Era demokrasi iliberal di Jakarta

Lody Andrian
Intrusif_
Published in
9 min readDec 6, 2017

Selagi beropini masih diperbolehkan dan demokrasi belum diharamkan

“From the wars against disorder/From the sirens night and day/From the fires of the homeless/From the ashes of the gay/Democracy is coming to the USA.” Begitu kata Leonard Cohen tentang cikal-bakal demokrasi di AS dalam lagunya ‘Democracy’, yang tiba-tiba menyelinap masuk ke playlist mingguan Spotify saya. Romantisme Cohen tadi menyulut rasa penasaran saya akan kabar demokrasi di Indonesia, terutama Jakarta yang habis dibombardir Pilkada. Dan ternyata saya tidak sendirian, jutaan rakyat internet juga penasaran dengan demokrasi di waktu yang bersamaan dengan saya. Coba lihat statistik di atas yang menunjukkan pola pencarian kata “demokrasi” di Google, yang entah kenapa selalu jatuh pada setiap akhir November sampai awal Desember secara berturut-turut dari tahun 2014. Pencarian topik terkait menunjukkan bahwa mayoritas orang mencari tahu hal-hal dasar seputar demokrasi, seperti “apa yang dimaksud dengan demokrasi,” “pengertian demokrasi,” dst, yang membuat saya berasumsi bahwa ternyata masih banyak juga orang mempertanyakan konsep yang katanya datang dari dunia sebelah Barat ini.

Berangkat dari temuan cetek itu, saya menelusuri berbagai analisis dari artikel, buku dan jurnal tentang demokrasi di Indonesia yang ternyata memiliki beragam interpretasi sejak dulu; mulai dari istilah Demokrasi Pancasila, Demokrasi Terpimpin, Illiberal Democracy, sampai Muslim Democracy, yang belakangan didengungkan oleh the New York Times dalam menilai demokrasi yang kita emban sekarang ini. Ditambah lagi mendengar seruan Habib Rizieq yang bikin laper:

“Bagi seorang Muslim, mendukung demokrasi sama buruknya seperti memakan daging babi.”

Karena saya jadi tambah penasaran, ada baiknya kita telanjangi saja demokrasi di Jakarta ini, mempelajari anatominya, membedahnya elemennya satu per satu, lalu mendiagnosa penyakitnya.

Ok, saya akan mulai dari pertanyaan sederhana:

Apakah Jakarta sudah demokratis?

Jawabannya sudah, menurut sepengetahuan saya, menurut orang-orang, menurut berita-berita, dan menurut data. Tapi Jakarta memang memiliki suhu politik yang “panas” sehingga sering mengakibatkan warganya terpolarisasi yang kemudian menyasar keragaman etnis, agama dan kelompok minoritas. Disitulah letak demokrasinya diuji. Karena demokrasi bukan hanya tentang hak pilih (elektoral), terdapat aspek lain yang harus menjamin penegakan hukum dan perlindungan terhadap kebebasan dasar (liberal). Aspek ini yang juga tidak bisa dilewati dalam menentukan seberapa sukses demokrasi tersebut berjalan, yang terdiri dari kebebasan sipil, hak-hak politik warga dan demokrasi di tingkat kelembagaan negara.

Menurut data terakhir (2016) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik tahun ini, menunjukkan bahwa posisi indeks demokrasi DKI Jakarta merosot tajam yang tadinya peringkat 1 dari 34 provinsi di Indonesia, menjadi turun ke peringkat 24. Ini adalah “prestasi” yang cukup mengagumkan bagi ibukota negara demokrasi terbesar ketiga di dunia :(

Jadi mungkin sekarang pertanyaan yang lebih tepat adalah “Apakah Jakarta masih demokratis?” Dan untuk menjawab itu, kita perlu menggali lebih dalam tiga aspek demokrasi tadi, dengan memantau perkembanganya lewat IDI (Indeks Demokrasi) yang merupakan indikator komposit untuk menunjukkan tingkat perkembangan demokrasi di Indonesia. Metodologi penghitungannya menggunakan empat sumber data, yaitu: kajian surat kabar lokal, kajian dokumen (Perda, Pergub, dll), focus group discussion, dan wawancara mendalam.

Perkembangan tiga aspek demokrasi dari tahun 2015

Kemerosotan nilai pada grafik di atas perlu mendapat perhatian yang serius karena mengindikasikan bahwa proses transisi demokrasi di Jakarta mengalami langkah mundur. Letak kemundurannya dapat dilihat dalam anatomi demokrasi di bawah ini termasuk rincian nilai pada masing-masing aspek demokrasi.

Rincian indikator pada tiga aspek demokrasi tahun 2016

Ternyata, demokrasi yang warga Jakarta dapatkan cukup menyedihkan. Tingkat kebebasan berkumpul dan berserikat kurang dari skor 50 (yang artinya buruk), peran birokrasi Pemerintah Daerah anjlok, Kebebasan Berpendapat dan Tingkat Partisipasi Politik juga jeblok. Jika dilihat perkembangannya dari tahun 2015, sepertinya demokrasi kita lagi sangat tidak bergairah:

Lalu, apa yang salah dengan demokrasi di Jakarta?

Berangkat dari data diatas, saya coba menelusuri sambil mengidentifikasi tiga pokok masalah yang menghambat demokrasi di Jakarta pada masing-masing aspek, lewat analisa gabungan dari data Indeks Demokrasi oleh BPS, the Nasional Survey Project: Economy, Society and Politics oleh Yusof Ishak Institute dan beberapa jurnal akademik lainnya. Berikut ini adalah gejala-gejalanya:

1. Kebebasan warga yang terancam oleh kelompok warga itu sendiri

Kebebasan sipil dalam variabel indeks demokrasi tahun 2016 menurun drastis. Pernah berjaya pada tahun 2010 namun terjun bebas hingga mencapai jejak terburuk sejak delapan tahun yang lalu. Tantangan dalam mengawal kebebasan sipil sekarang memang berbeda dari cara Orde Baru yang membungkam suara warga lewat cara yang militeristik. Hari ini, kebebasan berkumpul, berserikat dan berpendapat cenderung terancam dari masyarakat kita sendiri, walaupun aparat pemerintah masih sedikit berkontribusi dalam menghambat kebebasan berkumpul dan diskriminasi terhadap gender, etnis dan kelompok rentan lainnya.

Demokrasi kita sudah kebablasan,” kata Presiden Jokowi, yang diamini oleh Kapolri Jendral Tito Karnavian, yang berpendapat bahwa “kebebasan berpendapat di muka umum, kebebasan berekspresi, terlalu bebas, terlalu luas, terlalu lebar, sehingga cenderung mengarah radikalisasi,” katanya.

Menurut Mohammed Ayoob dalam Political Islam: Image and Reality, ini terjadi ketika berbagai kelompok Islam-politik berusaha mengambil peran yang terinspirasi oleh keinginan untuk menata masyarakat berdasar ideal-ideal yang diambil dari interpretasi atas Islam. Situasi ini pada akhirnya melumpuhkan fungsi masyarakat sebagai ruang saling berdialog dan sulitnya memperjuangkan aspirasi yang berlawanan. Bahkan dalam ‘lingkaran’ umat muslim sendiri, ‘perdebatan yang memecah-belah’ menjadi faktor terbesar ketika ditanya akan tantangan umat islam di Indonesia.

Mungkin ini juga yang kita alami di media sosial, di mana rentang perbedaan ideologi, identitas, atau apapun label antar individu semakin curam. Nggak heran jika kebebasan sipil kita tersunat sedikit-demi-sedikit, yang lama kelamaan secara signifikan akan mengubah lanskap demokrasi Indonesia.

2. Peran warga dalam partisipasi politik yang rendah yang masih sekedar formalitas (Pilkada/Pemilu)

Nilai yang didapatkan dalam aspek hak-hak politik sejauh ini memang tergolong sedang, namun merosot tajam dibandingkan dengan tahun 2014 dan 2015. Dan seperti yang saya bahas sedikit di awal, demokrasi bukan hanya bersifat elektoral; hak memilih dan dipilih, pemilu yang aman dan adil, dsb. Tapi ada juga hak-hak politik warga yang harus digunakan dan bagaimana pemerintah mengikut-sertakan warganya dalam pengambilan keputusan. Jadinya, isu besar disini adalah partisipasi politik warga masih dipahami hanya sebagai kehadiran dalan forum politik formal.

Hasil survey nasional yang diadakan oleh Yusof Ishak Institute menyatakan bahwa seluruh lapisan masyarakat tidak tertarik pada politik, dan bentuk partisipasinya hanya sebatas Pemilu.

Menanggapi kemerosotan ini, Bahtiar, Direktur Politik dari Kementerian Dalam Negeri malah menjadikannya kesempatan untuk menaikkan anggaran negara bagi Partai Politik yang tadinya hanya Rp 1.000 per suara (yang di mana sudah naik 10 kali lipat), ditingkatkan lagi menjadi minimal Rp 5.400 per suara. Karena menurutnya “demokrasi yang lebih sehat harus berasal dari keuangan negara.’’ Ini adalah salah satu contoh konkrit, bagaimana ketika warga negara hanya digunakan sebagai kepentingan elit politik (oligarki). Jika dibiarkan, sejumlah masalah partisipasi politik warga yang akut akan menyusul, seperti depolitisasi warga dan krisis demokrasi perwakilan.

Idealnya, demokrasi harus didasari pertukaran informasi yang mendukung berbagai perspektif mengenai kepentingan publik. Warga harus terinfluens oleh kekuatan argumen yang lebih baik daripada ‘keprihatinan’ pribadi, bias, atau pandangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada publik. Ini yang disebut-sebut sebagai deliberative democracy. Demonstrasi, kegelisahan publik dan sejenisnya, adalah harga yang harus dibayar kalau ini tidak jalan.

3. Ketidak-terbukaan informasi dan dilema institusi pemerintah dalam melangkahi birokrasi

Aspek ketiga dan terakhir adalah tingkat demokrasi dalam kelembagaan pemerintah, yang mendapati rapor paling jelek diantara aspek lainnya. Dan lagi-lagi, pencapaian kali ini (2016) juga paling rendah dari delapan tahun yang lalu. Keterbukaan informasi menjadi salah satu tantangannya. Implementasi sistem pengelolaan dan pelayanan informasi belum sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Dalam penerapan undang-undang tersebut, KPU dan institusi lainnya belum merespon dengan membentuk aturan-aturan internal dalam mempersiapkan pelayanan informasi, yang alhasil berkontribusi terhadap turunnya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi terebut. Disamping itu, publik berhak untuk mendapatkan data dan informasi yang lengkap dan up-to-date terhadap penyelenggaraan negara. Dengan kata lain: penyediaan platform open data saja belum cukup, kalau katalog dataset-nya sudah kuno.

Tantangan lainnya adalah dari internal badan pemerintah itu sendiri, yaitu pengambilan kebijakan yang harus melewati proses politik panjang yang melibatkan institusi demokratis lain seperti lembaga perwakilan (DPRD). Di satu sisi, pengambil keputusan daerah/kota harus membela kepentingan warga banyak, tapi di sisi lain juga harus melewati proses politik dan birokrasi internal yang berkepanjangan. Keduanya memang problematis. Sedangkan mayoritas warga lebih mempercayai Pemerintah Provinsi daripada wakil rakyat mereka sendiri, yang mungkin dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan yang rendah kepada pemain partai politik.

Proses publik di DPRD memang sebuah proses lazim terkait dengan penggunaan dana publik dalam sebuah sistem demokratis. Namun sayangnya lamban, dan dianggap politis. Makanya beberapa pemimpin daerah termasuk Jakarta sering menggunakan apa yang disebut sebagai Diskresi, yang di mana sengaja digunakan untuk melangkahi proses tersebut. Dan hasilnya tidak pernah berjalan mulus, figur-figur itu selalu berujung di penjara.

Tapi siapa juga yang peduli dengan demokrasi?

Lagipula demokrasi itu cuma fashion, yang dipakai negara supaya kelihatan “kebarat-baratan,” cuma jargon yang dipakai politisi ketika pemilihan umum, cuma kendaraan yang digunakan aktivis untuk bisa masuk ke dalam gedung parlemen. Warganya? tidak sedikit yang malah rindu dibawah sistem Otokrasi ala Suharto. Jadi kalau tidak peduli dengan demokrasi ya sah-sah saja. Asal paham betul konsekuensinya.

Para ilmuwan politik melihat tantangan demokrasi ada pada arus konservatisme yang tumbuh secara perlahan pada pasca reformasi. Keinginan untuk memperkuat pengaruh syariat dalam kehidupan publik semakin sering disuarakan dan mulai memperoleh dukungan yang lebih kuat. Belakangan ini, hubungan politik dan agama ini memang lagi saling menunggangi.

Mungkin bagi sebagian orang yang kelewat urban menganggap celotehan Habib Rizieq di atas sebagai lucu-lucuan, tapi tidak untuk sebagian orang lainnya. Tidak setelah seorang gubernur mau digantung di jembatan penyeberangan, tidak setelah isi ceramah Jumat’an menjadi politis, tidak setelah isi ceramah sholat ied saya diisi dengan mati syahid, dan tidak setelah 67.2% orang Indonesia setuju bahwa Hukum Syariat akan memperkuat nilai moral masyarakat Indonesia:

Bagi kalian yang paham sejarah, pasti tau kalau penunggangan antara politik dan agama itu memang biasa. Karena narasinya memang mudah dipelintir. Sebagai ilustrasi, kampanye melawan penganut Syiah dimengerti sebagai upaya melindungi persatuan dan keselamatan Indonesia. Sementara itu usaha membatasi gerak kelompok LGBTQ dipahami sebagai usaha menjaga moralitas masyarakat. Walaupun Ketuhanan yang Maha Esa, bagaimana dengan Pancasila yang egaliter, transparan dan plural?

FYI, Jakarta hampir memasuki apa yang disebut sebagai illiberal democracy, di mana kebebasan dasar warga tidak terpenuhi, tapi tetap demokrasi (dikit). Buktinya, secara akumulasi dari tiga aspek dalam Indeks demokrasi tahun kemarin saja, DKI Jakarta menempati posisi terburuk sejak 8 tahun yang lalu. Dan setiap penurunan grafik itu sama dengan cerminan menurunnya toleransi kota Jakarta untuk berbagi ruang hidup.

Saya jadi teringat kutipan dalam bukunya David Lodge yang mengatakan “you don’t know, when you make love for the last time, that you are making love for the last time.” Ini sama halnya dengan demokrasi — baik sifatnya elektoral maupun liberal. Sama kasusnya dengan warga Jerman yang memilih untuk partai Nazi pada pemilu tahun 1932, mereka tidak pernah tahu bahwa itu menjadi pemilihan umum yang terakhir (sampai perang dunia II usai).

Jadi, setelah ditelanjangi, demokrasi kita ternyata sedang tidak baik-baik saja. ada baiknya kita tutup lagi rapat-rapat, memahami gejalanya dan mengambil pelajaran dari apa yang sudah kita lihat didalamnya. Pertanyaan selanjutnya kembali lagi ke kita sebagai warga: apakah kita masih ingin berhubungan intim dengan demokrasi atau tidak?

Jika iya, gunakan hak politik semaksimal mungkin, dorong birokrasi yang manusiawi, dan silahkan rebut kembali kebebasan sipil kalian.

Referensi: Badan Pusat Statistik, Yusof Ishak Institute, Foreign Affairs, The Conversation, The New York Times, KataData, Kompas, Google Trends, Detik.com. (Untuk mengetahui metodologi pemungutan data, silahkan kunjungi situs sumbernya)

--

--

Lody Andrian
Intrusif_

an anti-disciplinary designer with a healthy dose of skepticism | www.lodyandrian.com