Cultural Capitalism

Nawaf Alfarizki
ISH Review
Published in
3 min readJan 8, 2021
HMMMM….,COKE WITHOUT SUGAR WITHOUT CAFFEINE….(basically you drink nothing)

Hari ini kita sedang menyaksikan apa yang Žižek, seorang filsuf slovenia, sebut sebagai cultural capitalism dan bagaimana ia bekerja dalam pandangan sempit ekonomi modern. Sudah bukan jamannya bagi para produsen suatu barang berdagang hanya dengan menjual barangnya saja tanpa meninggalkan suatu bekas apapun dalam produknya, mengasosiasikan produknya dengan hal tertentu, atau menawarkan identitas bagi konsumen mereka. Hal tersebut banyak sekali terlihat dan gamblang bila kita menyaksikan produk-produk yang ditawarkan melalui iklan baik dalam televisi maupun internet. Barang yang dipromosikan sering kali tampil sejenak dalam durasi iklan dan digantikannya sisanya itu dengan adegan yang dikemas sedemikian rupa hingga tujuan utamanya adalah untuk menarik perhatian penonton. Bisa itu dengan cara lama adegan menampilkan wanita cantik demi menarik hasrat, ataupun adegan-adegan lucu dan juga haru dengan harapan bisa menarik dan memanipulasi emosi penonton. Semakin sadar mereka bahwa metode promosi ini berhasil menarik pelanggan ke produk mereka, semakin banyak hal yang mereka coba untuk manipulasi atau mainkan dari konsumen mereka.

Mereka sadar betul kalau sekedar membeli barang atau mengonsumsi, konsumen tidak akan tertarik dan biasanya tidak memilih produk mereka mengingat banyak sekali saingan. Mereka perlu sesuatu hal yang membuat konsumen terikat, akrab, dan gandrung akan produk mereka. Bahasanya, produk mereka walaupun bukan yang terbaik tetapi teringat dan terngiang di kepala konsumen. Mereka perlu membuka pasar selebar-lebarnya dan menarik konsumen sebanyak-banyaknya melihat sebenarnya banyak sekali orang yang bisa membeli produk mereka dan mereka melihat itu sebagai peluang. Seperti yang dilakukan Gillette dalam iklannya yang menunjukan bahwa mereka anti terhadap maskulinitas yang toksik dan mendorong para pria untuk saling terbuka menyuarakannya satu sama lain tentang buruknya hal tersebut. McDonald’s singapura yang menunjukan bahwa mereka adalah “rumah” dan datanglah ke McDonald’s seperti pulang ke rumah dengan nyaman seakan mereka adalah keluarga. Mereka seolah sangat dekat sekali dan tahu apa yang masyarakat singapura rasakan dan butuhkan. Tak kalah mentos, sebuah merek permen, merasa dunia kini sudah sangat individualistik. Orang setiap hari berlalu-lalang tanpa bertegur sapa satu sama lain. Mentos seakan tahu bahwa ada bahkan banyak permasalahan yang disebabkan dari masyarakat yang individualis ini. Oleh karenanya mereka, melalui konsumsi terhadap produknya, mendorong orang untuk saling tegur sapa satu sama lain dan memberi kesan melalui iklannya bahwa itu hal yang indah -“wholesome”- untuk dilakukan. Dengan semua pesan yang disampaikan melalui promosi produk mereka, para perusahaan besar seakan paham akan kebajikan padahal semua usaha diatas mereka lakukan hanya untuk mendatangkan keuntungan melalui jumlah konsumen yang lebih besar. Dari sini para konsumen dibuat bahwa mereka bukan sekedar konsumer saja, mereka adalah bagian besar perubahan atau budaya yang baik. Padahal tetap saja yang mereka lakukan hanya mengonsumsi produk dan sebetulnya tidak berkontribusi apa-apa terhadap sesuatu secara nyata. Mereka hanya memperparah budaya konsumerisme yang hampir destruktif ini. Memperparah konsumerisme ketahap dimana ketertarikan dan aktivitas budaya manusia menjadi pendorong utama konsumsi.

Žižek memperingati kita bila kita terus berpartisipasi dalam budaya konsumerisme ini, akan sulit bagi kita untuk melihat permasalahan sebenarnya. Seperti contoh masyarakat individualis, kiranya kita harus memahami kondisi lingkungan masyarakat kita yang memang sangat kompetitif dalam berbagai bidang. Kita diajarkan untuk memperbaiki dan meningkatkan diri sendiri dan fokus dengan tujuan masing-masing yang unik demi menaklukan persaingan. Cukuplah hal tersebut membuat banyak dari kita terasing sendiri dan terabaikan. Mungkin bertegur sapa sambil berbagi mentos akan membuat hari kita jadi lebih baik. Akan tetapi, akar permasalahan ekstrimnya persaingan di berbagai bidang kehidupan akan tetap membuat masyarakat kita individualis. Disitu kita melihat sebenarnya hanya dengan mengonsumsi tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan berpotensi membuat kita bersikap abai karena sudah cukup melakukan sesuatu dan tidak mau berpikir lebih tentang suatu masalah. Solusi-solusi instan ini yang berbahaya berpotensi melanggengkan banyak masalah seperti contohnya individualisme. Lebih baik kita menolak aksi-aksi instan yang terkesan solutif dan memilih untuk berdiam dan berpikir akan masalah-masalah yang ada. Seperti kata Žižek “Don’t act just think!”.

McD : https://www.youtube.com/watch?v=P_XqDEJaMkg

Gillette : https://www.youtube.com/watch?v=koPmuEyP3a0

Mentos Ads : https://www.youtube.com/watch?v=HIHvQmPiZ_Y&t=32s

Žižek on cultural capitalism : https://www.youtube.com/watch?v=hpAMbpQ8J7g&feature=youtu.be

--

--