Pada tahun 1902, saat musim dingin di New York dan turun salju, Mary Anderson bepergian menggunakan bus. Setelah beberapa saat perjalanan, sang sopir turun, membuka pintu untuk membersihkan salju di kaca depan agar bisa melihat jalan.
Saat sang sopir membuka pintu, salju beserta udara dingin masuk, membuat semua penumpang kedinginan. Mungkin kebanyakan penumpang berpikir “Oh si sopir memang harus membuka pintu untuk membersihkan salju di kaca depan, mau bagaimana lagi?.”
Tapi Mary tidak diam, dia mempertanyakan kondisi saat itu. “Bagaimana jika sang sopir bisa membersihkan kaca depan dari dalam?, Jadi dia tetap bisa menyetir sambil membersihkan kaca. dan tidak perlu membuka pintu sehingga para penumpang tidak perlu merasakan hawa dingin saat perjalanan”
Setelah itu dia membuat sketsa yang menjadi awal sebuah wiper.
Form biasanya terdiri dari label dan inputan. Label adalah instruksi agar user mengerti apa yang harus ia isi di kolom inputan/isian.
Mungkin saat itu, kebanyakan orang merasa nyaman menggunakan format form yang ada.
Matt D Smith lah yang mempertanyakan kondisi itu, di tahun 2013 ia melakukan sebuah eksperimen.
Ia membuat placeholder di dalam kolom input/isian berubah menjadi label setelah user mengisi sesuatu.
Dengan cara seperti ini, form di sebuah app menjadi lebih simple dan tidak terlalu memakan ruang tapi informasinya tetap jelas. Design ini ia namakan “Floating Labels”
Di tahun 2014 Google merilis guideline Material Design, dimana di dalamnya terdapat guideline untuk penggunaan Floating Labels.
Setiap pembuatan design biasanya dimulai dari masalah. Tapi ketika kita merasa tidak ada masalah, yang sebaiknya kita lakukan adalah mempertanyakan.
Seperti mempertanyakan apakah solusi atau design yang saat ini ada bisa diubah agar lebih efektif?, apakah design yang saat ini ada bisa diubah agar user bisa mengoperasikannya lebih cepat?.
Pertanyakanlah selalu, karena ketika seorang designer berhenti mempertanyakan, disaat itulah ia berhenti berinovasi.
