Kekaguman nan Hening

MasChoi
ISH Review
Published in
2 min readDec 26, 2017

Saya besar di Kota R, sebelum akhirnya memutuskan pindah ke Kota B untuk menunaikan perkuliahan. Tentu terdapat perbedaan dimensi antara Kota R dan Kota B. Setahu saya di Kota R, Alfamart baru berdiri ketika saya masuk SMA. Itupun hanya di sekitar jantung kota. Di luar itu, mudah ditemui kedai-kedai kopi lelet, warung pecel lele, ataupun warung sekaligus tambal ban. Di tempat itu dapat dilihat bagaimana cara manusia belajar untuk memeluk sang waktu, petingkrangan ngobrol ngalor ngidul seakan lupa bahwa sapi yang berada di kandang sedang kelaparan. Juga duduk jelegrang sembari klepas-klepus untuk menertawai Pak Camat yang salah memakai kemeja tempo hari.

Waktu masih di Kota R, kehidupan keluarga saya layaknya hidupnya manusia-manusia kampung pada umumnya. Waktunya makan ya makan, ibadah ya ibadah, grapyak rukun dengan tetangga, dan lain sebagainya. Waktu kenduren bagian warga yang dapat jadwal menyiapkan ya lantas langsung menyiapkan, kalaupun tak kuat secara finansial toh biasanya dibantu oleh tetangga lain. Dan saya memperhatikan hal ini sebagai buih-buih untuk melawan ombaknya sendiri, yaitu Kapitalisme.

Jangan salah, di Kota R juga terdapat Kapitalisme. Dikatakan masif, kalau ukurannya wilayah satu desa atau satu kecamatan. Sama saja kah? Tentu tidak. Bagi yang menguasai satu desa, biasanya mereka masih kenal semua tetangga satu desa. Masih mempunyai unggah-ungguh, tepo-sliro, dan menghormat para orang tua dan sesepuh. Hal ini akan mulai berkurang jika manusia tersebut mulai melebarkan kekuasaannya lebih luas, misal level se-kecamatan. Pasti dapat dijamin, ada beberapa dimensi yang tercerabut. Tentunya tidak semua, tanpa membandingkan yang lalu, yang kini, ataupun yang akan datang. Mungkin itulah mengapa di Kota R tidak terlalu berdengung istilah Kapitalisme. Selama masih guyub rukun, rajin kumpul-kumpul, dan someah. Paling tidak hasrat menguasai dapat dikelola dengan pitutur dan guyonan ala penduduk Kota R.

Semenjak saya pindah ke Kota B, hal-hal yang sudah saya rasakan memang mulai berkurang atau bisa dikatakan tidak ada lagi. Grapyak dengan tetangga diganti dengan kata kompetisi, pangarepan diganti dengan cita-cita untuk mencapai segala keinginan, dan motivasi-motivasi lainnya yang intinya haruslah manusia itu meraih dunia atau kalau bisa merubah dunia. Oh iya, pastinya tidak semua begitu. Sayapun tidak ketinggalan untuk mempercayai ide-ide tersebut, gapailah cita-cita, bersaing, dan sebisa mungkin kerja keraslah. Untuk beberapa hal memang harus dilakukan, karena kalau tidak ya apa boleh buat baklaan kena depak dari kehidupan Kota B. Mungkin yang kurang hanyalah satu kata, yaitu secukupnya.

Waktu mempunyai kebijaksanaannya sendiri untuk mengajari siapapun yang tenggelam didalamnya. Mewaktu. Lambat laun saya mulai menyusuri kenangan-kenangan di Kota R. Tentunya tidak serta merta saya menjelek-jelekkan Kota B. Karena kedua dimensinya memang tak perlu dibandingkan. Dan kalaupun terdapat tujuan akhir dari perpindahan ekstase demikian adalah kekaguman nan hening.

--

--