I. Piknik Pertama dengan Anarkis

Haris W
ISH Review
Published in
5 min readMay 3, 2018

Pernah sekali waktu aku jadi buruh, jadi guru, tak bertahan dua minggu.

Tiga tahun belakangan, aku mengunci pintu dari kerumunan, menahan diri terlibat dengan apapun dari wacana massa. Sebisa mungkin hanya menulis selain tentang diri sendiri jika tak ada desak-keharusan untuk menjalin hubungan dengan orang lain lewat teks. Setelah minggu yang lalu berbincang dengan beberapa kawan dekat — tentang hubungan individu dengan sosial, juga tentang kebebasan yang tak selalu sejati — aku putuskan membawa diriku, merelakannya tenggelam di antara jejalan badan-badan lain dalam massa lantas berupaya mendapatkan kembali diri sendiri; mungkin agak berbeda dengan sekarung kentang, semacam segelembung buih di antara ombak pinggir pantai.

Pagi-pagi sekali aku bangun dan berangkat ke tempat berkumpul demi mengikuti parade Hari Buruh Internasional. Kepentinganku seketika lebur saja saat tercemplung dalam barisan pemuda anarkis, yang sebagaian besar kira-kira berumur 20-an sampai awal 30-an tahun, berpakaian serba hitam di antara kibaran bendera-bendera hitam, hitam-merah, dan huruf A dikelilingi lingkaran. Kami berjalan beriringan dalam barisan rapat, dengan yel-yel anti kapitalisme, juga lagu Internasionale dan buruh-tani; melewati rute memutar, untuk terlebih dahulu bergabung dengan barisan serikat-serikat buruh, sampai ke titik akhir Gedung Sate.

Sebagai seorang pengangguran, kegiatanku sehari-hari adalah melamun, sesekali pura-pura berpikir, bertemu kawan, bercanda jayus, dan kalau mendapatkan sedikit keberanian, menulis. Hanya sebagian kecil tulisanku yang menghasilkan upah, sisanya kusimpan saja dalam kardus. Koran-koran menolak. Masalahnya tak lain itu tadi, kekurangan keberanian.

Upaya-upayaku tersebut dalam hidup luntang-lantung seperti sekarang tidaklah bisa disebut kerja. Tanggung jawabku bukanlah pada seorang bos melainkan pada beberapa teman yang mendukung dengan berdiskusi atau sesekali menawarkan jadi kuli desain poster serabutan, atau beberapa kerabat dan keluarga yang tak jarang mendukung secara finansial. Maka keberadaanku di sana hari itu terasa salah tempat.

Posisi politikku — berdasarkan tindak-tanduk serta pendapat-pendapat yang kuungkapkan selama ini, walaupun sebenarnya jarang sekali mengungkapkan pendapat politik — bisa tergambar jelas dalam lagu Baby! I’m an Anarchist, yang mana aku masuk spesies spineless liberal, morat-marit kabur saat barisan mulai melempari kaca jendela warkop starbucks dalam parade di Seattle. Kalaupun ada yang menyebutku seorang anarkis, aku mungkin tanggapi dengan, “iya, anarkis-kapitalis.”

Dan hari ini pun kami melintasi salah satu gerai warkop multinasional tersebut. Aku sempat tersentak panik saat mendengar suara-suara rusuh dari beberapa baris di depan, beberapa orang merembes keluar barisan, mencoret tembok, dan melempari warkop tersebut dengan macam-macam benda, mungkin botol plastik, sambil berseru “fuck!” Ditambah lagi asap warna-warni mengepul ditiup angin, menyesakkan pernapasan, bau petasan. Siapa bisa tahan tenang? Aku pun lantas ikut berseru sebab darah kadung berdesir.

Di dalam barisan belakang yang kebanyakan merupakan anak sekolah menengah, terdengar sorak-sorai yel antifa dan hooligan. Aku sempat kehilangan diri lalu ikut berlari sambil berteriak “hoo hoo.” Terbayang sekian detik di masa depan, pemuda bertopi merah muda ini meradang, melempar kamera yang ia bawa ke arah pramusaji yang memandangi keributan di balik salah satu jendela. Tetapi urung, ia ingat properti ini akan sulit diperoleh lagi dalam beberapa tahun ke depan. Lagi pula, insiden tersebut berlangsung singkat. Beberapa menit kemudian keadaan tertib kembali oleh beberapa koordinator lapangan yang menyerukan kepada khalayak yang rusuh “Mereka juga buruh!”

Siapa buruh?

Alangkah sulit tenang dalam cerita ini. Di beberapa kesempatan, umpatan melayang kepada pengendara yang di seberang jalan, juga ke arah toko dan pengunjung-pengunjungnya yang sedang santai menyesap kopi. Lain lagi kepada pak tua yang sedang memperbaiki atap toko, yang entah miliknya atau bukan, pertanyaan terbang dengan akrab,“ga libur mang?” Lain lagi kepada polisi, kami pun menyapa mereka yang berdiri di pinggir-pingir jalan dengan “ACAB” dan “fuck the police!” setiap kali seragam mereka terlihat. Aku pun menikmatinya.

Tetapi jika diperhatikan lekat-lekat, sebagian lain peserta parade menunjukkan gelagat tenang. Postur tubuh mereka terjaga rileks, terutama bagian bahu dan punggung. Saat terjadi keributan, mereka diam tak bergeming, bukan melarang atau meneriaki balik kawan lain yang terpelatuk melainkan lanjut berlalu sewajarnya. Mungkin mereka tahu ada sebagian kawan yang bertugas untuk menenangkan kerusuhan dengan sedikit hentakan. Mereka pun tahu peran mereka di saat-saat itu adalah sebatas menyebarkan ketenangan. Andai gestur mereka bisa tertangkap kamera.

Baru kurasakan benar saat mengikuti urusan ini dari awal sampai akhir bahwa parade terisi banyak waktu kosong. Tak ada kesibukan selain bengong. Kekosongan tersebut lahir setiap saat barisan berhenti, untuk menunggu jalanan dibebaskan dari kendaraan atau memberi kesempatan bagi kami untuk beristirahat. Dari sekian jam yang kuhabiskan sejak pukul delapan pagi, sekitar separuhnya kurasa adalah berdesakan di bawah terik matahari.

Pada jenak-jenak tertentu, beberapa memanfaatkannya dengan menghampiri bapak-bapak pedagang asongan terdekat, untuk sekadar beli air minum atau sebatang rokok, atau sekadar duduk melemaskan otot-otot. Saat beristirahat di monumen juang, kami berseliweran mencari pohon-pohon untuk berteduh. Namun kulihat tak ada yang pergi lebih jauh buat makan cuanki. Paling pol, cendol.

Mendekati gedung sate, dari jauh terdengar lagu Indonesia Raya dari arah barisan buruh yang sudah tiba lebih dahulu. Kudengar beberapa ikut bernyanyi sayup-sayup dari barisan kami, “… tumpah darahku… berdiri… ibuku… dan tanah airku… berseru… bersatu…” Mendengar ini, Aku merasa agak terganggu. Sejak kecil aku tidak bisa mengerti konsep negara. Dan lagi, lagu tersebut mengudara langsung di atas barisan para anarkis.

Sampai di depan gedung sate, bersama para buruh berseragam merah, kami mendengarkan orasi-orasi. Tak lama kemudian, barisan luruh ke sekitar. Dengan santai kami terpecah, merelakan kerekatan sepanjang perjalanan parade. Lalu suasana menjadi cair, seorang mencari kawannya yang sempat terpisah, ada pula yang berkenalan, sekadar duduk berbincang, menghampiri mamang bakso, dan aku memesan es jeruk.

Aku sempat mengira kami tidak punya agenda saat memandangi barisan buruh yang masih rapat dan asik mendengarkan orasi-orasi. Namun dalam kebingungan itu, ketika tak ada suara toa yang mesti didengarkan, tak ada lagi yel yang mesti diteriakkan, dan tak ada angin untuk ditinju, aku membatin, “bagaimana kalau tujuan hari ini adalah sebatas piknik?”

Kuingat tentang beberapa kawan yang memang giat dalam barisan ini di luar parade hari itu. Mereka, orang-orang bermasker yang sama ini, yang kita pandang dengan alis ke langit, tak jarang menggelar kegiatan solidaritas berbagai bentuk atas sebagian kita yang rawan: yang kehilangan rumah, yang terancam penghidupan dan ingatannya, yang dilanda bencana kecil-besar, dan yang terbungkam. Mereka juga bergiat di lapangan-lapangan kebudayaan seperti musik, rupa, dan literasi. Dalam situasi-situasi genting tersebut, mereka secara perlahan menjalin benang-benang perkawanan.

Parade hari buruh ini berlangsung damai. Mereka para hitam yang mungkin merusak jalan, rutinitas, atau pemandangan liburan kalian; sedang menuntut sesuatu kepada kita, bukan pada negara, tak lain dari hak, dengan kata “Henti!” pada tirani di lahan-lahan konflik, dengan pertanyaan kepada lengan eskavator, “mengapa kau tak berhenti mengeruk dan belajar memeluk?” Kami marah, tapi kami lebih senang berkumpul dengan kawan-kawan lalu saling menguatkan, menjangkau kepala demi kepala, daripada melempar batok polisi. Untuk hari ini.

Dan aku pulang setelah beberapa puluh menit linglung mencari-cari sesuatu untuk dilakukan. Tak ada. Aku pulang, beberapa hoodies hitam lain pun sejalan. Sendirian, Aku kepada halaman-halamanku di kamar kontrakan, sebab selain itu tidak ada kegiatan lain yang terbayang. Sepanjang tiga kilometer, sambil berkhayal, kapan-kapan aku mau loncat lagi, keluar dari pagar pekarangan.

Bandung, 3 Mei 2018

--

--