10 Sutradara Modern dari Cina, Hongkong, dan Taiwan

Asra Wijaya
ISH Review
Published in
8 min readAug 30, 2018

Panduan buat kamu soal pembuat pelem yang keren dalam skena Sinema Cina sejak 1980, dari Wong Kar-wai sampei Hou Hsiau Hsien.

  1. Ann Hui
A Simple Life (2011)

Film-film esensial :

Boat People (1982), The Postmodern Life of My Aunt (2006), A Simple Life (2011)

Apa yang istimewa Ann Hui?

Ann Hui telah memproduksi karya yang layak dipertimbangkan meski sering melawan arus industri film lokal. Dia anggota terkemuka Hong Kong New Wave yang tertarik pada tema perselisihan keluarga, identitas nasional, dan masalah sosial. Hui mengeksplorasi perubahan budaya lewat trilogi Vietnam-nya, yang terdiri dari episode film televisi Boy Form Vietnam (1978) dan film panjang The Story of Woo Viet (1981) dan Boat People (1982).

Ketertarikan itu juga menyisip ke karya komersial beliau seperti film crime thriller Zodiac Killers (1991), di mana seorang pelajar Cina yang hidup di Tokyo terjebak dalam dunia Yakuza yang berbahaya. Melodrama humanis Hui kerapkali mempersoalkan proses penuaan: The Postmodern Life of My Aunts (2007) menampilkan seorang pensiunan yang tabungannya diselewengkan, sementara A Simple Life (2011) dengan eloknya mengurai hubungan antara seorang produser film dengan pelayannya yang jatuh sakit.

2. Tsui Hark

Peking Opera Blues (1986)

Film-film esensial:

Zu Warriors from the Magic Mountain (1983), Peking Opera Blues (1986), The Blade (1995)

Apa yang istimewa Tsui Hark?

Seorang pengkhayal liar yang kerapkali disebut sebagai Steven Spielberg-nya Asia. Tsui Hark bakal jadi penjual karcis utama bagi eskapis lewat Zu Warriors from The Magic Mountain (1983), yang menggabungkan legenda hantu lokal dengan special-effects ala Hollywood. Hark ialah seorang ahli dalam menggali sejarah Cina dan mengalihnya ke dalam bentuk cerita seru yang menyenangkan: aksi komedi yang riuh lewat Peking Opera Blues (1986) yang berlatar selama revolusi demokratik tahun 1910-an sementara Once Upon a Time in China (1991) menceritakan petualangan pahlawan rakyat Wong Fei-hung, dan epik seni bela diri Seven Words (2005) berlatar setelah berdirinya dinasti Qing.

Tapi mahakarya estetik-nya ialah The Blade (1995), reimajinasi yang berbau psikedelik dari One-armed Swordsman (1967). Setelah mengalami rentetan kekecewaan tahun 2000-an, Hark kembali prima lewat kerjasama produksi dengan Cina daratan Detective Dee and the Mistery of the Phantom Flame (2010) dan The Flying Swords of Dragon Gate (2011).

3. Tian Zhuangzhuang

Springtime in a Small Town (2002)

Film-film esensial :

The Horse Thief (1986), The Blue Kite (1993), Springtime in a Small Town (2002)

Apa yang istimewa Tian Zhuangzhuang?

Tian Zhuangzhuang lulus dari Akademi Film Beijing tahun 1982 bersama Chen Kaige dan Zhang Yimou (ada dalam daftar ini). Karya awalnya bukti sebuah pesona etnis minoritas: On the Hunting Ground (1985) ialah sebuah film bergaya dokumenter tentang kehidupan di pedalaman Mongolia dan The Horse Thief (1986) mengeksplorasi lanskap tibet yang kasar.

Salah satu karya Tian yang paling terkenal di Barat, yang juga memperpanjang karirnya adalah The Blue Kite (1993). Film ini bermasalah dengan sensor lokal atas menggambarkan dampak Hundred Flowers Campaign, Great Leap Forward dan Cultural Revolution pada sebuah keluarga di Beijing. Dilarang menyutradarai sampai tahun 1996, Tian membimbing Generasi Keenam, kadang-kadang kembali ke kursi sutradara untuj drama kontemplatif Springtime in a Small Town (2002). Sejak itu, Tian telah menerapkan keahliannya pada film biopik yang keren The Go Master (2004) dan petualang sejarah yang ambisius The Warrior and the Wolf (2009).

4. Hou Hsiau-hsien

Goodbye South, Goodbye (1996)

Film-film esensial:

A City of Sadness (1989), Goodbye South, Goodbye (1996), Flowers of Shanghai (1998)

Apa yang spesial dari Hou Hsiau-hsien?

Komposisi yang indah, long take, dan suasana hati yang lesu ialah karakteristik karya-karya Hou, bahkan ketika berhadapan dengan konflik yang tragis. Kebanyakan film Hou berlatar transisi sosial politik yang kacau: The Time to Live and the Time to Die (1985) bercerita tentang remaja laki-laki setelah keluarganya meninggalkan Cina daratan pergi ke Taiwan tahun 1947; A City of Sadness (1989) merekam dampak pemerintahan Nasionalis Cina pasca Perang Dunia II pada sebuah keluarga Taiwan; dan The Puppetmaster (1993) tentang seorang dalang yang dipaksa menggunakan keahliannya sebagai alat propaganda di bawah penjajahan Jepang.

Rekresasi Hou pada masa lalu mencapai puncaknya lewat Flowers of Shanghai (1989), yang berlatar di romah bordir pada Konsesi Inggris tahun 1884. Perenungannya atas masyarakat kontemporer termasuk studi kriminal kecil-kecilan penipuan yang lesu lewat Goodbye South, Goodbye dan potret kehidupan malam yang menghipnotis lewat Millenium Mambo (2001).

5. Edward Yang

A Brighter Summer Day (1991)

Film-film esensial

The Terrorisers (1986), A Brighter Summer Day (1991), Yi Yi (2000)

Apa yang istimewa Edward Yang?

Film-film Edward Yang sedihnya sedikit disaksikan di barat selama hidupnya, sebab sang sutradara tidak tertarik menjual karyanya demi profit. Ia seringkali menggunakan format naratif multi-stranded, Yang mengambil urbanisasi Taiwan sebagai subjeknya: Terrorizers (1986) ialah misteri mengenai hubungan antara berbagai orang asing yang amoral; A Brighter Summer Day (1981) tentang aktivitas geng jalanan tahun 60-an; A Confucion Confusion (1994) mengkritik profesional muda yang materialistik; Mahjong (1996) berlatar dunia modern bawah tanah; Yi Yi menceritakan kehidupan keluarga kelas menengah selama setahun.

Yang muncul pada perhatian internasional ketika dianugerahi penghargaan best director di Festival Cannes tahun 2000 atas Yi Yi, tapi dia berjuang melawan kanker usus besar yang membuatnya tidak bisa membuat film sebelum akhirnya wafat tahun 2007 di usia 59 tahun.

6. Zhang Yimou

Hero (2002)

Film-film Penting

Raise the Red Lantern (1991), To Live (1994), Hero (2002)

Apa yang istimewa Zhang Yimou?

Zhang Yimou bertahan lama dengan lanskap pedesaan yang menggairahkan dan pemeran wanita ikonik Gong Li yang memulai debut dalam film Red Sorghum (1987) setelah itu dia berkolaborasi dengan Gong dalam drama-drama terkenal. Ju Dou (1990), Raise the Red Lantern (1991) dan To Live (1994) kadangkala dianggap sebagai pemuas bagi pandangan luar negeri dengan visual mewah mereka, tetapi sangat banyak dilatarbelakangi perjuangan individu saat mengkritisi kebijakan negara dari jarak sejarah berbeda.

Di tahun 2000, Zhang membawa sentuhan pelukisnya ke pasar blockbuster Cina yang sedang berkembang lewat epik wuxia yang gemilang Hero (2002), House of Flying Daggers (2004) dan Curse of the Golden Flower (2006). Meskipun Zhang identik dengan drama megah dan mengaduk-ngaduk penonton, sisi eksentrik bakat Zhang bisa ditemukan dalam hingar bingar komedi urbannya Keep Cool (1997) dan lelucon slapstik A Woman, a Gun and a Noodle Shop (2009).

7. Wong Kar-wai

Days of Being Wild (1990)

Film-film esensial:

Days of Being Wild (1990), Chungking Express (1994), In the Mood for Love (2000)

Apa yang istimewa Wong Kar-wai?

Wong Kar-wai menjadi arthouse favorit di tahun 1990-an sebagai surat cinta estetika sinematik yang menggairahkan buat Hong Kong seperti Days of Being Wild (1990), Chungking Express (1994) dan Fallen Angles (1995). Terkenal karena proses produksinya yang berlarut-larut baik dalam In the Mood for Love (2000) dan 2046 (2004) membutuhkan waktu lebih dari satu tahun untuk mengambil gambar sebab footage-nya(materi) dihapus, uraian plot-nya dibongkar, dan lokasi syuting diganti — Wong menjaga perusahannya Jet Tone tetap jalan dengan mengambil beragam proyek iklan di samping proyek impiannya.

Gaya Wong yang kentara dimulai dari kerjasamanya dengan sinematografer Australia Christopher Doyle pada kolaborasi mereka dalam romansa melankolis Happy Together (1997) mengubah Buenos Aires menjadi sebuah ruang hiper sesak bagi rindu yang tak sampai. Bintang-bintang lokal yang karismatik seperti Tony Leung, Leslie Cheung, Maggie Cheung dan diva pop Faye Wong telah berkembang di bawah arahan khas penyutradaraan Wong untuk menciptakan tokoh protagonis yang mengisi semesta mabuk-imajinasinya.

8. Tsai Ming-liang

What Time Is It There? (2001)

Film-film esensial:

Vive l’amour (1994), What Time Is It There? (2001), The Wayward Cloud (2005)

Apa yang istimewa Tsai Ming-liang?

Mencerminkan fakta bahwa ia lahir di Malaysia dengan latar belakang etnis Cina dan kemudian pindah ke Taipei, film-film Tsai Ming-liang kerap menyangkut soal dislokasi (perpindahan) seiring tokoh kesepian Tsai yang kurang rasa memiliki. Vive l’amour (1994) bercerita tentang tiga orang terasing yang tanpa sadar berbagi apartemen; What Time Is It There? (2001) selang-seling antara kehidupan PKL Taipei dan seorang perempuan yang mengunjungi Paris, yang kedua oramg itu saling terkait disebabkan penjualan sebuah jam; lalu I Don’t Want to Sleep Alone (2006) memotret seorang tunawisma yang dirawat oleh seorang pekerja imigran Bangladesh setelah dipukuli oleh geng jalanan.

Sebuah mahakarya keheningan dan kesunyian — Goodbye Dragon Inn (2003) hanya menampilkan selusin dialog — Tsai juga memiliki ketertarikan kepada sejumlah musik neo-surealis, seperti bisa dilihat di The Hole (1998) dan The Wayward Cloud (2005).

9. Jia Zhangke

Unknown Pleasures (2002)

Film-film esensial:

Platform (2000), Unknown Pleasures (2002), Still Life (2006)

Apa yang istimewa dari Jia Zhangke?

Seorang kritikus yang galak terhadap transformasi masyarakat Cina, Jia Zhangke mempelajari masalah-masalah di level akar rumput yang telah mengaburkan batas antara fakta dan fiksi karena unsur dokumenternya. Jia dalah orang pertama yang beralih ke video digital yang memperluas estetika posmedern Xiao Wu (1997) dan Platform (2000) ketika dia berganti format ke kronik pemuda yang kehilangan haknya dalam Unknown Pleasures (2002).

Sejak saat itu, dia mengalihkan perhatiannya pada akbiat globalisasi dengan The World (2004) dan Still Life, yang terakhir mengambil latar melawan proyek Tiga Bendungan Gorge. Karya dokumenter Jia termasuk Dong (2006), potret seniman Liu Xiaodong yang tumpang tindih dengan Still Life karena mengambil latar yang sama, dan I Wish I Knew (2010), sebuah sejarah Shanghai yang mencakup era 1930-an hingga sekarang yang secara resmi ditugaskan untuk 2010 World Expo.

10. Lou Ye

Suzhou River (2000)

Film-film esensial:

Suzhou River (2000), Summer Palace (2006), Spring Fever (2009)

Apa yang istimewa dari Lou Ye?

Meskipun sering bentroknya dia dengan lembaga sensor ketat Cina telah menuding Genereasi Keenam pembuat film Lo Ye sebagai tokoh kontroversial, karyanya lebih ditegaskan oleh kualitas sensualnya. Dari film noir memukaunya Suzhou River (2000) sampai adaptasi Bi Feiyu ke Blind Massage (2014), Lou menggabungkan seks dan politik menjadi efek yang meluluhlantakkan emosi seiring karakter terasing yang mengarungi lanskap urban erotis.

Summer Palace (2006) bercerita tentang pengalaman hedonis seorang pelajar wanita hedonis di Universitas Beijing di akhir 1980-an dan dampak traumatis pasca tragedi Tiananmen dalam lingkaran sosialnya; Spring Fever (2009) menceritakan seorang gay berprofesi sebagai agen travel Nanjing yang dengan santai bergonta-ganti pasangan untuk mempertahankan kebebasan seksualnya; dan Mystery (2012) bercerita tentang pengusaha yang panjat sosial dan masuk ke dalam kehidupan ganda yang berbahaya. Film-film seperti itu tidak pernah gagal untuk lekat di ingatan disebabkan cara Lou memillah provokasi sosial lewat atmosfer unik yang menggiurkan.

Diterjemahkan dari artikel John Berra di https://www.bfi.org.uk/news-opinion/news-bfi/lists/10-best-modern-directors-mainland-china-hong-kong-taiwan

--

--