal dan Senyap. Film tersebut dan pengetahuan tentang jurnalisme memantik kembali rasa ingin tahu saya.

Saya diingatkan kembali bahwa ada hal-hal yang disensor di buku sejarah. Saya menyadari kembali bahwa masyarakat Indonesia hidup dalam ketidaktahuan massal yang dibiarkan. Masyarakat kita dipaksa untuk melihat fakta sebagai ancaman; diskusi sebagai perlawanan; dan korban yang mencari keadilan sebagai pembuka “luka lama”.

Pengetahuan saya mengenai apa yang disebut Pengadilan Rakyat Internasional 1965 (IPT65) sebagai genosida di 1965 dan tahun-tahun sesudahnya bisa dibilang terbatas. Namun, meskipun pengetahuan saya terbatas mengenai masa itu saya tidak bisa menyangkal betapa dalam luka yang ditinggalkan bagi korban atau keluarganya.

Rasa penasaran saya mendorong saya untuk mewawancarai Joshua. Saya penasaran akan kegigihan dia membuat film Jagal dan Senyap.

Selain mewawancarai Joshua, saya juga mewawancarai Soe Tjen Marching — seorang aktivis 1965 yang memiliki semangat membara untuk memperjuangkan keadilan bagi korban 1965. Saat itu saya mengambil topik wawancara kekerasan yang dialami perempuan pada saat 1965.

Saya masih sering diterpa rasa tidak percaya diri dalam usaha saya mencari tahu lebih banyak mengenai 1965. Kadang aktivitas-aktivitas saya tidak selalu memberi saya semangat atau optimisme.

Saya sering takut bila saya tidak 100% mengerti apa yang narasumber seperti mbak Soe Tjen utarakan. Saya khawatir bila tulisan saya tidak mencerminkan apa yang mba Soe Tjen ceritakan pada saya.

Butuh waktu lama bagi saya untuk sampai pada sebuah kesimpulan yang kemudian memberi saya semangat: Setidaknya saya melakukan sesuatu.

Saya akan terus menulis mengenai tragedi 1965, setidaknya sampai rehabilitasi diberikan pada korban atau sampai pemerintah menyikapi dengan bijak hasil keputusan IPT 65 beberapa waktu yang lalu.

Saya tidak tahu apakah keadilan bisa ditegakkan. Jujur saya masih pesimistis. Namun, rasa pesimis inilah yang juga menambah kekaguman saya terhadap figur-figur di atas, jurnalis-jurnalis, dan kelompok masyarakat lain yang tidak berhenti dalam perjuangan mereka untuk keadilan. Dan tidak ada alasan mengapa Anda, atau orang-orang seumuran saya, tidak bisa kagum dengan perjuangan mereka.

Mungkin saya hidup nyaman, tapi saya tidak lagi akan diam.

--

--

Stanley Widianto
INGAT 65

dying in anybody’s footsteps. journalist / writer for The Guardian, The Jakarta Post, VICE, Daily Red Bull Music Academy, etc..