Kenapa negara gagal mengelola penjara?

Lody Andrian
Intrusif_
Published in
5 min readDec 10, 2018

Statistik diatas menunjukkan bahwa status penjara Indonesia sedang tergolong krisis kapasitas. Angka perbandingan kapasitas penjara dengan penghuninya sudah tidak lagi masuk di akal sehat. Padahal katanya overcrowd di dalam penjara telah menjadi salah satu prioritas utama pemerintah di bawah kebijakan reformasi hukum. Ini telah menyebabkan berbagai masalah, termasuk kerusuhan dan pastinya penyuapan. Pertanyaannya adalah kenapa penjara bisa luber kayak gitu? Penjahatnya yang kebanyakan atau kapasitas penjaranya yang sedikit? Anggarannya kurang? Atau kurangnya respon negara terhadap isu ini? Karena saya bukan pengamat, jadi saya masuk ke dalam sistem database pemasyarakat dari Kementerian Hukum dan HAM untuk investigasi lewat data.

Distribusi penghuni lapas di seluruh Indonesia. Sumatera dan Jawa paling banyak menyumbang narapidana. Besaran chart menunjukkan banyak penghuni total narapidana dan tahanan di tiap daerah

Jumlah tindak kejahatan di negara ini memang banyak, terutama di sebelah barat Indonesia; Sumatera, Jawa dan Jakarta. Kebanyakan status penghuninya adalah narapidana, cuma Jakarta yang didominasi sama tahanan (mungkin karena banyak tahanan narkoba). Tapi ini memang persoalan klasik buat negara dunia ketiga yang belum sejahtera. Banyak tindak kejahatan yang terpaksa dilakukan oleh mereka yang tidak beruntung secara ekonomi. Maka dari itu, bisa jadi kecenderungan tindak kriminal timbul di kota-kota yang urban dan ”menuju” urban.

Masihkan ada ruang untuk para kriminal?

Jika kita membandingkan antara kapasitas dan penghuni lapas di 33 provinsi, cuma 4 yang masih punya sisa kuota; Maluku, Maluku Utara, Papua dan Yogyakarta. Itu pun sudah nyaris penuh. Sisanya? Bisa dilihat sendiri di grafik bawah ini (semakin panjang jaraknya semakin besar gap-nya):

Bagaimana cara pemerintah merespon lonjakan penghuni lapas?

Ternyata dari tahun ke tahun kecenderungan tingkat kriminal di Indonesia semakin bertambah, entah penjahatnya yang bertambah atau aparatnya yang semakin jago. Bagaimana pun juga menangkap penjahat itu bagus, tapi sayangnya dari segi penampungan pemerintah kita sama sekali tidak responsif. Data dibawah menunjukkan bahwa pembangunan kapasitas lapas cenderung stagnan, diantara tren jumlah penghuni dan perubahan anggaran yang dinamis.

Apa mungkin anggarannya kurang?

Anggaran lembaga pemasyarakatan per tahun :)

Setelah mengintip datanya, ternyata mereka lebih banyak menggunakan porsi anggaran untuk belanja pegawai, bukannya untuk modal pengembangan kapasitas penjara yang di mana sudah overcrowded dari 7 tahun yang lalu. Bahkan sebenarnya tahun ini Kementerian Hukum dan HAM memberikan tambahan anggaran sebesar 1.3 Triliyun Rupiah untuk tambah UPT (unit pengelola tahanan). Mungkin kalau dana itu jatuh ditangan Agung Podomoro, mereka bisa bangun apartemen baru di Cibitung.

Antiknya lagi, Kementerian Hukum dan HAM malah menggagas wacana pembangunan open prison ala penjara di Skandinavia supaya merubah paradigma masyarakat terhadap napi. Saya rasa mereka salah fokus, mengingat dari tahun 2012 kita sudah menghadapi masalah overcrowding. Justru biang keroknya ada di kebijakan pemenjaraan yang kurang strategis.

Apa mungkin gairah pemenjaraan yang tinggi?

Tercermin dari banyaknya produk hukum di KUHP yang bernuansa pemenjaraan kita bisa menyimpulkan bahwa gairah pemenjaraan negara kita memang sangat tinggi. Kita bisa melakukan evaluasi atas kebijakan pemidanaan kalau memang niat untuk mengantisipasi kelebihan penghuni lapas. Dan sekali lagi, merubah paradigma masyarakat harusnya bukan menjadi fokus utama untuk saat ini. Maka dari itu sebenarnya merancang alternatif pidana di luar pemenjaraan lah yang menjadi lebih penting.

Belum lagi kewenangan aparat penegak hukum di jalanan megang kurang lebih 822 produk pidana (kasus yang diatas 5 tahun penjara). Padahal, mayoritas dari kriminal yang berkontribusi pada pidana adalah kaus narkoba. Kasus yang sebenernya sudah terbukti tidak akan pernah selesai dengan cara pemenjaraan.

Menurut BNN, 21% dari pengguna narkoba pernah di tangkap oleh penegak hukum karena kasus yang sama. Kuota penghuni khusus di dalam lapas kita itu di dominasi kasus narkoba.

Sedangkan diluar sana ada 1.908.319 pengguna narkoba yang berstatus “coba pakai,” yang tergolong pengguna “teratur” jumlahnya ada sekitar 920.100 orang dan ada 489.197 “pecandu” narkoba lainnya. Kalau setengah dari mereka aja terciduk, mau ditampung dimana? Atau mereka sengaja digilir untuk bergantian masuk? Sehingga mereka yang tertuduh bisa dijadikan komoditas subur bagi polisi yang ingin disuap duit sama para keluarga tersangka. Praktik “tukar kepala” ini sering kejadian, di mana tersangka narkoba bisa menunjuk pengguna lain (cepu) untuk ditukar status “tahanan” namun dengan puluhan hingga ratusan juta rupiah mereka bisa lolos. Ini terbukti dari data BNN tahun 2017 yang menyatakan bahwa 81% dari mereka yang tertuduh narkoba dan terancam masuk penjara, “dibantu” oleh pihak keluarga yang membuat aparat kita kenyang.

Lalu apa dampaknya?

Persoalan overcrowding di penjara ini adalah masalah klasik yang tidak pernah selesai. Tahun kemarin (2017) ada 260 Napi kabur di rutan Pekanbaru. Penjara itu dalam kondisi over kapasitas, yang di mana terdapat 1.870 tahanan yang normalnya hanya untuk kapasitas 300 orang. Selama empat tahun terakhir ada lima kasus serupa di Indonesia yaitu di Banjarbaru, Jayapura, Bogor dan Kalimantan Selatan.

Overcrowding bukan hanya berdampak dari segi keamanan, namun juga dari kesehatan para penghuni lapas. Banyak dari mereka akhirnya mengidap gangguan pernapasan dan pencernaan dan tidak sedikit yang meninggal dunia. Ada alasan kenapa Kementerian Hukum dan HAM yang in-charge dalam kasus ini. Karena ini adalah hak dasar warga negara untuk mendapatkan hidup layak walaupun berstatus narapidana. Jadi negara bisa saja kena pelanggaran HAM.

Ketika kita mampu mereduksi angka penjara sesuai dengan kapasitas, hak dasar mereka sebagai warga negara juga terpenuhi. Karena tujuan utama dari lembaga permasyarakatan adalah untuk memasyarakatkan mereka, membina dan membimbing untuk bisa kembali berbaur dan berbagi ruang hidup di masyarakat. Bukan untuk jadi komoditas bagi para pengelola lapas.

Sumber data:
Sistem Database Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementrian Hukum & HAM

Referensi:
The Conversation, Jakarta Globe, The New York Times, VICE

--

--

Lody Andrian
Intrusif_

an anti-disciplinary designer with a healthy dose of skepticism | www.lodyandrian.com