Lady Bird: Remaja yang Terbang Kian Kemari Mencari Jati Diri

Asra Wijaya
ISH Review
Published in
4 min readJan 12, 2018

Review Film Lady Bird (2017)

Ingin bebas dari kungkungan segala. Keluarga, agama, dan tempat tinggal. Begitulah kiranya gelegak jiwa muda Stephen Dedalus, tokoh utama dalam novel A Portrait of the Artist as A Young Man karya James Joyce. Perihal serupa juga dialami Christine McPherson dalam Lady Bird. Christine aka Lady Bird ingin menjauh (lebih dari sekadar berjarak) dari sang Ibu dan segera keluar dari kota tempat tinggalnya, Sacramento. Bila kita toleh kepada tokoh fiksi lokal, ada nama Malin Kundang yang sudah melegenda sebagai anak durhaka kepada ibu sekembali dari negeri seberang.

Konflik antara anak dengan ibu menjadi soal yang tiada habis-habisnya dijadikan bahan baku karya seni. Keuniversalan hal ini tentu sudah tidak perlu diragukan lagi. Tiap orang yang pernah remaja sekali-dua akan bertentangan dengan kehendak orang tuanya.

Nama “Lady Bird” sendiri ialah pilihan Christine sebagai simbol independensi diri dalam kesehariannya. Mengutip gurauan dalam situs mydirtsheet: Dikasih nama sama orang tua, ngikut aje. Gilirian ke Tuhan, sok-sok gak percaye. Tentu sikap Christine itu merupakan langkah yang cerdas sekaligus tegas dalam memosisikan diri.

Remaja putri yang galau, tindak-tanduknya menjadi terkesan memberontak. Dirinya banyak berbenturan dengan nilai-nilai umum. Lady Bird diceritakan “tidak senang” dengan sekolah katoliknya. Lewat pengadeganan yang menarik, Lady Bird ditunjukkan bosan di sana. Penulis teringat kepada tokoh Daniela dalam film Joven y Alocada (2012). Tentang seorang remaja yang tumbuh di keluarga evangelis nan taat. Daniela mencari jati dirinya lewat eksplorasi berbagai pengalaman seksual. Agaknya ada kemiripan soal keinginan orang tua yang berbenturan dengan anak remaja soal sekolah katolik ini.

Adegan pembuka film, manakala sang Ibu dan Lady Bird tidur berhadapan, terlihat amat tenang dan damai. Dikontraskan dengan adegan cekcok sehingga Ladu Bird lompat dari mobil yang tengah melaju, yang membuat tangan Lady Bird digips pink serta ditulisinya dengan umpatan kepada sang ibu. Ini jelas menggambarkan betapa keras kepalanya tokoh utama kita ini.

Lady Bird tinggal bersama kedua orang tuanya, tambah satu kakak angkat beserta pasangannya. Pada cerita berlatar awal tahun 2002 ini, dikisahkan bahwa keluarga mereka mengalami kesulitan finansial. Sang Ayah kehilangan pekerjaan. Jadi Ibunya bekerja dua shift sebagai psikiater demi menyokong ekonomi keluarga mereka.

Agar merdeka, Lady Bird berniat kuliah di universitas di luar kota. New York atau kota East Coast lainnya “Where culture is” kata Lady Bird. Ia mencoba mengirimkan lamaran ke beberapa kampus (serta permohonan bantuan biaya kuliah) tanpa sepengetahuan sang ibu (tetapi Ayahnya tahu). Sepertinya apa yang dikatakan Freud soal hubungan jenis kelamin anak dengan kedekatan terhadap orang tua benar adanya. Sang Lady Bird lebih dekat dengan sang Ayah.

Sekilas hubungan ibu-anak dalam Lady Bird tampak sebagai peristiwa kebencian. Sebenarnya tidak, ini cuma soal adu ego. Seorang remaja yang impulsif berhadapan dengan ibu yang pencemas. Keduanya jelas tahu sama tahu bahwa mereka saling mencintai. Misalnya pada saat Lady Bird bercakap dengan pacarnya, dia berkata bahwa ibunya sangat mencintainya. Namun karena masing-masing punya batu di dalam kepala, keduanya menjadi sulit untuk akur.

Cerita Lady Bird tidak terperangkap soal konflik ibu-anak yang berakhir dengan resolusi klise. Penyelesaian standar semisal masing-masing akhirnya saling menyadari posisi dan perasaan karena tragedi lantas berakhir pelukan bahagia bertabur air mata. Lady Bird menggambarkan masa remaja Christine yang pemberontak sekaligus rapuh, kepala batu tetapi juga butuh perhatian dari ibunya. Lihat adegan di kamar pas itu. Lady Bird hanya ingin ibunya bilang bahwa baju yang dipilihnya cocok dan bagus. Jelujuran kisah mulai dari masuk kelompok teater, bertemu laki-laki, lalu kecewa, sampai bertemu laki-laki lain lagi menambah kekokohan dan keseruan cerita. Karakter “Jules” (Beanie Feldstein) sebagai kawan seiring-sejalan Lady Bird menambah citarasa film menjadi lebih kaya. Karakter Suster (Lois Smith) juga unik, dia tidak galak tak menentu tetapi juga tidak baik-penyayang, ia jenis yang paham akan situasi. Juga ada seorang Pendeta yang depresi yang kadangkala menjadi pemicu adegan komedi.

Saoirse Ronan memerankan Lady Bird sealamiah mungkin. Luar biasa. Penampilan aktris Amerika-Irlandia ini mengingatkan penulis kepada kualitas akting yang pernah ditunjukkan Ellen Page di film Juno (2007). Remaja yang beranjak dewasa bertingkah sebagaimana naturalnya. Tatapan mata tajam, muka pelawan, kadang rapuh, haru, dan jgua sedih. Lawan main Saoirse, Laurie Metcalf (sang Ibu), juga turut menunjukkan kualitas yang mumpuni dalam membalas perilaku Lady Bird. Dua tokoh ini berhasil membawa cerita ke level sangat memuaskan. Dialog-dialog yang berseliweran dari mulut mereka luwes dan sehari-hari. Tambah pula beberapa adegan komedi yang membuat film ini nyaman diikuti.

Adegan paling favorit penulis adalah ketika Lady Bird memohon agar sang Ibu menyahuti dirinya (Kala itu sang Ibu tengah merajuk). Teravorit kedua yaitu ketika Lady Bird marah dan meminta sang Ibu memberikan nominal biaya yang dihabiskannya untuk membesarkan dirinya. Tujuannya tidak lain adalah agar Lady Bird melunasi biaya itu. Balasan sang ibu juga brilian, “Aku tidak yakin kau bisa dapat kerja untuk bisa melunasi itu.”

Film debut Greta Gerwing (sutradara dan penulis) ini mengalir demikian lancar. Rentetan adegan demi adegan diisi dengan dinamika musik yang harmonis. Sehingga tidak terasa, Lady Bird telah meninggalkan tempat tinggalnya, berpisah dengan ibu, juga Sacramento. Ujungnya Lady Bird ternyata juga galau setelah meraih kemerdekaannya. Ia seakan menjadi bangau yang terbang tinggi, teringat kubangan nan jauh.

--

--