Keawasan Diri dalam Kehidupan Intelektual

MasChoi
ISH Review
Published in
8 min readDec 26, 2018

Semua orang adalah intelektual, maka seseorang dapat mengatakannya demikian; tetapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual dalam masyarakat. ~ Antonio Gramsci

Tulisan ini tidak sedang ingin mengkritisi dan mencari solusi dari narasi permasalahan-permasalahan yang berseliweran pada tubuh bangsa ini, juga bukan ingin membicarakan tentang apa yang ditakutkan dan apa yang tidak ditakutkan nanti di waktu dan generasi yang akan datang. Hal itu semua terlalu mewah bagi seorang individu yang masih iri dengan tukang cuanki yang ketika pulang rumah disambut peluk mesra oleh anak-anaknya. Terlalu muluk-muluk bagi individu yang masih iri dengan mereka yang jam 3 pagi sudah di pasar. Dengan penuh kerendahan hati dan diri, tulisan ini hanya ingin menguraikan hal-hal yang dilalui secara empirik dan permenungan, yaitu “pengetahuan tentang dunia ini yang senantiasa bergelayut dengan tuntutan-tuntutan praktis tubuh yang bereksistensi bersama-dunia.”

Lukisan Felix Nussbaum tentang peristiwa yang begini dan begitu

Refleksi-refleksi yang berbahaya ketika tubuh individu tidak sedang dalam kondisi prima, pikiran yang sehat, akal budi yang bijak dan serta sikap tidak awas terhadap kesombongan untuk menyingkap kebenaran, adalah hal yang wajar untuk menambah daftar panjang dari permasalahan sosial. Saya mengkhususkan masalah-masalah sosial karena kalaupun masalah-masalah non-sosial mendapati hal demikian, beberapa tahun atau generasi kedepannya dapat setidaknya mengkritik hasil refleksi tersebut tanpa perlu menghasilkan darah-darah yang tak perlu menjadi tontonan. Karena menurut saya sendiri, musuh-musuh yang muncul dari dalam diri sendiri inilah yang butuh perhatian khusus, butuh suatu obat, yang mana obatnya dari diri sendiri juga. Tanpa perlu penjelasan panjang lebar, kita dapat mengambil contoh tentang refleksi akan ada sejak era Plato sampai Heidegger. Misalnya, di dalam tulisan-tulisannya, Aristoteles membedakan beragam ada seturut kategori pengertiannya. Kategori utama adalah substansi (substance), yakni sesuatu yang sifatnya cukup atas dirinya; tidak membutuhkan suatu apapun di luar dirinya. Beragam kategori lainnya berada di dalam ataupun dalam hubungan dengan substansi tersebut. Misalnya ketika individu melihat sebuah batu. Batu baru sungguh bermakna bagi manusia, jika ia dikenakan predikat. Dan setiap predikat selalu merupakan salah satu dari kategori-kategori Ada lainnya, baik kuantitas, kualitas, ruang, dan sebagainya. Dalam arti ini menurut Aristoteles, kategori-kategori Ada bukanlah ciptaan manusia, melainkan sudah selalu berada di dalam realitas yang tersusun secara logis. Kategori ada adalah realitas, dan bukan konstruksi pikiran manusia.

Pun, ketika refleksi akan ada tersebut ditambah refleksi kontingensi manusia sampai era Rorty dengan era kematian manusia sebagai pusat, toh hal tersebut tidak menimbulkan konflik-konflik horizontal di kalangan bawah, apalagi keadaan chaotic yang mengakar (selepas ontologi dari hal-hal metafisik ini terkadang menjadi justifikasi para pemikir di ranah sosial). Maksud saya, hal ini berbeda ketika Marx mendapat justifikasi dari Hegel bahwa “Momen-momen roh untuk menuju roh objektif ketika semakin kolektif akan semakin menuju roh objektif.” Semakin berbahaya hal tersebut ketika dihubungkan dengan analisis kelas, kondisi budaya, sosial, dll. Bahkan dari refleksi Jeremy Bentham-pun dapat menimbulkan berjuntai tubuh yang tak berdosa di tiang jemuran untuk menanggung akibat dari refleksi di ranah sosial tersebut.

Katakanlah saya pernah mengalami fase tersebut, di mana kulminasi intelectualism mencokol dengan angkuhnya, bahwa tiap proses refleksi berarti “penjarakan atau pengobjektivikasian sensasi dan selalu mengkonfrontasinya dengan subjek.” Saat itu mungkin produksi hormon Somatotropin sedang aktif-aktifnya, sehingga apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan adalah tak lain dari observasi reflektif (empirism) semata. Keras kepala, eksplorasi kemenubuhan pengalaman yang berlebihan, dan sangat psikopat dengan rasa sakit yang menerpa. Waktu itu memang saya enggan atau memang belum mau mengalah untuk “mengangkat pengalaman yang tak reflektif atas dunia, yang mana menguntukkan sikap verifikatif dan tindakan reflektif bagi pengalaman yang telah dicecap, dan menampilkan refleksi sebagai salah satu kemungkinan cara saya mengada.” Dari sinilah pengetahuan akan tapal batas yang menurut saya penting, kalaupun tidak, katakanlah tools tersebut dibutuhkan untuk membantu menambah sikap awas terhadap kebenaran. Mana yang phenomena dan noumena, mana yang merupakan kehendak metafisis dan mana yang merupakan will to power. Setidaknya Albert Camus bersitahan dengan pemikiran “Karena sejak Tuhan telah mati (keterpaan atas gelombang nihilisme) dan manusia immortal, manusia bertanggung jawab akan eksistensinya.”

Hal di atas setidaknya dapat mempengaruhi, misal pandangan tentang apakah terdapat perbedaan antara kemakmuran sosial dan keadilan sosial. Pembangunan Bandara baru, pembangunan mikro hidro, pembangunan tempat konservasi spesies langka, bahkan pembangunan rumah ibadah sekalipun tentu dapat kita lakukan sebuah iterasi analasis dari dua pandangan tersebut. Selepas keuntungan dari kemakmuran sosial dan keadilan sosial, dalam melihat masalah-masalah yang menyangkut berbangsa dan bernegara setidaknya bagi para penganut suatu paham yang saling berseteru, misal antara konservatif dan progresif, environmentalism dan developmentalism, supaya tidak terjebak dengan asas kebutuhan. Tentu tidak naif bahwa dalam hidup ini kita butuh makan, uang, oksigen, pemandangan, dll. Sederhanya kebutuhan makan kita, seharusnya memberikan makan juga bagi yang menyediakan makanan. Kita juga butuh perubahan, tapi kita juga butuh suatu keadaan tetap. Akibatnya situasi yang ditimbulkan dari hasil refleksi yang tergesa-tergesa tersebut adalah pemancungan realitas yang memunculkan realitas baru.

Setidaknya menurut konsep, abstraksi, dan kemenubuhan yang selama ini menjadi perhatian saya (berbangsa dan bertanah air). Berbangsa dan bernegara adalah pemenuhan individu dalam dirinya atas dirinya, sehingga hal-hal yang merupakan di luar kebertubuhannya adalah suatu hal untuk memenuhi kebermukimannya (Wohnen) atas dirinya. Karena begini, jikalau beromong soal pembangunan baik skala mikro atau makro dimensi yang lebih menonjol adalah kemakmuran nasional, sehingga dominasi dari hubungan tubuh dengan negara dan bangsa adalah struktur untuk… belaka, sesuatu yang mati dan hidup (vorhandes dan zuhandenes). Bukan lagi sesuatu yang berseliweran dan berkelindan dalam keseharian, sehingga hubungannya berupa pemeliharaan dengan penuh perhatian ( für Sorgen) dan tidak terjebak dengan konservatisme dan progresifisme. Bukan di ranah hal-hal yang berbau kirinya yang ingin saya soroti disini, akan tetapi lebih mengarah ke esensi keadilannya (jika membahas masalah keadilan sosial dan kemakmuran sosial). Selepas konsep keadilan-pun telah menjadi perdebatan panjang di sejarah pemikiran barat dan timur, kita tetap dapat bersepakat bahwa keadilan dapat dijadikan proyeksi “yang-di-depan-sana” tanpa penangguhan yang berdalih kebutuhan. Mungkin inilah yang menjadikan carut-marut kondisi bernegara dan berbangsa saat ini. Meminjam istilah Rocky Gerung, kehangatan bernegara sedang mengalami inflasi. Walaupun saya tidak akan pesimis ketika masih melihat pengajian-pengajian yang menutupi jalan pantura masih berjubel penuh manusia, sedekah laut yang membuat manusia lintas kepercayaan saling bahu membahu berkasih mesra, dll.

Memang sah-sah saja ketika intelektualisme berikrar memiliki inti pandangan yang sama dengan empirisisme. Pada intelektualisme sendiri, yang berperan mendeskripsikan persepsi adalah Ego transendental. Sebuah kondisi transendental yang terlepas dari ruang dan waktu. Melalui Ego transendental tersebut, tesis-tesis empirisisme dibalik: dari suatu kesadaran menjadi kesadaran akan sesuatu; dunia menjadi korelasi pikiran tentang dunia. Sementara itu intelektualisme hendak menampilkan dunia yang-sudah-jadi, yakni dunia yang dapat digambarkan. Maka dari itu, dunia, tubuh, dan diri empiris dipandang seperti sebuah sistem yang disubordinasikan pada seorang ‘pemikir universal’. Tidak heran jika terjadi ketergesa-gesaan penyimpulan ketika menyebutkan bahwa, “konflik horizontal sekarang sedang meningkat” ketika kondisi masyarakat yang sekarang masih adem ayem, guyub rukun tanpa adanya campur tangan yang di pusat sana. Bahwa masyarakat yang berada di pedesaan masih sempat tidur nyenyak dengan tinggi harga bahan pokok, listrik, dll. Toh disini setidaknya kita bepikir bagaimana meningkatan atau menjaga keadilan sosial yang sudah ada dalam masyarakat, bukannya malah ingin meningkatkan kemakmuran sosial tanpa mengindahkan keadilan sosial, sehingga yang terjadi nanti kecemburuan sosial yang mengakibatkan rusaknya tatanan. Tidak salah, tapi tidak dapat disamakan dari semua kondisi yang ada. Setidaknya dapat mengurangi secara epistemis bahwa subjek pemikir tersebut tidak dilibatkan secara aktual karena yang menata sistem pengalaman tersebut adalah pikiran. Dengan begitu, intelektualisme pun memahami pengalaman sebagai hubungan kausal yang terjadi secara abstrak dan luas, atau yang Merleau-Ponty sebut dengan “hubungan kausal yang terpencar dalam konteks peristiwa kosmis.”

Kita berpikir dan mencandra dengan tubuh yang berpikir dan mencandra. “Bagaimana kita bisa dibingungkan dengan tubuh kita?” Juga, “bagaimana dunia tidak menampilkan dirinya sebagai yang sempurna eksplisit?” “Mengapa dunia itu tampil secara gradual belaka dan ‘tidak pernah dalam keseluruhannya’?” Dengan kata lain, empirisisme dan intelektualisme tidak mampu memahami subjek persepsi karena tubuh serta diri empiris menjadi objek dan refleksi ditentukan oleh Ego transendental.

Kebenaran yang ada di dalam akal budi individu tidak otomatis sama dengan kebenaran yang ada di dalam alam. Jika menggunakan istilah Ferdinand de Saussure, pikiran adalah penanda. Sementara benda di alam adalah petanda. Penanda dan petanda memang berhubungan, tetapi tidak selalu sama. Dalam hal ini Heidegger pun menolak teori cermin tentang realitas. Ia menolak bahwa pikiran kita sungguh mencerminkan apa yang ada di dalam realitas. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa kemiskinan yang terdapat pada suatu daerah bukan berarti mereka butuh peningkatan daya ekonomi bukan? atau ketika beromong soal kebutuhan pangan dan kesehatan bukan berarti semua wilayah Indonesia diharuskan mengkonsumsi nasi dan susu bukan?

Menganut sebuah agama adalah kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri (Religion zu haben ist Pflicht des Menschen gegen sich selbst)

~ Immanuel Kant, Metafisika Moral, Paragraf 18.

Apakah pernyataan Kant di atas menimbulkan dualisme antara yang pro agama dan anti agama? dikotomi yang kiri dan yang kanan? yang bersikukuh agama itu candu atau yang memungkirinya dengan jalur iman? Maksud saya di sini, dapatkah kita memahaminya sebagai seni, yaitu sesuatu yang acak akan tetapi logis. Atau dalam bahasa Fitzgerald Kennedy Sitorus “bukan kewajiban terhadap Tuhan.” Agama itu perlu bagi manusia, menurut Kant, “agar sumber nilai-nilai moral yang dianggap sebagai perintah Ilahi itu lebih stabil.” Pengurangan “strukutur untuk” inilah yang menurut saya perlu lebih telaten lagi untuk diwanti-wanti ketika bergelayut dalam dunia intelektualisme. Sebagai individu yang bebas sekaligus terbatas dengan konsep kebebasan yang melekat tersebut. Dalam bahasa Heidegger;

Manusia adalah makhluk yang tidak memiliki inti di dalam dirinya; pusat itu kosong, seperti bawang merah hanya terdiri dari lapis-lapis tanpa biji. Tetapi kekosongan atau ketiadaan itulah yang menentukan Ada-nya, maka lompatan ke dalam kekosongan yang menimbulkan kecemasan bukanlah suatu nihilisme, yaitu raibnya nilai-nilai, melainkan justru suatu kontak dengan Ada yang menjadi sumber nilai-nilai, karena keterlemparan itu Dasein bergerak melalui pemahaman dalam rancangan untuk meraih kemungkinan-kemungkinannya. Memang tak ada ‘iman’ di sini, tetapi kecemasan itu sendiri lebih otentik daripada ‘iman’ yang memberi jaminan kepastian dan dapat menjinakkan kecemasan. Manusia otentik tidak lari dari kecemasannya ke dalam ‘iman’, karena bermukin dalam kecemasan adalah akses ke dalam Ada-nya.

Tentu hal yang telah disebutkan di atas belum menjeratkan bahasa dalam segala analisisnya. Bahasa secara radikal mentransendensi fakta. Pengertian ini didukung oleh pandangan Hegel yang menyatakan bahwa pemikiran tentang alam adalah suatu pemikiran yang tersembunyi, yang tidak memiliki bentuk. Oleh karena itu, kenyataan sesungguhnya tidaklah dipikirkan tetapi disadari. Menurut Hegel, suatu konsep pemikiran tidak lebih dari sekadar interior alamiah yang oleh Merleau-Ponty disebut sebagai tubuh yang hidup (Maurice Merleau-Ponty, The Structure of Behavior, h. 161). Tidak terdapat hubungan langsung antara kesadaran dengan alam, namun dengan meminjam istilah intensionalitas dari Husserl, menurut Merleau-Ponty, integrasi kesadaran dan alam itu dapat berlangsung dalam intensionalitas yang kemudian mewujud dalam bentuk pemikiran ( Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, h. 44).

Syahdan, sikap kesederhanaan dalam dunia intelektual adalah hal yang penting. Hal ini terus saya ulangi karena sedemikian hasil refleksi dari hal-hal yang saya alami untuk memunculkan kembali konsep, pakem, anasir dari intelektualisme. Kesombongan untuk berani beda, bahkan yang berani sama adalah dua hal yang memang perlu, akan tetapi secukupnya saja. Jikalau ingin mengobservasi sesuatu lewat penjarakan, setidaknya harus memiliki energi yang lebih. Karena sesungguhnya kuantifikasi suatu homogenitas lebih mudah daripada kuantifikasi suatu heterogenitas.

Akhir kata, dari situlah kita menemukan “hubungan yang hidup dari orang yang mempersepsikan dengan tubuh dan dunianya.” Dan alangkah baiknya ketika sedang mencandra sesuatu, “Kebenaran, kebaikan, dan keindahan” dijadikan satu kesatuan yang utuh untuk menganalisis dan memperjuangkan sesuatu, sehingga kalaupun ingin menetapkan diri sebagai barisan intelektual, akan menjadi intelektual yang “bermukim di buminya sendiri dan berpijak di atas kepalanya sendiri.” Agar bangsa ini menjadi lebih baik, ataupun setidaknya menjaga sesuatu yang sudah mendekati baik.

--

--