Kepada Dia Aku Diam

Asra Wijaya
ISH Review
Published in
4 min readSep 21, 2018

Cerpen

Yang paling diam-diam justru yang paling liar. Kau dan beberapa temanmu pernah berspekulasi tentang orang-orang yang paling diam malu-malu itu tampaknya yang paling ganas dan liar soal perkara ranjang. Entah mengapa muncul pernyataan macam begitu di obrolan kalian. Memang sepertinya kalian dipersatukan oleh obrolan-obrolan di sektor-sektor selangkangan. Salah satu di antara kalian bilang juga jangan-jangan perempuan-perempuan yang memakai jilbab lebar dan rok besar berkibar itu justru dalemannya adalah lingerie warna hitam, atau mungkin juga g-string. Imajinasi kalian. Segala urusan perkelaminan tentu berada di teritori: kamar dan kasur masing-masing. Dan tidak ada juga larangan berimajinasi. Negeri kita sudah merdeka, kita bukan hidup di tanah terjajah. Sebuah kredo yang menarik dari seorang Vicky yang mencetus bahasa ala istilah aka asbun dengan kata keren arbitrer, khaotik, yang lantas dinamakan Vickynisasi.

Kau tengah menyantap nasi goreng cumi yang barusan kau beli sebelum sampai di sekretariat ini. Bersama jus alpukat yang rasa-rasanya sudah lebih dari dua bulan tidak kau cicip lagi. Sementera mereka, beberapa orang temanmu itu sedang asyik bercengkerama di seberang sana. Sekitar enam tujuh meter arah jam 11 dari tempat dudukmu. Kau sendirian di kursi dan meja yang bersambung dan tak terpisahkan itu. Kursi kotak-kotak dari besi panjang yang dilaskan dengan meja yang sepaket.

Kau memutuskan untuk tidak bergabung karena memang begitulah sifat dirimu. Kau tidak terlalu gembira bersama keramaian. Selain itu, di sanalah juga duduk Dia, perempuan yang sepertinya sedang ingin-hendak kaupuja itu. Tetapi kau juga terjebak dengan prinsipmu sendiri. Jika perempuan sudah punya pacar, maka kau tidak akan mengganggu hubungan mereka. Kau terjebak dengan prinsip moral macam begini. Di hari-hari ini siapa perempuan cantik yang tidak punya pacar? Nyaris tidak ada. Kecuali kau ya. Bergaul di sekitaran rumah ibadah di depan kampus itu.

Kau tetap menyantap sendok demi sendok nasi goreng cumi yang masih hangat itu. Sesekali kau selingi dengan menyesap jus alpukat yang lembut itu. Mereka tampaknya amat ramai, dalam arti tidak ada detik terlewat tanpa tawa yang variatif. Mulai dari yang terbahak, cekikikan, sampai tawa yang ditahan bahkan tawa yang dipaksakan.

Kau terus berkutat dengan laptopmu. Sambil sesekali kau ingat lagu Project Pop soal orang yang sedang jatuh cinta yang aneh itu. Ketika si dia sedang cari perhatian kau malah diam. Sementara jika dia sedang diam, malah kau curi perhatiannya. Tetapi kau nampaknya memang ingin selalu beda. Mudah ditebak, seperti layaknya seniman lainnya. Dengan begitu kau anggaplah dirimu memiliki bakat alam sebagai seniman yang unik, khas, dan murni. Kau tidak sekalipun mencuri perhatiannya. Meski nampaknya kau teramat ingin. Kejujuran ekspresi nampaknya tidak kau manifestasikan dalam kehidupan sehari-harimu.

Dia memang sudah jarang ke sekretariat ini lagi. Semenjak punya pacar, dia punya kesibukan lain seiring posisinya dalam status itu. Kau menjadi patung yang menatap layar LCD 14 inchi di tengah keramaian canda tawa itu. Tentang dia ini, dia sepertinya menghitam, entah apa kegiatan dia dengan pacarnya, mungkin saja mereka berjemur di pantai seperti yang sering dilakukan orang-orang luar negeri. Namun bahkan komentar begitu saja tidak sanggup kau utarakan kepada siapapun melainkan dirimu sendiri. Bahkan ke teman dekat yang sedang berada di sampingmu juga. Kau merahasiakan review singkatmu tersebut soal dia.

Sesekali kau memang tidak tahan dengan ujian. Kau akan pura-pura menoleh dan mencuri pandang ke arahnya. Oh alangkah indahnya. Dari rambut hingga mata kakinya yang dibalut kaos kaki pendek. Seorang temanmu mulai berlelucon keras. “Lihat dulu ah, nanti untuk dibayangkan pas coli” Dengan menyebut-nyebut namanya berulang kali. Temanmu itu pura-pura menirukan namanya sambil menampilkan mimik wajah aneh dengan mata merem melek. Dan serangkaian gestur dan gerakan tangan seolah sedang masturbasi. Mungkin dia tidak terlalu serius soal ini akan tetapi itu bukan soal. Kau malah mesti jujur di tulisan ini bahwa dia begitu memukau, sekaligus indah. Kau akan mencuri pandang melihat tubuh indahnya yang memabukkan. Yang paling kau sukai darinya selain rambut itu yang pasti, tentu adalah pantatnya. Meski bukan jenis pantat yang padat bulat berisi model scarjo, tetapi pantatnya ialah model yang pas bagi seleramu. Tidak lebih tidak kurang. Jenis yang tidak menggembung dan menggunung tetapi pas: tidak lebar dan tidak pula kecil. Sulit mencari padanannya dalam dunia kata-kata. Cuma bisa diganti dengan tiga huruf saja P-A-S. Rasanya seperti bantal yang memanggilmu rebahan sembari menempelkan kupingmu di sana atau mungkin sesekali mukamu. Yang ketiga sepertinya dadanya yang punya aura hangat nan menentramkan, yang juga ingin kau jadikan bantal, manakala berbaring istirahat dari kesusahan hidup yang kau alami.

Kau masih tetap termangu, menahan diri untuk tidak mengekspresikan tindakanmu. Namun imajinasimu tidak bisa dikekang seinchi pun. Melayang dia ke mana-mana. Jika dari mulut kawanmu itu terlontar kata-kata jorok seperti ungkapan manusia yang tidak mengenyam bangku sekolah. Dari imajinasimu bermunculan ungkapan manusia munafik, yang bersekolah sampai tinggi-tinggi untuk memberi topeng manis bagi kebusukan dan kebiadaban nafsu kebinatangan yang kau miliki. Kau membayangkan hal-hal paling liar yang mungkin paling melanggar norma-norma asusila. Tentu sembari kau masih berpura-pura sampai dia pergi.

Kepada dia yang pantatnya begitu indah dan ilahi, kau ingin menyandarkan nasib burukmu sebagai manusia malang.

--

--