Pala Bisa Berlalu Ketika Gagal Paham

Bernadinus Steni
Kaleka
Published in
3 min readApr 29, 2019
INOBU bersama Akape melaksanakan pelatihan pembuatan video untuk pemuda/i di Fakfak, Papua Barat. Video ini ini adalah video yang diproduksi oleh tim Amsar dan merupakan video terbaik.

Cerita ini diambil dari beberapa obrolan informal dan dilengkapi oleh cerita dari pak Zaenal Bae, pendiri AKAPe di Kantor AKAPe 27 Februari 2018

Tiap kali musim pala orang Fakfak turun dari gunung ke kota dengan biaya tidak sedikit. Tidak hanya disitu. Jauh sebelumnya, usaha menghasilkan pala adalah proses panjang yang mengkonsumsi waktu dan tenaga, dan tentu saja biaya. “Tanam pala harus punya perasaan”, kata petani pala, karena petani harus tau mana pala jantan dan pala betina. Tunggu 5–7 tahun berikutnya baru akan ketahuan, mana jantan dan mana betina. Jika petani tidak sensitif dengan gender pala, dia akan dirundung malang tujuh tahun berikutnya. Meskipun tidak berbuah, menebang pohon pala masih dianggap tabu.

Memusnahkan pala jantan tak berbuah dianjurkan melalui prosesi adat. Bagi orang Fakfak dan barangkali Papua pada umumnya, pala adalah harga diri yang hampir-hampir setara dengan manusia. Cerita masyarakat di beberapa kampung menuturukan, tokoh adat harus berkumpul terlebih dahulu dan memperlakukan pala seperti halnya manusia; dipakaikan baju, dimandikan, lalu disisir, persis seperti perlakukan tradisional anak perempuan. Perlakuan ini nampaknya berangkat dari suatu legenda bahwa pala adalah perempuan. Meskipun cerita ini berbeda-beda. Di dearah kokas, disebut Merrik Totora. Sementara menurut orang Mbaham Patimunin, disebut sayang. Ada semacam kepercayaan, seandainya pala ditebang tanpa permisi adat, pala-pala berikutnya tidak akan berbuah, ibarat merampas ibu dari anak-anak mereka. Keyakinan ini diikuti dengan rangkaian pengalaman berulang yang diceritakan kembali oleh orang-orang di beberapa kampung, bahwa perlakuan terhadap pala memang harus terhormat.

Contoh buah Pala Papua yang diambil dari salah satu kebun Pala di Fakfak, Papua Barat.

Ketika berbuah, mengelola panen pun ekstra keras. Terhadap pala yang berusia puluhan tahun, pemilik pala harus mengerahkan upaya untuk memanjat dengan risiko tidak kecil. Tahap berikutnya pala dikupas. Parang harus benar-benar diasah tajam untuk secara efektif mengupas dan memilah tumpukan buah pala. Disini risiko juga terjadi. Sedikit gagal konsentrasi, tangan bisa terbelah. Buah dikupas, dipisahkan antara daging buah, fuli dan tempurung biji, lalu pala dikeringkan. Bisa juga dijual mentah fuli dan bijinya sekaligus.

Jual pala kering biasanya lebih mahal karena prosesnya lebih panjang dan penjualan dipisah antara biji dan fuli. Petani bisa juga menjual mentah dengan harga akan jatuh lebih rendah. Sekarang ini harga pala dinilai Rp. 300.000 per 1000 biji mentah. Kalau dikonversikan ke pala kering, 1000 biji kurang lebih 7 Kg. Harga per kilo di pasar global konon rata-rata Rp. 210.000. Jadi seharusnya 1000 biji sama dengan Rp. 1.400.000. Jarak yang jauh antara Fakfak dan pasar global menggoreng harga itu demikian jauh.

Tidak hanya masalah geografi, tetapi juga lika liku mata rantai pasar yang mengambil sen demi sen keuntungan pala, lalu hinggap di petani hanya harga sisa. Plus kualitas akhir pala yang tidak memenuhi standar yang dituntut pasar, harga pun makin melorot. Cara-cara pengelolaannya yang belum sepenuhnya profesional, membuat kualitas akhir buah pala seringkali jauh dari standar pasar. Pada saat menjual pala, harga hampir mutlak ditentukan oleh pembeli. Petani pala bisa saja bernegosiasi tetapi tetap dalam kisaran fluktuasi harga yang ada dalam radar perhitungan pembeli. Biasanya ketika petani pala membawa hasil pala ke kota Fakfak, mereka melakukan survei singkat terhadap opsi harga yang menguntungkan. Harga paling tinggi tentulah itu yang dipilih. Lebih buruk lagi, ketidakberadaan akses informasi mengenai pasar pala dan tata niaga pala yang dihadapi petani pala di Fakfak sering kali dijadikan alat oleh beberapa oknum. Untuk mengkompensasi harga pala, tidak jarang oknum tersebut menawarkan minuman keras sebagai alat barter harga pasar pala yang layak.

Cerita seperti ini diakui dengan malu oleh beberapa warga kampung namun dengan senyuman. Seperti terjadi di banyak tempat di Papua, kepiluan acapkali dengan mudah dikonversi jadi lelucon atau mop yang melenyapkan kepedihan itu, walalu sesaat. Kelucuan adalah outlet dari apa yang oleh Freud disebut sebagai proyeksi dari pengalaman tertekan. Dalam bahas Freud sendiri, “lelucon memberikan kesenangan luar biasa dengan melepaskan kita dari rupa macam sumbatan dan memungkinkan kita untuk mengekspresikan naluri seksual, agresif, suka bermain, atau sinis, yang jika tidak demikian akan tetap tersembunyi..” Setelah mop berakhir, ingatan itu tetap terekam sambil berharap Pemerintah bisa membantu tata niaga pala, agar cerita masa lalu itu tidak terulang dalam wujud yang lain.

Penelitian yang dilakukan INOBU di Kabupaten Fakfak, Papua Barat didanai oleh the Agriculture, Livelihoods and Conservation Program, David dan Lucile Packard Foundation serta didukung oleh Earth Innovation Institute melalui Forests, Farms and Finance Initiative (didanai oleh Norwegian Agency for Development Cooperation) and the Sustainable Tropics Alliance (didanai oleh German International Climate Initiative) dan the European Forest Institute melalui European REDD Facility.

--

--