Hikajat Pohon Toeri: Sebuah Delikuensi atas Pledoi Goerindam Djiwa Limabélas

MasChoi
ISH Review
Published in
8 min readJan 22, 2018

Tidak seperti Gurindam Duabelas-nya Raja Ali Haji yang dikategorikan sebagai Syi’r al-Irsyadi atau puisi didaktik, Goerindam Djiwa Limabélas adalah karya yang memasukkan unsur-unsur eksistensial pengarangnya. Perihal bermesraan dengan kekasih (Mahbub) juga akan sering ditemui di fasal-fasal terakhirnya. Jarang dijumpai petuah-petuah di dalamnya. Bahkan bisa dibilang tidak ada. Dalam beberapa fasal dia memasukkan alegori Mantiq al-Thayr (alegori sufi yang besar pengaruhnya terhadap sastra Islam Persia, Urdu dan Melayu). Lebih dari itu, fakta lainnya ialah karya tersebut terbit berbarengan dengan gurindam duabelas. Tapi mana yang lebih dulu diterbitkan, masih menjadi perdebatan sampai sekarang.

Karya ini diterbitkan tahun 1854 dalam Tijdschrft van het Bataviaasch Genootschap No. II, Batavia, berjudul aksara Arab كورىندام جىوا لىمابلاس. Orang yang menerjemahkan Goerindam Djiwa Limabélas adalah orang yang sama dengan penerjemah Gurindam Duabelas. Elsa Netscher namanya.

Saya mendapatkan karya ini dari Ros, saudara jauh dari garis keturunan kakek ayah saya, Haji Ngusman (semoga karunia ilmu menyelimuti beliau). Judulnya sudah tidak lagi memakai huruf Arab melainkan ejaan van Ophuijsen. Karena kita tahu van Ophuijsen menulis buku berjudul Woordenlijst voor de spelling der Malaisch taal met Latijnch karakter (Perbendaharaan Kosakata: daftar kata untuk ejaan bahasa Melayu dalam huruf Latin) itu baru tahun 1901 di Batavia. Maka, ada perbedaan waktu sejarah di antara karya yang lampau dengan karya yang ada di tangan saya sekarang. Misal dalam penggunaan kata “Tuan”, yang dipertentangkan dengan Nyonya, dengan kata “Tuan” yang netral dan tidak bergender.

Goerindam Djiwa Limabélas ditulis oleh Fatkhur Rozi, seorang sarjana dari Aceh Singkil yang berkesempatan mengenyam pendidikan di Universitas Salamanca, Spanyol. Tidak ada tahun pasti kapan dia hidup bahkan tahun wafatnya juga. Hanya beberapa catatan dari dokumen-dokumen Hikajat Melayu tulisan Datuk Hamid, yang menyebutkan bahwa dia berkemungkinan mendapat pengaruh dari Fariduddin al-Aththar dan Abdur Rahman al-Jami. Sementara itu buku Silsilah Tarekat di Tanah Melayu karangan Muhammad Fakih, menyebutkan bahwa dia mendapat pengaruh dari Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumatrani. Tentu kita tidak bisa menyimpulkan tahun hidup sang pengarang berdasarkan terpengaruh oleh siapa dia. Sebagaimana kita tahu juga, Hamzah Fansuri-pun terpengaruh dengan Abdur Rahman al-Jami dan Fariduddin al-Aththar.

Sebagai pengikut tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani, Fatkhur Rozi memasukkan kehidupan guru murid dalam bingkaian mitos burung elang dan burung pipit. Sesuai dengan keluwesan tarekatnya, dia-pun nantinya memoles beberapa sub kategori dari tarekat Qadriyah. Ia tetap menaruh hormat kepada sang guru dengan kerendah-hatian pemikirannya. Hal ini bisa kita lihat dalam kata pengantarnya halaman tiga, yang mengutip puisi Zuhair bin Abi Sulma;

ما ارانا نقول إلاّ معارا # او معاذا من لفظنا مكرورا

Apa yang kami ucapkan waktu ini, tidak lain hanyalah jiplakan (tiruan) atau ulangan dari ucapan syair di masa lampau.

Fatkhur Rozi tidak mempermasalahkan tentang nasihat. Karena baginya, hidup itu sendiri merupakan nasihat yang niscaya sekaligus konkret. Bahkan ombak yang selalu memecah pantai, kokok ayam di pagi hari, pergunjingan ibu-ibu, bahkan semua hal di dunia ini merupakan nasihat.

Saya tidak membaca semua isi karya ini, karena bagaimanapun bahasa yang saya kuasai sangat terbatas. Terlebih beberapa bait dari fasal keempat menggunakan bahasa Melayu Kuno, yang memang saya tidak mengerti walaupun sudah dicoba di google translate. Kata-kata yang bisa saya pahami hanya sebatas kata-kata yang mirip bahasa Indonesia sekarang. Misalnya tatkālāña = tatkalanya, talāga = telaga, wuaḥña = buahnya. Selain dari itu saya tidak paham.

Kemudian saya memasukkan ke dalam almari, buku pemberian Ros itu, untuk dijadikan bahan penulisan-penulisan saya selanjutnya.

***

Waktu itu memang warung Abah sedang ramai-ramainya. Tak ayal Ros yang baru datang untuk memesan kopi dan indomie sambal matah terpaksa mojok di bangku paling ujung. Bangku yang lain penuh dengan bapak-bapak yang baru saja pulang kerja dan mampir di Abah.

Menunggu pesanan tiba, Ros mengambil salah satu majalah yang tergeletak di meja, di samping wadah sendok dan garpu. Dibukanya halaman demi halaman. Hal itu sangat memungkinkan karena pesanannya agak lebih lama dari biasanya. Majalah tersebut adalah majalah Sorak Seruni, edisi 12 Januari 2004. Majalah yang fokus kepada isu-isu perkotaan dengan segala silang-sengkarutnya. Ros yang tertarik dengan beberapa judul di dalam majalah itu, sekonyong-konyong memutuskan untuk memfokuskan dirinya terhadap karya tersebut.

Tepatnya di halaman 23, Ros menemukan sebuah tajuk rencana berjudul, “Matinya Negeri Kauman Setelah Bangkitnya Suatu Negeri yang Baru.” Artikel tersebut menyoroti tentang fenomena runtuhnya kehidupan desa yang digantikan oleh kehidupan kota. Penulisnya adalah Pak Yar, seorang guru besar di Universitas Sri Kedaton, Yogyakarta.

Pak Yar mengawali tulisannya dengan asal-usul nama Kauman. Kauman konon berasal dari sebutan kepada penghulu. Untuk merujuk suatu golongan qoyyim yang artinya petugas yang berkuasa (Qayyim ‘alal amr) atau disebut juga golongan Qawim atau “petugas yang bertindak dengan benar”. Dari kata-kata itu lalu menjadi “Kaum” yang lebih sesuai dengan lidah Jawa. Para pegawai penghulu kemudian dipanggil “Pak Kaum” oleh masyarakat. Dari kata “kaum” inilah melahirkan sebutan “Kauman”.

Kemudian, Pak Yar menceritakan tentang binasanya para penghulu tadi, mulai dari faktor Soempah Pemoeda, agresi militer, kudeta PKI, sampai dengan era represi di Nusantara. Kauman sendiri telah berubah menjadi kota dengan pertunjukan yang ramai, menuntut kemajuan bagi para penduduknya. Akibatnya, usia kawin dari penduduknya relatif lebih lama dari tahun sebelum-sebelumnya. Inilah yang mengakibatkan beberapa penghulu banting setir untuk sekadar memenuhi kebutuhannya. Mengenai hal ini Pak Yar menambahkan, bahwa tahun-tahun sebelumnya memang para penghulu juga jarang yang murni menjadi penghulu, bahkan kadang juga ada yang sambil bertani atau berjualan di pasar. Seiring dengan target kemajuan suatu negara, maka desa-desa sudah tidak memungkinkan lagi untuk dijadikan habitat bagi makhluk hidup.

Kemudian Pak Yar juga memasukkan tembang/lagu Caping Gunung ciptaan almarhum Si Mbah Gesang. Demi memenuhi ambisinya untuk merangkul sendi-sendi kepenyairan yang sudah ditinggalkan dalam analisis kebijakan kota dan desa.

Dhek jaman berjuang (Ketika masa perjuangan)

Njuk kelingan anak lanang (Tetiba aku teringat akan putraku)

Biyen tak openi (Dulu aku rawat)

Ning saiki ana ngendi (Namun sekarang entah di mana)

Jarene wis menang (Katanya sudah merdeka)

Keturutan sing digadang (Terpenuhi apa yang diinginkan)

Biyen ninggal janji (Dulu pernah berjanji)

Ning saiki apa lali (Namun sekarang apakah lupa)

Ning gunung (Di gunung)

Tak jadongi sega jagung (Kubekali/kukasih makan nasi jagung)

Yen mendung (Kalau mendung)

Tak silihi caping gunung (Kupinjami caping gunung)

Sukur bisa nyawang (Syukurlah jika dia bisa melihat)

Gunung desa dadi reja (Kini gunung desa makin ramai)

Dene ora ilang (Hingga takkan hilang)

Gone padha lara lapa (Kenangan dulu ketika susah)

Analisis lagu itu dimulai dari halaman 27. Pak Yar menafsirkan karya tersebut dengan metode Heuristik dan Hermeneutik. Hal itu membuat artikelnya sampai 10 halaman panjangnya. Hal yang tak umum untuk ukuran majalah sekaliber majalah Sorak Seruni.

Ros yang telah membaca beberapa karya Pak Yar sebelumnya, tentu dapat membedakan tulisan-tulisan beliau sebelum tahun 1994 dan sesudahnya. Karena Ros mafhum bahwa sebelum menjadi guru besar di Universitas Sri Kedaton, Pak Yar juga pernah mengampu mata kuliah ber-genre Filsafat Islam di Universitas Teuku Muda Aceh Singkil. Tak ayal, jikalau kita menelisik karya-karya-nya yang lampau, beliau sering mengutip Fashl al-Maqāl fīmā bayn al-Hikmah wa s-Syarī‘ah min al-Ittishāl karya Ibnu Rusyd dan cendekiawan-cendekiawan muslim lainnya. Tapi lambat laun dia mulai mempelajari karya-karya daerahnya sendiri atau dengan cakupan nusantara. Hal ini sejalan dengan sudah tidak kuatnya pikiran beliau bila sudah membaca teks-teks yang njlimet. Dia juga ingin membuktikan tesis Joss Wibisono, sejarawan yang menyalahkan van Ophuijsen. Yang mana menurutnya telah menjadikan derajat bahasa Melayu Riau (Riouw Maleisch) lebih tinggi daripada Melayu pasar (laag Maleis) yang memang digunakan secara meluas oleh khalayak di Nusantara dulu.

Ros kemudian beralih dari Seruni ke Indomie Abah yang sudah terhidang. Lezatnya indomie belum dapat dikalahkan oleh lezatnya analisis Pak Yar sedari tadi. Sehingga, lahaplah dia. Tanpa sisa.

***

Berita ini diambil dari surat kabar Suara Jateng tanggal 22 Januari 2018. Adapun inti berita tersebut adalah meninggalnya dua orang pemuda dan kumpulan kertas-kertas yang berisi surat-surat wasiat dari Haji Ngusman sebelum beliau meninggal 30 tahun lalu. Surat tersebut ditemukan di samping dua jenazah yang sudah membusuk dua hari di kamar kos salah satu dari mereka.

Isinya memang secara sederhana mirip nasihat-nasihat yang terdapat di dalam tembang gubahan walisongo tempo dulu. Salah satunya tentang Hikajat Pohon Turi.

http://www.tanobat.com

…Dengan Gusti Allah sebagai penyambung di antara kita. Tulisan-tulisan ini saya tujukan kepada buyut-buyut saya yang akan mengarungi mahligai kehidupan dunia nantinya…

Begitu pembuka dari surat tersebut, kemudian dilanjut dengan penjelasan-penjelasan sebuah petuah orang tua.

Turi-turi Putih, turi adalah perlambang dari kata “pitutur” (petuah/omongan), sementara putih yang melambangkan kain kafan. Artinya kurang lebih “buyutku saya akan kasih tahu kepada kalian..bahwa manusia akan merasakan mati. Entah bagaimanapun indah atau sedih hidupnya, itulah satu-satunya kepastian yang kalian punyai”. Ditandur neng kebon agung, “kebon agung” disini artinya adalah pemakaman. Kita akan dikuburkan di pemakaman, seperti ditanamnya pohon turi. Menancap begitu saja. Ono cleret tibo nyemplung artinya ada suatu kilatan yang terjatuh, bahwa ketika manusia diceburkan ke dalam perut bumi cuma ibarat kilatan saja. Hal ini juga berlaku bahwa apa saja yang kalian punyai di dunia ini hanya sementara, sekaligus apa yang kalian tidak punyai juga hanya sementara. Hanya sekedar “cleret” (kilatan). Mbo iro artinya kamu kira. Ini adalah sebuah sinisme sekaligus skeptisme untuk mengingatkan kalian wahai buyut-buyutku. Kembange opo artinya adalah bunganya apa. Merupakan perlambang kebaikan atau bekal yang sudah dilakukan selama hidup. Janganlah kalian menyakiti sesama, apalagi dalam satu keluarga. Bahwa merekalah yang membantu kalian, ketika kalian sedang rindu dengan yang namanya masa lalu. Tandurane tanduran kembang artinya tanamannya adalah tanaman bunga melambangkan bahwa manusia masih diberi kesempatan untuk hidup. Bunga itulah yang akan kalian tuai. Aku sebagai buyutmu, tidak berharap kalian menjadi orang baik. Hanya saja jadilah orang yang sanggup menerima konsekuensi tentang apa yang telah kalian lakukan. Kembang kenongo ing njero guwo, bunga kenanga yang ada di dalam gua maksudnya semua perbuatan baik ataupun buruk yang telah dilakukan selama hidup akan menemani ketika di liang kubur. Sekali jangan jadi manusia murahan yang mencoreng nama keluarga. Tetaplah “andhap asor”. Tumpakane kereta jowo rodo papat rupo menungso, menaiki kereta jawa yang beroda empat berupa manusia yang menggambarkan dihantarnya manusia ke liang kubur dengan orang-orang yang memanggul kerandanya. Jangan lupa akan kehidupan sekitar, bahwa mereka jualah yang akan mengurus kalian ketika kalian mati sekalipun. Etan kali kulon kali tengah tengah tanduran pari, saiki ngaji sesok yho ngaji ayo nderek poro kyai, ini adalah pantun yang artinya timur sungai barat sungai tengah-tengah tanaman padi.. sekarang mengaji besok juga mengaji ayo ikuti para kiyai.., menasehatkan kepada kalian untuk selalu mencari ilmu dari berbagai tempat dan untuk selalu hormat kepada para guru-guru kalian. Ingatlah selalu akan tata krama terhadap guru, kitab, dan tempat kalian mencari ilmu. Hal ini mungkin jarang akan kalian temui di zaman kalian.

Dari hasil penyelidikan polisi, kedua jenazah mati karena dibunuh, sampai sekarang belum tahu siapa pelaku dan apa motifnya. Tanda yang jelas didapatkan polisi adalah luka sayatan kecil yang sudah mengering di urat nadi leher mereka berdua. Masing-masing di kiri dan kanan. Seminggu yang lalu, dikabarkan juga ada kematian seorang kakek tua yang sudah lama dicari pihak keluarganya. Dia bernama Suyarmoko Mondoteko. Sampai sekarang-pun belum diketahui penyebab pasti kematian kakek tersebut.

Setelah semua tim penyelidik meninggalkan lokasi kejadian. Terdapat sosok bayangan putih dengan memakai kopyah ala tahun 50-an. Dia membungkuk sambil memungut secarik kertas yang robek di pinggir kirinya. Kertas tersebut hanya terbaca sebagian. Bagian yang dapat dibaca tersebut berbunyi

…Setelah kalian membaca Goerindam Djiwa Limabélas ini mungkin hidup kalian tidak akan lama lagi… Maafkan kesalahan moyang kalian terdahulu…berserahlah nak…

Sejurus kemudian bayangan putih tersebut menghilang diterpa angin sambil menyunggingkan senyum di bibirnya.

--

--