Wong Tjilik (Ordinary Citizen)

Albertus Prahasta Wibowo
INGAT 65
Published in
3 min readJan 19, 2017

Albertus Prahasta Wibowo, seorang mahasisa sinematografi, menulis skenario film pendek Wong Tjilik (Ordinary Citizen) yang disutradarai oleh Wisnu Dewa Broto. Film tersebut menceritakan soal dampak inflasi tinggi terhadap petani di 1965. Benih murah yang dijual organisasi petani menjebak mereka dalam perang ideologi.

Editor menyarankan menonton Wong Tjilik di sini sebelum membaca esai Albertus.

Albertus menulis di Ingat65 soal bagaimana trauma kekerasan 1965 terpatri dalam benaknya dan memengaruhi seni yang ia ciptakan.

Still image from Wong Tjilik (Ordinary Citizen)

Sebagai mahasiswa sinematografi yang mengambil minat di dalam penulisan naskah, ketika menulis saya mendalami, merasakan, dan membayangkan rasa yang ditorehkan ke dalam naskah.

Kebanyakan ide naskah tidak lepas dari tragedi 65. Sebenarnya saya muak. Saya mual. Seharusnya saya yang lahir sebagai generasi baru dapat memikirkan cerita yang indah-indah. Masa kini dan masa depan seharusnya bisa menjadi bahan penulisan naskah-naskah saya. Namun kebanyakan ide naskah saya tidak lepas dari tragedi 1965.

Sering saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya reinkarnasi dari tahun itu? Ah, mungkin saya yang terlalu banyak berimajinasi.

Saya lahir 14 November 1994. Artinya, baru 22 tahun saya hidup. Namun, pikiran saya tak habisnya menilik kembali ke tahun lampau dimana tragedi 65 itu terjadi.

Saya tidak tahu harus bercerita kepada siapa. Sampai akhirnya saya menemukan komunitas Ingat 65 ini. Bila saya bisa membagi cerita, mungkin beban di dalam pikiran saya akan berkurang.

Saya tidak tahu mengapa trauma ini sangat terpatri di dalam pikiran saya. Mungkin karena saat Sekolah Dasar, guru saya membawa saya dan teman-teman karyawisata ke Monumen Kesaktian Pacasila dua kali.

Ini cukup membuat tragedi ini “menghantui” dan terpatri dalam memori saya. Saya sempat membenci yang katanya penghianat bangsa. Namun semakin banyak membaca dan berdiskusi, pikiran saya terbuka.

Ketika memasuki tahun-tahun kuliah pun ide-ide film yang saya tulis tidak lepas dari tragedi 65 itu. Sulit untuk menggambarkan tragedi rumit ke dalam cerita film pendek dari sudut pandang lain. Saya pikir menguak kejahatan masa lalu dengan menampilkannya secara realis (dengan adegan penuh kekerasan) sudah tidak relevan lagi.

Setelah saya gali, banyak sudut pandang lain yang dapat diceritakan.

Film kami pernah menang di salah satu film festival di Jakarta. Artikel tentang film kami juga di tampilkan dalam web kampus untuk “membanggakan” pihak kampus. Namun, saat isu-isu “kebangkitan komunisme” mulai panas di tahun 2016, tiba-tiba artikel film kami tidak dapat diakses kembali, sangat disayangkan.

Terasa lirih pedih akan hubungan politik dan sosial yang abu-abu saat ini. Abu –abu hingga realisme tak lagi jelas. Tak jelas seperti melihat dari kacamata kuda, terkesan kejam. Kejam menyeret kaum proletar dicekoki “pengetahuan kaum borjuis. Dicekoki akan satu pandangan; yang berbeda ditebas. Hilang nyawa jadi taruhan hingga tidak ada lagi kaum pemikir, kaum kritis. Kritis akan pertanyaan-pertanyaan kehidupan sehari-hari. Pertanyaan akan kehidupan sekitar saja salah apalagi tentang politik yang abu-abu.

Mungkin saya salah menyebut politik abu-abu, entah mengapa banyak warna selain abu-abu. Ada warna-warna kemilau kemahsyuran yang didapat dari kursi-kursi jabatan.

Para kaum nasionalis garis keras memberi kaum proletar kacamata kuda. Berharap untuk terus selamanya melihat satu pandangan.

Di mana-mana sekarang banyak mata, banyak telinga, banyak mulut. Namun tidak terlihat bentuk manusianya. Muncul bermacam-macam organisasi masyarakat yang mengatasnamakan masyarakat namun berbuat tidak senonoh. Lucunya menindas masyarakat sendiri.

Ideologi dan agama saat ini dicampur adukan sampai ruwet. Dari pikiran luguku, sepertinya agama urusan pribadi masing-masing dengan Tuhan deh.

Jika memikirkan tragedi 65, mungkin saat itu terjadi “kerasukan massal”. Orang-orang kerasukan akan setan bernama fitnah. Lima ratus ribu mungkin hanya angka-angka. Kalau dieja akan menjadi kalimat bilangan tertentu. Atau, bisa menjadi setiap nama yang hilang dari bumi Ibu Pertiwi ini.

Melihat keadaan saat ini, yang tidak jauh berbeda pada saat tahun-tahun itu (65–66); isu-isu tentang agama dan ideologi menjadi penyulut sumbu yang paling cepat di masyarakat Indonesia. Sebuah ide kembali muncul yang tak lagi lepas dari bayang-bayang tragedi 65 yang terpatri dalam memori saya. Ide tersebut saya tuliskan ke dalam naskah sebagai penyusunan Tugas Akhir kuliah saya.

Sukarno pernah berkata, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sejarah memang penting. Namun, kehidupan hari ini dan esok hari akan lebih penting lagi untuk diperjuangkan seiring berdamai dengan memori-memori kelam yang terbawa dari masa lalu.

--

--

Albertus Prahasta Wibowo
INGAT 65
Writer for

Mahasiswa Sinematografi Universitas Multimedia Nusantara